(Cerpen Lan Fang, Jawa Pos, 26 September 2010)
Apakah kau pernah melihat
bulan bulat dengan kilap mentega? Itu hanya terjadi setahun sekali. Ketika itu
pekat akan menyingkir dari semesta galaksi. Langit bersih seperti baru dicuci
oleh hujan. Gelembung-gelembung harum alam merintik dari segenap pori-pori
awan.
Konon, dahulu, pada saat
bulan bulat sekilap mentega, orang-orang Cina berkumpul di halaman rumah
mencecap kue manis berisi biji lotus, kacang hijau, dan gula merah yang manis.
Mereka bercengkerama memandang bulan purnama ditemani teh sepat sampai lewat
malam.
Hikayatnya, pada suatu waktu,
ada seorang putri terkurung di bulan. Namanya Chang Erl. Kekasihnya, Hou Yi, si
pemanah ulung yang berhasil memadamkan sembilan matahari dengan anak-anak
panahnya. Mereka hanya bisa bertemu sekali dalam setahun, bertemu pada saat
bulan paling sempurna untuk rindu yang tidak pernah purna, tidak pernah punah.
Orang-orang Cina menyebut saat itu sebagai zhong qiu ye wan. Konon, pada saat
itu Chang Erl akan menjatuhkan kembang bulan untuk sepasang sejoli.
“Bulan purnama di pertengahan
musim gugur? Kita tidak mengenal musim gugur. Saat ini kita berada pada mangsa
labuh, sebuah musim yang terjepit di antara hujan dan kemarau,” gumammu tumpang
tindih antara gemerisik dan bisik. Aku tidak bisa membedakannya. Sama saja.
Sebenarnya aku ingin
menyanggah kata-katamu. Siapa bilang musim gugur tidak menyapa kita? Tadi aku
berjumpa dengannya di sebuah jalan protokol dengan jalur kendaraan dua arah
yang selalu sibuk. Pada bagian tengah jalan, lekuk-lekuk pohon meliuk. Mereka
menjadi peneduh dari kegarangan sebiji matahari. Pada akar-akar mereka
debu-debu mengabu.
Di sana daun-daun gugur. Dari
ujung-ujung ranting, mereka melayang dengan pasrah. Mereka berputar-putar
sebentar bagai dipermainkan angin lalu terkapar dengan lembut. Seakan-akan
mereka tidak berniat untuk melawan. Atau mereka sadar bahwa melawan pun akan
percuma?
Ketika itu, lidahku ingin
menyeru, “Lihatlah! Angin saja tak tega menghempaskan daun. Kenapa kau begitu
kepadaku?”
Tetapi aku terbungkam ketika
mereka menyerbu bumi. Beruntun mereka menamparku dengan lembut, tamparan yang
tidak mau kuhindari. Kemudian mereka bergerombol, saling menyelip, saling
menyelinap, saling menumpuk, saling memenuhi kepalaku. Aku jadi putri dengan
mahkota daun, mahkota ringkih yang dipersembahkan sang pedih.
Tetapi, lihatlah…. Aku
secantik Chang Erl, bukan?
Tiba-tiba ada laki-laki
sekaya saudagar yang menggerutu, “Kau selalu tidak pernah tampil cantik.”
Laki-laki lain yang matanya
sekeruh danau berpasir mencibiriku, “Hanya dengan daun, embun, hujan, kau sudah
merasa cantik? Hah!” Masih ada laki-laki yang mulutnya dengan murah
menyerapahiku, “Kau bukan cantik tapi binal!”
Kemudian saudagar laki-laki
itu membawaku kepada seorang perempuan lalu berkata, “Belajarlah tentang
kecantikan padanya.”
Sehari-hari, saudagar itu
selalu tampak sebaik malaikat. Jadi aku yakin ia pun bermaksud baik padaku. Ia
kerap berbisik padaku, berbisik seakan-akan tidak mau dan tidak boleh ada orang
lain yang mendengar bisikannya. “Aku ingin mati saja.”
Aku heran, kenapa ia selalu
ingin mati padahal seharusnya ia bisa menikmati hidup dengan kekayaannya? Atau
karena aku fakir maka aku takut mati?
“Aku capai terbang dengan
sebelah sayap,” gumamnya setengah tertawa sekaligus setengah menangis. Sejak
itu aku mengerti bahwa ia bukan malaikat melainkan anak burung bersayap
sebelah. Dengan letih ia mengayuh sayapnya yang sebelah, sayap kering tanpa
bulu-bulu sehalus beludru. Pantas, ia selalu ingin mati.
Perempuan yang
diperkenalkannya itu tampaknya juga setulus bidadari. Ia suka sekali
menggeliat-geliat untuk mempertontonkan kecantikannya. Matanya selalu
berkedip-kedip, lidahnya selalu dijulur-julurkan, kepalanya selalu
digoyang-goyangkan, dan wajahnya rata seperti wajan penggorengan martabak.
