Sunday, April 1, 2012

Anak Celurit

(Dimuat di Sumatera Ekpress, 1 April 2012)

Kampung Blater. Di posisi di ujung Timur Madura. Seukuran tanah di Madura, tanahnya amat subur untuk ditanami. Tegalan bertumbuhan pohon pisang dan mangga. Selain siwalan, juga tak sedikit pohon nangka bisa ditemui di kampung itu.

Jika anda berada di sana, jangan sekali-kali ceplas-ceplos bicara. Bila salah bicara, secara suka rela ujung celurit akan menjadi kenangan terakhir hidup anda. Namun, jika bersikap adhap asor , mereka akan memperlakukan anda laiknya seorang raja; sebuah pelayanan yang terbaik!

Oh, ya, satu lagi. Kalau anda laki-laki, jangan pernah berbicara berdua dengan perempuan: perawan, janda, lebih-lebih yang bersuami. Resikonya besar! Berbicara berdua dengan perempuan berarti menantang maut. Angka tertinggi kematian di sana karena motif perselingkuhan.


Kampung itu berdekat dengan pantai. Tetapi orang sekitar lebih familiar menyebutnya kampung Blater; tempat orang angko , punya etos kerja tinggi, ramah tapi kerap naik darah, dan kerap berbuat onar bila ada mirammi , terutama remong. Kasak-kusuk luka-luka bacok sudah biasa menjadi penghangat secangkir kopi; di langgar, di warung, di pematang tegal dan sawah, pasar, tempat hiburan, rapat kampung, sampai rapat desa.

Seperti sebuah karma, kebiasaan itu akan terus diwarisi, berulang pada anak cucu sampai menjadi cucu dan cucunya cucu.

Celurit Takabuwan menjadi ciri khas mereka. Serupa nyawa, senjata tajam itu dibawa ke mana kaki berderap. Bukan orang kampung Blater jika tidak memunyai celurit, cetus mereka.
Lain perihal orang dewasa, tidaklah layak anak-anak bermain-main celurit sebelum menginjak usia lima belas tahun. Demikianlah perjanjian, telah digariskan bersama. Tidak boleh dilanggar!

Karena persoalan ini, Latipah menjadi bahan gunjingan. Ia dianggap gagal mendidik Tolais, anaknya. Saban hari anak itu tak lepas dari celurit. Ke sekolah bawa celurit. Ngaji bawa celurit. Bermain bawa celurit. Dan tidur pun lelap bersama celurit itu.

“Jangankan ngurus anak, ngurus keluarganya ndak bisa,” kata ibu-ibu memberi komentar.

“Ndak usah keluarga, ngurus dirinya ndak becus,” komentar yang lain.

“Masih mending senok itu diberi kesempatan tinggal di sini,” tak seorang pun membelanya.

Tubuh Tolais hitam dan dekil. Jalannya tegap dengan mata berpijar. Apabila ada orang yang memandang, sesungging senyum tidak berat untuk dilepasnya. Sayang, ketidaksukaan masyarakat—terutama ibu-ibu—kepada Latipah menghambarkan senyum tulus bocah itu.

Bapaknya, Muksin meninggal dua tahun lalu. Tewas di tangan Talhah. Peristiwa itu, menjadi titik mula kekaribannya dengan celurit, sebuah kesatuan yang utuh. Ia tak pernah melukai siapa saja. Tetapi akan mengamuk, melempar dan membanting segala di depannya jika ada yang mencoba memisahkannya dengan celurit itu.

Tak ada yang boleh bermain dengan Tolais. Anak itu sudah gila! Begitulah teror ibu-ibu melarang anaknya.

Di sekolah, Tolais menjadi bulan-bulanan para guru. Hukuman kerap dijatuhkan. Dijewer sudah. Berdiri dengan kaki tunggal sudah. Yang terakhir, mengancam untuk menjemurnya.

“Kenapa kau selalu membawa ke sekolah?”

“Takut dicuri, Pak,” tuturnya.

“Sama siapa?”

“Ya, sama orang.”

“Orang siapa?”

