(Femina, 21-27 Desember 2013)
Kereta berhenti di Stasiun Tugu, Yogyakarta. Injakan terasa lecet setelah kresek hitam di bawah kursi tersangkut gerigi sol sandal dan terdorong ke depan. Isinya tumpah. Kontan perutku diulek. Sial. Aku bersigegas ke toilet. Membasuh kaki, mencuci tangan dan mengusap muka untuk menambah kesan segar.
Ia sudah di situ sekembali dari toilet. Perempuan berhijab dengan beban tas gendong—gaya anak kampusan—di pangkunya. Ia duduk di dekat jendela yang semula ditempati lelaki tua pensiunan guru PNS yang kini duduk di sampingnya. Pandang sempat beradu sebelum kuucap ‘permisi’ kepada keduanya. Kini, aku duduk sehadapan, bukan dengan lelaki tua itu.
Aku duduk di deretan 3 kursi: B10, B11, dan B12. Sebagaimana petunjuk di karcis, B11 adalah kursiku. Namun, karena B10 dan B12 masih kosong membuatku leluasa memosisikan diri. Kursi itu sehadapan dengan kursi D13, D14, dan D15 yang sudah ditempati lelaki pensiunan dan perempuan itu. Sempat terbesit kenapa kursi yang sehadapan nomornya berbeda. Pertanyaan itu terjawab oleh posisi toilet tadi—iseng-iseng kuperhatikan deretan nomor kursi.
“Mau ke mana?” Tanya pak Sajah, lelaki pensiunan itu.
“Jombang, Pak. Jenengan?”
“Ini, Madiun.” Tanda peringatan kereta segera berangkat berbunyi. “Tasnya berat, ya? Ditaruh di atas saja. Sini saya bantu,” tambahnya.
“Biar begini saja, Pak. Terima kasih.”
Kereta ekonomi berjalan kembali. Derunya meraung-raung...
“Kalau ada barang berharga jangan ditaruh di tas biar tidak ribet.”
“Ah, isinya cuma pakaian, Pak.”
Percakapan semakin tersamarkan oleh deru roda kereta, pengasong, dan percakapan remaja di kursi sebelah yang tawanya kerap meledak. Aku membuang pandang ke luar ketika perempuan itu hendak membuang pandang ke arahku.
Hijab biru langit itu tidak hanya membuatku betah berlama-lama menatapnya, melainkan juga mendamparkan pikiran jauh sebelum di tanah rantau. Pada istri yang menghembuskan nafas terakhir setelah melahirkan anak pertama. Pada Iwan, anakku, yang kutinggalkan bersama Neneknya—Ibuku yang sebelum aku menikah sudah diceraikan Ayah. Penghasilan sebagai staf administrasi tidaklah seberapa mewujudkan keinginan Ibu yang ingin naik haji. Sisanya kuyakinkan bisa menyekolahkan Iwan sampai ke Perguruan Tinggi—paling tidak sampai SMA. Syukur-syukur menjawab doa Ibu.
Kereta melintasi Begawan Solo. Deru rel lebih keras berderak. Perhatianku, juga perempuan itu, tersita pada air tenang berwarna sawo marun itu. Langit bersungkup kelabu memberi kesan misteri. Sering kusimak sepak terjang sungai ini dari koran dan televisi. Hati kembali lega setelah ilalang kembali tampak tertinggal laju kereta. Tetapi akhirnya aku terlelap dengan gaya orang sedang buang air besar di wc umum.
***
“Permisi,” suara itu mengagetkanku. “Maaf sudah mengganggu tidur anda,” pungkasnya.
Aku membetulkan posisi duduk. Rasanya ada yang kram. Di luar jendela, papan putih bertulis Madiun berwarna biru terpajang besar di atas pintu masuk stasiun. Lelaki pensiunan itu sudah tidak ada.
“Mau ke mana, Dik?” Tanya perempuan itu.
“Surabaya.” Jawab pemuda berkulit cerah.
“Kuliah?”
“Iya, Bu.”
“Kalau anakku masih ada, mungkin sudah seumuran kamu.”
“Anakmu ke mana?” Aku tak sadar mengajukan pertanyaan ini.
“Meninggal saat berumur dua bulan.”
