(Dimuat di Radar Surabaya, 8 April 2012)
SIANG yang diramalkan buruk. Gerimis akan menyambangi bumi dan darah akan muncrat begitu liarnya. Begitulah ramalan Ki Sapraji pada lotrengan1 hari ini. Dua jam lagi pertunjukan akbar kontes sapi sonok akan dimulai. Gumpalan awan kelabu berarakan di langit, tak menghalangi hiruk pikuk Lapangan Trunojoyo yang ditahbiskan sebagai arena adu kemolekan sapi tahun ini. Berpuluh-puluh orang bepakaian blaster merah-putih dan celana komprang setia bersama gacoan sapi mereka.
Sepuluh pasang sapi, lengkap dengan segala atributnya siap unjuk kebolehan. Kalung kuningan dan kilauan pernak pernik berpendar menghiasi paras sepasang sapi yang sebelumnya diluluri kunyit dan aneka kembang agar tubuhnya sintal, mengkilap, dan wangi. Seandainya mereka manusia, akan sangat cantik bermahkota permata dan kilauan manik-manik melingkar di leher.
Tidak! Sapi-sapi itu memang benar-benar cantik. Lihatlah! sepasang sapi Kusen lebih cantik daripada istri yang setia menemaninya di arena pertandingan. Bibirnya saja lebih sensual. Lebih basah ketimbang bibir istrinya. Lihatlah! Sapi gacoan Durham lebih molek dari paras istri pertama dan keduanya. Begitu juga dengan sepasang sapi Kang Slamet, keseksiannya tak bisa dibandingkan dengan istri dan anaknya yang sudah dewasa.
Hampir dua jam aku mematung di pinggir arena. Sapi-sapi itu belum diarak juga. Tembang saronen mengaung dari corongan2. Berpacu seperti segerombolan anak tawon yang terperangkap di gendang telinga. Obrolan penonton saling pagut. Remeh-temeh transaksi kemenangan semakin membuat mukaku merah padam.
Kemana Dullah? Tidak. Dia tak akan ciut sebelum bertanding. Aku tak mau mendengar tawa kemenangan Durham meledak di lapangan. Aku tak terima jika Dullah mundur!
Angin berbisik dan terasa dingin. Tubuhku tersulut bara tatapan Durham. Senyumnya tak ubah Arjuna yang bersembunyi di balik kewibawaan gurunya, resi Durna saat menjatuhkan dhaksana kepada Ekalaya. Perilaku picik yang membuat Ekalaya harus kehilangan ibu jarinya sebagai bukti abdi pada resi Durna, hingga pemanah ulung tersematkan pada Arjuna, bukan kepadanya.
Semua pasangan sapi sonok diarak ke pinggir arena. Tembang saronen terus bertalu. Riak sorak penonton mengiring gerak selendang penandak yang diundang khusus memeriahkan pesta tahunan itu. Gerakan gemulai membuat penonton berebutan ke pinggir arena hanya untuk melihat kesemokan bokong para penandak.
Kemana Dullah? Keparat! Tatapan Durham membuatku geram. Tunggu. Jangan-jangan ini gara-gara Marhani Dullah tak datang. Awas jika kau sampai berbuat licik, Durham! Aku tak akan berpikir dua kali untuk mengalungkan celurit ke lehermu.
“Pulanglah, percuma kau menunggu Dullah!” Ah, mata Durham berbicara.
“Penonton sekalian. Sebentar lagi lotrengan ini akan segera dimulai. Siapakah yang akan menang dan membawa pulang tropi kebanggaan Madura?” suara pemandu acara di atas panggung membuatku semakin kalut sekaligus berang.
“Oh, lihat! Ternyata masih ada satu kontestan lagi yang belum hadir. Apakah ia akan gugur?” Hem, pertanyaan muskil.
Dullah pasti datang. Tatapan itu berbisik. Mengejekku.
“Lihat, ternyata jawara dari timur datang!” Ratusan orang mengarah pada sorot mata yang ditunjukkan pemandu. Dullah datang bak seorang raja yang disambut para ajudannya. Sepasang sapi sonok diturunkan dari atas pick up. Tembang saronen dan sorak penonton menyambutnya.