Si saudagar laki-laki
memandang perempuan itu dengan penuh kekaguman. “Lihatlah, betapa cantiknya dia
tanpa hidung.” Ia bergairah bagaikan kerbau dicocok hidung. Pasti ia telah
membatalkan keinginannya untuk mati.
Lalu perempuan tanpa hidung
itu mengajariku cara mempercantik diri. Setiap malam, dengan mahir ia mencopoti
hidung-hidung perempuan lain yang sedang bermimpi untuk ditempelkan di mulut,
telinga, mata, dan hidungnya sendiri. Ia selalu tampil mempesona dengan wajah
yang berhiaskan banyak hidung sampai subuh karena sebelum terang ia sudah harus
mengembalikan hidung-hidung yang diambilnya tanpa izin itu.
Sekarang aku tahu kenapa aku
selalu bermimpi buruk tentang perempuan tanpa hidung itu. Sebab aku tidak mau
memberikan hidungku untuknya sekaligus aku tidak mau mempercantik diri dengan
hidung-hidung imitasi.
Kemudian tentang laki-laki
bermata pasir. Ia tidak pernah membawaku kepada perempuan lain. Ia kerap
mengajakku duduk-duduk saja. Percakapan kami cenderung pembicaraan basi,
seperti “kau suka apa?” tetapi ia tidak pernah memberikan apa yang kusukai.
Bahkan ia suka melakukan apa yang tidak kusukai. Salah satunya adalah ia suka
memegang stopwatch yang berbunyi untuk setiap detik yang telah terlampaui. Ia
mirip sekali dengan pelatih atletik yang memacu anak latihnya berlari lebih
cepat dari angka stopwatch.
Kesukaan lain yang disukainya
adalah cerita tentang perempuan setengah baya yang menempel seperti lintah
sehingga ia tidak pernah punya waktu untukku. Ia bercerita tanpa pernah
bermaksud memperkenalkan diriku dengan perempuan yang kerap diceritakannya itu.
Logikaku mengatakan bahwa ia pun betah menempel pada lintah betina tua itu
dengan riang gembira. Karena setiap kali, tepat bersamaan dengan akhir
ceritanya, setiap stopwatch berbunyi “tit…tit…tit…”, kulihat matanya mengeruh
tetapi aku tidak menemukan pandangan bersalah di sana. Saat kami bertaut
pandang ia tersenyum setulus bulus yang sedang berusaha menyenangkan hatiku.
Aku berkata, “Perjumpaan kita
seperti pertandingan lari jarak pendek.”
Tetapi tampaknya ia tidak
berniat memperpanjang waktu dengan memutar kembali stopwatch. “Maaf, sekarang
sudah waktunya aku melayani lintah betina tua itu.” Ia suka sekali mengucapkan
kata-kata itu.
Walaupun demikian, aku yakin
bahwa ia juga suka padaku sebab laki-laki hanya mau minta maaf kepada perempuan
yang disukainya. Jadi, seketika itu, dengan perasaan suka cita, aku menjawab,
“Maaf, aku tidak suka dengan maafmu itu.”
Lain lagi dengan laki-laki
yang mulutnya begitu murah serapah. Aku tahu betul dari mana ia berbelanja
kata-kata sampah. Ia membelinya dari perempuan terhormat yang mungkin tidak
pernah membinali laki-laki. Oh, kuralat. Ia membelinya dari perempuan terhormat
yang mungkin belum pernah membinali laki-laki. Oh, kuralat lagi. Ia membelinya
dari perempuan terhormat yang mungkin sudah pernah diam-diam membinali
laki-laki. Oh, kuralat untuk kesekian kalinya. Ia membelinya dari perempuan
terhormat yang mungkin tidak suka membinali laki-laki, mungkin perempuan
terhormat itu suka membinali yang lainnya.
Jadi, terus terang kukatakan
padanya bahwa aku perempuan yang mungkin tidak terhormat tetapi mungkin cantik
dan mungkin suka membinali laki-laki. Tentu saja laki-laki yang sesuai
seleraku. Seketika itu juga ia menjual semua koleksi kata-katanya: “Pelacur,
sundal, lonte recehan!” Percuma. Aku sama sekali tidak berminat membeli
kata-kata itu, apalagi membinali dirinya.
Nah, kau tidak seperti
mereka. Kita bertemu pada suatu beranda tanpa lampion. Aku tidak yakin saat itu
dalam keadaan gelap karena sumbu lilin cukup terang untuk melihatmu dalam
keadaan memejam. Tampak wajahmu begitu tenang dan bersih sehingga aku langsung
tergila-gila.
Aku ingat sebuah dongeng
tentang Putri Tidur yang tertenung sampai seorang pangeran baik hati
membangunkannya dengan ciuman. Aku yakin kau juga sedang dalam kuasa tenung
sehingga aku ingin membebaskanmu dengan ciumanku.