“Orang jahat, Pak,” katanya lagi.

Di mata kepala sekolah, persoalan itu tak menjadi soal. Tetapi, desakan dari wali murid dan beberapa guru yang tidak suka, terpaksa ia mempersoalkan. Boleh bersekolah asal tak bawa celurit. Larangan membawa sajam adalah salah satu kode etik sekolah yang harus dipatuhi.

“Saya harap ibu bisa mengerti. Membawa segala jenis senjata tajam ke sekolah adalah tindakan yang tidak diperbolehkan,” katanya ketika bertamah ke rumah Tolais.

“Dia ndak mau,” tegas Latipah.

“Ya, kalau begitu. Kami mohon maaf. Terpaksa untuk sementara waktu kami memberhentikannya,” kata kepala sekolah serupa pecut memecut ulu hati. Bagaimana caranya agar celurit itu bisa lepas? Itu yang segera dipikirkan. Segala cara sudah dilakukan. Ke orang alim, paranormal, sampai ke dukun tak mempan.

Barangkali alam bebas adalah tempat yang paling nyaman untuk belajar. Hanya tempat itu yang mau mengajarinya kehidupan. Menyabet rumput merupakan pelajaran yang paling menyenangkan. Kerapkali tawa Tolais berpacu dengan suara kambing mengembek saat di gembala. Tolais menemukan dunianya bersama kambing-kambing itu.

Rumah Latipah menghadap ke selatan. Pada bagian-bagian tertentu sudah nampak keropos; tabing sudah bolong-bolong, bagian bawah ke empat pilar utama rumah dimakan rayap. Di halaman ada pekarangan pohon pisang. Di sudut barat daya terdapat sumur yang biasa digunakan untuk keperluan sehari-hari; masak, minum dan nyuci. Sedangkan kandang kambing di sebelah timur sejajar dengan rumahnya.

Menjelang petang, Latipah mengajarinya belajar membaca Alquran. Tolais tidak lagi ngaji kepada Haji Rais. Ada kabar, jika tetap ngaji di sana, orang-orang akan membakar langgar Haji Rais.

Lampu teplok meliuk tajam. Separuh wajahnya disembunyikan sinar itu. Kambing mengembek. Latipah menyuruh Tolais memberi makan kambing-kambingnya agar diam. Kemerisik pelepah nyiur beradu dengan tembang saronen dari kampung pesisir. Beberapa kali kilat menghentakkan pandangan, tapi tidak ada bunyi geluduk. Sepertinya, hujan akan menjambangi.

Seorang lelaki berbadan kekar datang. Jalannya timpang seperti malam itu. Udeng menyembunyikan dua telinganya yang besar. Hendak apa Mukriman malam-malam datang ke mari? Pikir Latipah. Ketidaksenangan merajut. Sepeninggal Muksin, kerapkali ia menjadi gagahan Mukriman. Bila tak menuruti atau sampai terdengar ke telinga orang lain, lelaki berkumis tebal itu mengancam akan menguburnya hidup-hidup.

“Sendirian, Man?”

“Ndak mengganggu, kan?” seulum senyum dilebarkan.

“Ndak,” dada Latipah mengencang. Sesak. Perasaannya timpang.

Latipah memanggil Tolais. Buru-buru anak itu lari dan bersalaman. Latipah sibuk mengatur diri agar tidak salah tingkah di depan anaknya.

“Tetap kau jaga amanahku?” kata Mukriman. Satu kaki ditekuk ke atas lincak.

“Iya, Man. Setiap hari aku mengasahnya,” jawabnya semangat.

“Bagus,” Mukriman menepuk pundak Tolais. Latipah tidak mengerti apa sebenarnya yang dibicarakan. Sementara, mata juling Mukriman terus menggoda.

“Apa maksudnya?”

“Apa anakmu pernah bercerita?”

“Cerita apa?”

“Apa kamu pernah bercerita?” tanyanya pada Tolais.

“Tidak. Kan, paman sendiri yang melarang.”

“Katakan apa yang kau ceritakan pada anakku?” desak Latipah.