Pertandingan akan seru! Ini bukanlah sekedar pertandingan adu kemolekan dan kecantikan sapi, melainkan pertaruhan nyawa untuk menelan pil malu. Harga diri dipertaruhkan! Dullah dan Durham mewakili wilayah Sumenep karena sepasang sapi mereka bertahbis jawara. Meski dari wilayah yang sama, keduanya tetap memendam bara pandang. Durham tak terima sepasang sapinya menjadi jawara di bawah kasta sapi Dullah. Ia tak terima atas kekalahan itu.
Sebenarnya Slamet, ayah Dullah masih dalam satu garis keturunan dengan Durham. Tetapi kekalahan terus menerus yang menimpa sepasang sapinya saat beradu kemolekan di arena dengan sapi Slamet, membuatnya menyimpan bara hati. Segala cara dilakukan untuk menang.
Kini, yang akan menjadi taruhan adalah anaknya, Marhani yang saling kesengsem dengan Dullah sejak kecil. Ia mengancam Dullah akan menikahkan anaknya dengan seorang dukun yang selama ini menjadi perawat sapi-sapinya. Tentu, hal itu terjadi jika Dullah tetap mengikuti kontes ini. Menang-kalah, tetap kalah.
“Besar juga nyalimu, cah bagus. Keras kepala seperti bapakmu,” kata Durham angkuh. Aku terpancing amarah. Hampir saja celurit kutarik dari dalam berengka, tapi tangan Dullah menenangkan.
“Cukuplah paman mengambil tanah yang sudah jelas-jelas menjadi bagian warisan bapakku.”
“Oh, begitu? Bagian bapakmu? Cuih, cah bagus, bagaimana dengan bagianmu? Apa kau masih mau memiliki anakku?” Ucapnya enteng. Kali ini Dullah mematung nanar. Marah menggumpal di urat-urat tubuhnya.
“Menikahlah dengan sapi-sapimu, cah bagus,” ucap Durham yang berlalu dengan mata jalang.
Dullah menggumpalkan tangan kuat-kuat. Pasti ia teringat pada janjinya dengan Marhani. Lotrengan ini harus ia menangkan. Ia sudah berjanji akan mengalahkan pamannya. Ia tak mau keluarganya selalu dilecehkan. Inilah kesempatan untuk menunjukkan bahwa ancaman itu tak berpengaruh apa-apa.
“Pulanglah! Hari sudah larut malam. Aku tak mau mencari gara-gara dengan bapakmu sebelum besok pagi,” Kata Dullah malam itu.
Dullah tak sengaja bertemu Marhani saat hendak memberikan sepuluh telur ayam dan secangkir madu untuk jamu sapi-sapinya. Dullah menemukan Marhani sedang berjongkok-jongkok dan mengintip dari kolong-kolong bambu,di bawah Pohon Siwalan dekat kandang sapi.
“Aku takut kau kalah.” Sepasang mata bundarnya menatap nanar. Ada ketakutan yang mengair dan menganak sungai.
Benarkah tak ada celah di hati Durham untuk menerima Marhani sebagai menantunya? Seberapa berhargakah baginya antara sapi dan anaknya?
“Semuanya akan ditentukan besok! Pulanglah.”
“Aku takut!”
“Percaya...” mata durham menatap nanap.
“Tidak! Mundurlah sebelum terlambat. Kau tak akan mampu mengalahkan bapakku.” Marhani benar-benar ketakutan. Sepertinya kemenangan sudah ditentukan di malam itu.
“Aku harus bisa menyadarkan bapakmu.”
“Jangan! Aku saja tak berdaya saat bapak mengalungkan celuritnya ke leherku,” suara Marhani lirih. Ada sesuatu yang disembunyikan.
“Jika bapakmu bisa mengalungkan celurit ke lehermu, mengapa aku tak bisa mengalungkan kepadanya?”
“Aku takut!”
“Pulanglah. Bapakmu tak akan mengapa-apakanmu. Aku berjanji.” Gadis itu dilematis.
Kepulangan Marhani di malam itu menyiratkan curiga mendalam yang mengernyitkan dahi. Peristiwa itu masih berseliweran, seperti penandak yang sudah keluar arena, mengundang selera para jhereghen3 sapi untuk menyematkan beberapa uang ke tengah lekukan buah dada atau mengalungkan uang puluhan ribu ke lehernya. Para kontestan Sapi Sonok diarak ke garis start. Durham dan Dullah berperang pandang.
“Nasibmu dan Marhani berada di garis akhir sana,” kata Durham.