Atau kau adalah drakula,
Pangeran Kegelapan yang akan bangun pada saat gelap tiba? Bila demikian, aku
sudah mempersiapkan sesuatu untukmu, akan kurelakan hidupku tidak untuk hidup
dan matiku tidak untuk mati. Aku ingin kau segera membuka mata; melihatku dan
mendengarkanku, “Inilah leher kekasihmu, Taring Runcing….” Aku menunduk untuk
menyentuhkan bibirku pada bibirmu.
Tes!
Lilin yang kupegang lebih
dahulu menjatuhkan minyaknya di bibirmu. Aku khawatir bibirmu terkelupas atau
melepuh. Ternyata tidak. Bibirmu tetap seindah pualam. Minyak lilin mengental
di sudut bibirmu. Pasti bibirmu dingin sekali. Aku kian ingin menghangatinya. Untuk
kedua kalinya aku menunduk untuk menyentuhkan bibirku pada bibirmu.
Blep!
Lilinku padam karena desis
angin membuatnya tak berdaya. Tetapi keadaan tetap tidak gelap. Ada remah-remah
cahaya yang jatuh sehingga aku bisa melihat dengan jelas bibirmu terkuak dengan
indah. Lalu dengan ikhlas kusongsong kilaumu yang menancap padaku. Dingin
sejenak saja kemudian kurasakan ada yang menetes, bercucuran, mengalir dengan
cara yang sangat sepi. Begitu kekal.
Perlahan-lahan kelopak matamu
membuka. Aku melihatmu, zahir yang menyihir. “Sssttt, ini aku, Tuan Mimpi.
Bungkuslah rapat-rapat setiap pertemuan kita. Jangan sampai ada yang terselip
di bulu mata, nanti orang lain menafsirkannya. Berjanjilah, hanya kita yang
tahu rindu begitu syahdu.” Aku hanya mampu setia untuk setiap katamu.
Abad pun berganti abad,
kunjunganmu kian paripurna. Mimpi bisa terjadi kapan saja. Tetapi aku yakin
tidak sedang bermimpi setiap bertemu denganmu. Sebab aku menyimpan dirimu dalam
ingatan paling mesra. Segenap ingatan yang bisa kubangunkan setiap saat aku
mau.
Kemudian sampailah kita pada
mangsa labuh, yang ujarmu kemarau tidak, hujan pun tidak. Pagi-pagi jadi
terlukai dan malam-malam jadi terkulai. Nganga dada membuat hari-hari kian
berbatu. Kemesraanmu rontok seperti dedaunan yang bergelimpangan sehingga
kerinduanku bagai gelandangan tak bertuan. Musim ini ngungun sekali.
“Apakah kau lupa padaku? Ke
mana kau tersesat? Mangsa labuh ini hanya sebuah musim yang menjebak!”
“Aku sudah total berubah,
tidak dan bukan yang dulu,” jawabanmu persis politisi bertelinga tebal yang
tengah meliukkan lidah pada konstituennya.
Bila kau bukan Tuan Mimpi
lagi lalu jadi apakah kau sekarang? Apakah jadi gunung, jadi laut, jadi jurang?
Aku tidak percaya kau sejahat itu padaku. Kau tidak mungkin berhitam hati dan
berputih mata padaku. Aku tetap meratap seperti tidak punya harga diri.
Bukankah cinta tidak pernah berhitung dengan harga?
Sambil menangis
sejadi-jadinya, aku mengitari jalan demi jalan, jalan yang itu-itu juga;
tikungan demi tikungan, tikungan yang itu-itu juga; ceruk demi ceruk, ceruk
yang itu-itu juga; tanjakan demi tanjakan, tanjakan yang itu-itu juga; masjid
demi masjid, masjid yang itu-itu juga; sampai…
Sampai aku menangisi azan
demi azan, azan yang itu-itu juga; harum demi harum, harum yang itu-itu juga;
puisi demi puisi, puisi yang itu-itu juga; rindu demi rindu, rindu yang itu-itu
juga; mimpi demi mimpi, mimpi yang itu-itu juga; sampai….
Sampai aku tersungkur.
Tidak kuhiraukan ujung-ujung
pepohonan yang mendongak pongah padahal sesungguhnya mereka menderita karena
terik. Mereka sudah terlalu cerdas untuk menyombongkan diri dari guncangan
angin. Seperti itulah diriku yang tidak memedulikan apakah kau mencintaiku atau
tidak, apakah kau merindukanku atau tidak, apakah kau mengharapkanku atau
tidak. Sebab aku juga sudah terlalu cerdas untuk memanjakan lukaku karena
diammu. Kau bahagia bisa membuatku begitu kan?
Aku tidak mendengar apa-apa
kecuali semilir angin mengirim gema gumam dari semesta yang menato gendang
telinga….
Duh, wong ganteng pepujaning
ati. Mung sliramu kang tansah nglelewa. Rina klawan wengi ranane wong lagi
gandrung. Among eling sira wong ganteng. Batin ora kuwawa nandang lara wuyung.
Enggala paring usada mring wak mami kang lagi ngidam sari uga nandang asmara.