Perbincangan santai tercipta diantara kami bertiga. Kutahu bahwa pemuda itu semester 5 dan perempuan itu sedang pulang kampung. Kutahu perempuan itu sudah 6 tahun menetap di Yogyakarta. Terpaut setahun denganku yang tinggal di Jakarta. Kutahu di Yogyakarta perempuan itu cukup sukses dengan usaha kecil yang dibangun dengan suaminya. Aku semringah saat ia menyebutkan usahanya: nasi kucing. Nasi dengan lauk kucing? Ia mencibir dan mengatakan kalau itu hanya sebutan saja pada nasi bungkus sebesar kepalan tangan. Kutahu pula perempuan itu Ibu dari satu anak. Dua dengan yang meninggal.
Wajah polos anakku menggelitik ingatan. Kabarnya, Iwan sudah bersekolah. Kelas satu Sekolah Dasar. Kemarin diseberang telpon, ia merajuk minta dikirimi seragam sekolah. Seragam sekolah yang dipakai adalah milik Mail, anak kakak ipar yang sudah lulus Sekolah Dasar setahun yang lalu. Aku tak tahu bagaimana cara berkirim paket.
“Berkirim paket gampang sekali,” kata Rofik, tetanggaku di kampung yang menjadi tetanggaku pula di Jakarta.
“Tinggal titip, ngasih uang, selesai,” jelasnya.
Kendati sudah dijelaskan secara terperinci, hati tetap menggatup keraguan. Untukku, berkirim paket mungkin mudah, tetapi belum tentu mudah untuk keluarga menerimanya. Apalagi, tempat tinggal yang cukup terpencil menaruh rasa pesimis yang tinggi betapa si pengirim tak akan mengantarkan paket itu. Selama ini, aku menitipkan uang kepada Kepala Desa dengan cara mentransfer uang ke rekeningnya. Jadi, hari ini aku pulang saja.
***
Kereta terus menderu…
“Sayang anak. Sayang anak,” kata penjual mainan.
Gitar mainan yang dipegang memunculkan wajah Iwan. Pasti ia senang, batinku.
“Berapa?” “Tujuh puluh lima ribu.”
“Mahal sekali,” sangkalku.
“Ini mainan bagus, Pak. Ajaib!”
Gitar itu disodorkan. Dipetiklah salah satu benangnya. Ujung gitar memantulkan cahaya kerlap-kerlip. Setelah melakukan tawar-menawar yang cukup alot, gitar itu jatuh juga ke tanganku.
“Pasti Anakmu senang sekali,” cetus perempuan itu.
“Ia selalu minta oleh-oleh kalau sedang bepergian, meski cuma ke pasar di belakang rumah.”
“Merengek andalan anak kecil. Aku juga bawa mainan untuk keponakanku.”
“Meski sudah lumrah, kita tetap luluh juga.”
“Karena kita orangtua,” sambungnya.” Tahu kenapa kita tak berdaya?”
Sebelum kujawab, ia sudah menjawabnya.
“Karena anak adalah detak jantung. Jantung kita. Dulu, Ayahku masinis. Sempat bekerja untuk penjajah. Oleh-oleh khas daerah, dari ujung Banyuwangi sampai Jakarta sudah pernah ia berikan. Termasuk aneka mainan. Gayanya selalu berulang; menyembunyikan kedua tanggannya di balik punggung dan menyuruhku menebak sesuatu yang disembunyikannya. Gaya itulah yang membuatku merasa menjadi anak yang paling beruntung di dunia.”
“Aku tak seberuntung dirimu, barangkali… hehe…” kali ini ia menimpali dengan senyuman.
Pulang dengan kereta lebih kusuka ketimbang menggunakan bus. Ada kesan damai, tenang, dan nyaman. Bebas polusi. Perjalanan dengan kereta juga lebih memanjakan pikiran tentang masa lalu, meskipun tidak semua orang setuju pada pendapat ini. Di Jakarta aku lebih dekat dengan gedung-gedung tinggi, limbah, polusi dan segala tetek-bengek lainnya. Di kampung halaman aku lebih dekat dengan sawah, pepohonan, bukit dan pancuran. Perjalanan menggunakan kereta lebih mendekatkan pikiran pada kampung halaman. Pada masa yang sudah jauh terlampaui.
“Tinggal satu stasiun lagi,” serunya.
Aku tak tahu sudah tiba di mana. Tadi saat kereta berhenti, mataku tersedot kepada perempuan yang bersandar pada gerbong-gerbong tua yang teronggok bisu di sebelah timur stasiun. Prilakunya asing di tengah lautan manusia.
“Asalmu memang dari Jombang?”
“Ya. Aku ikut suami ke Yogja. Kemarin, aku menelpon Ibu. Lagi asyik ngobrol, Nenek merampas telpon. Mendesakku pulang. Kalau tidak, mungkin kutak bisa lagi melihatnya, katanya. Aku tersentuh kalut. Kalau kangen, bicara lansia seperti Nenek kadang memang ceplas-ceplos. Yah, seperti anak kecil lah. Tapi, ya, itu tetap khawatir. Eh, setelah itu giliran Ibu mendesakku pulang. Ucapan orangtua adalah doa, katanya.” Jelasnya.
Aku menyimak. Menatap gerak bibir dan bola matanya. Membayangkan sedang bercakap-cakap dengan istriku sendiri.
“Biasanya ke Jombang sebulan sekali. Sekali ini sudah bulan ketiga. Tak perlu dikatakan, sudah tahu mereka kangen sekali. Cucu Nenek hanya aku. Ibu juga, kendati perasaannya lebih kuat dari Nenek.”
Tubuhku, entah di bagian mana, terasa ada yang terpukul. Kakek dan Nenekku sudah tak ada. Tapi Ibu…
“Masih ingatkah pada pelajaran SD dulu, yang satu ini? Pepatah mengatakan, kasih anak sepanjang galah kasih Ibu sepanjang masa.”
Lalu perempuan itu tepuk-tepuk kecil. Menyanyikan sebuah lagu yang katanya sangat populer dinyanyikan Ibu-ibu kepada anaknya atau guru-guru sekolahan kepada muridnya. Tetapi pepatah yang disebutnya tak pernah merasa kupelajari—atau barangkali sudah lupa. Lagu itu, apalagi. Pelajaran Sekolah Dasar yang kuingat sampai sekarang hanya keluarga Budi: ini Ibu Budi, ini Ayah Budi, ini Adik Budi.
Tambah lama perempuan itu kian ceplas-ceplos bicara. Timpalan humor turut keluar. Sementara, pemuda di sampingku sudah lebur bersama alunan musik pada handseat. Tak kusangka perempuan ini enerjik. Spontanitasnya berbicara membuat perjalanan tak terasa lelah. Gerimis menghadirkan irama rimis saat kereta membelah persawahan. Perempuan itu berseru karena gerimis hadir tak dirasakannya.
Perempuan itu membuka tas. Merasa penasaran seberapa berharga isinya sehingga sejak ia naik tas yang sarat muatan itu tak beranjak dari pangkuannya, mataku menukik tajam. Ia mengeluarkan dua buah kain batik yang masih terbungkus plastik. Batik Jogja. Pedagang batik, batinku.
“Menurutmu, coraknya lebih muda yang mana?” Curiga menghantui. Menciptakan obrolan sedap sebelum menawarkan barangnya merupakan trik jitu pedagang.
“Aku tak begitu paham soal selera?”
“Ayolah. Aku benar-benar bingung. Yang mana cocok untuk Ibu, yang mana cocok untuk Nenek.”
“Sebentar, itu apa?” Tanyaku heran.
“Mukena. Oleh-oleh untuk mereka.”
Persepsiku gugur sendiri. Aku diam. Membatu pada mukena itu. Bukan. Bukan. Ada sesuatu yang tertinggal. Membekas. Wajah Ibu. Ya, wajah Ibu. Wajah yang selalu bangun di sepertiga malam. Wajah yang selalu merapalkan doa-doa. Wajah yang terhalang wajah imut Iwan kini tersibak oleh dua mukena itu.
Perempuan itu menungguku menentukan pilihan. Ia tidak tahu aku masih berpikir sesuatu yang pantas diberikan kepada Ibu sebagai oleh-oleh perjalanan, sebelum membantu menentukan pilihannya.
Jember, 7 November 2013
0 comments:
Post a Comment