“Katembheng pote mata, bhengok pote tolang4.”
Keparat!
Sepasang mata jentik berpadu pandang dengan Dullah. Oh, bukankah itu Marhani?
“Aku akan menang!”
Kata yang dilafalkan Dullah lebih berupa bisikan pada dirinya sendiri. Namun, aku dapat mendengar dengan sangat jelas. Aku tak mengerti apa yang sedang dipikirkannya. Mata jalang membakar pandang. Darah Saghara!
“Dullah, kau masih punya kesempatan menjatuhkan pelukanmu ke tubuh Marhani. Mundurlah sebelum kau sampai ke garis itu!”
“Aku sudah janji.”
“Apa, janji?”
Tidak. Dullah tidak akan mengalah. Darah Saghara berdenyut di urat nadinya. Dullah seperti meyakinkan Marhani bahwa pertemuan kemarin malam, di bawah pohon Siwalan merupakan bentuk pembuktian cintanya. Jika hanya dengan ujung celurit bapakmu akan sadar, akan aku lakukan. Ucapan itu kembali menjelma seperti angin yang menerbangkan debu lapangan.
Gemerincing gelang kaki dan kalung kuningan pada leher sepasang sapi berdenting-denting. Suara saronen memperindah lenggokan sepasang sapi itu. Semua berdecak mengunggulkan gacoan masing-masing. Dullah, Durham dan kontestan lain berkomat kamit merapalkan mantra sambil mengatur ritme jalan sepasang sapi mereka.
Lantunan saronen berirama dengan gerakan kaki bergemerisik halus. Aroma kembang mulai merebak. Menyengat bercampur keringat.
Sapi Durham sangat menarik. Lihatlah! Kedipan matanya!
Sapi Dullah juga tak kalah bagus. Cara berjalannya begitu gemulai menggoda hati!
Hayo, hayo...!
Dewan juri berdecak kagum ketika sapi Dullah unjuk kebolehan. Meski kagumnya tak ditampakkan di depan khalayak, aku dapat melihat. Dan bisa dipastikan sapi Dullah yang ditahbis sebagai pemenang.
Langit mendung menjadi tetes-tetes air yang membasahi arena pertandingan. Hujan turun membawa gairah baru pada tubuh-tubuh manusia lelah yang berjam-jam berdiri di pinggir arena. Pungungpunggung sapi mengkilap. Aroma kembang merebak. Sapi-sapi itu seperti kembang desa yang sedang berbasah-basahan di pancuran. Mengundang selera!
Marhani mematung kaku bersama ketakutannya. Kembang desa yang mungil nan cantik itu mendekap sendiri. Menahan getar menggerayangi sekujur tubuhnya. Matanya mengeja setiap gerak kaki sepasang sapi Dullah.
“Oh, lihat! Ada apa dengan sepasang sapi Dullah?”
Suara itu seperti lecutan cambuk api. Sepasang sapi Dullah mulai melemas. Jalannya mulai tak beraturan. Ada apa ini? Dullah kebingungan. Ia mencoba mengatur ritme jalan sepasang sapinya agar tetap pada penampilan terbaik. Usahanya gagal. Jalan sapi-sapi itu mulai tak kompak. Sepasang sapi itu pucat seperti pemiliknya kini.
“Kenapa? Ada apai ini?” ucap Dullah tanpa daya. Aku pun turut kebingungan. Pasti ini perbuatan Durham. Keparat. Awas kau Durham!
Mata Dullah jalang menelanjangi Durham. Tangannya mengepal. Giginya bergemeretak. Berfirasat bahwa peristiwa adalah lakon pamannya sendiri. Penonton berbisik toleh kanan-kiri mencari dan menemukan jawaban. Gerimis yang turun tak menyulutkan amarah yang sudah terlanjur menjilat-jikat tubuhnya. Jika memang celurit harus berbicara, aku akan mendukungmu, Dullah!
Di pinggir arena, mata Marhani sembab memerah. Hujan menyembunyikan air matanya. Tetapi getar bibirnya tak bisa ia sembunyikan. Ah, pertemuan di malam itu menggumpal di urat nadiku.***
Batu Putih, 10.51 PM
CATATAN:
1 Kontes Sapi Sonok
2 Pengeras suara
3 Juragan
4 Daripada Putih Mata, Lebih Baik Putih Tulang
0 comments:
Post a Comment