Hujan sudah turun ketika Mukriman bercerita. Kilat mengkilap. Oh, betapa berat napas Latipah. Darah kental terhampar di matanya. Bau amis meruak. Tangan Latipah serasa memegang usus suaminya yang terburai. Latipah baru tahu kalau celurit yang selalu dipegang Tolais adalah sekep Talhah yang telah menewaskan suaminya.

“Biarkan anakmu kelak membalasnya,” kata Mukriman.

Tangan Latipah mengerat. Sorot matanya tajam, berkobar. Tak menyangka diam-diam Mukriman menanamkan bara dendam di hati Tolais. Ia merasakan dosa yang berlipat. Sebagai seorang istri ia telah gagal menjaga martabat keluarga. Kini ia dibayang-bayangi kegagalan mendidik anak. Nasib telah menyeretnya pada pusaran yang sama.

“Tolais anak kecil! Aku ndak mau kejadian itu terulang lagi pada keluargaku,” Latipah meninggikan suara

“Bukankah kau selalu menghianati suamimu?” bisiknya lembut.

Pintu rumah berderit dihempas angin. Lampu teplok pontang panting mempertahankan sinarnya. Kambing-kambing tidak lagi mengembek. Mungkin bulu tebal tidak terlalu kuat menahan dingin. Sebagai perempuan, Latipah merasa terhina. Kegagalan menjaga martabat suami serasa diungkit kembali.

Kalau saja sejak dulu Latipah menceritakan kedok busuk kakak dari suaminya itu sendiri, pasti peristiwa carok sedarah telah terjadi. Ia rela mengorbankan harga diri demi harga diri keluarga dari pihak suami. Mukriman telah menodainya jauh sebelum perselingkuhan dengan Talhah di dengar warga.

Bukankah Mukriman juga membantu Muksin untuk melenyapkan nyawa Talhah sehingga kakinya menjadi pincang? Benar, perbuatan itu hanya karena motif harga diri keluarga. Sebagai salah seorang blater ternama, tentu menjadi aib bila tidak mau membantu persoalan adiknya.

Gelap terus bergelayut. Mukriman memutuskan diri menginap. Tak mungkin hujan bisa ditembus. Sesekali ia mendehem, sesekali megedar pandang pada Ember, panci, dan kaleng bekas berserakan menadah air hujan dari atap bocor. Gemeretak gigi beradu kuat.

“Segeralah tidur,” perintah Mukriman.

Kemerisik pelepah siwalan diterjang angin menyorongkan getir. Kilat mengkilap, tak ada suarau guntur. Latipah tak segera tidur. Bayangan enam tahun silam, ketika dua bulan sebelum berstatus pengantin baru, menusuk ulu hati. Sesekali ia membuka kelambu. Memastikan tubuh ringkih itu tetap berada di tempatnya.

“Kau mirip pamanmu,” katanya memandang wajah Tolais yang tertidur pulas. “Dialah bapakmu,” ada air yang menetes. “Tak apalah, pantasnya kau jadi anak celurit, bukan anakku. Aku ndak pantas jadi ibumu,” katanya lagi.

Pagi berseri-seri. Tetes air jatuh dari rimbun daun siwalan. Aroma celatong menruak penciuman. Bertelanjang dada, para lelaki hilir mudik. Pergi tanpa alas kaki. Jalan-jalan kampung menjadi becek. Ibu-ibu menjemur seprei dan tikar yang sempat basah semalaman. Tolais membuka kandang dan menyeret kambing-kambingnya keluar. Hewan itu berdesakan hingga tempias air terpercik ke bajunya.

Ibu-ibu yang pergi ke sumur memandang sinis bila sedang mendapati Latipah di rumahnya. Bila tak ada, Tolais yang akan menjadi sasaran. Sentilan-sentilan kecil meruak di sumur itu.
Sentilan itu berhenti. Salah seorang dari mereka terjebak heran. Air sumur yang dituangkan dari timba tak biasa. Merah.***

Sumenep, November 2011 - Januari 2012

0 comments: