(Dimuat di Radar Surabaya, 22 April 2012)
Bakri bersenyum. Lebar. Menampakkan gigi yang tanggal satu. Ia terpekur menggali hikmah yang terpendam dari ucapan seorang lelaki berkacamata minus di depannya. Bocah yang lugu, yang selalu ingin tahu. Kopyah putih bercongkol di kepalanya. Miring. Kusut.
Bel sekolah berbunyi. Murid-murid berhamburan keluar dari ruang kelas yang pengap. Mereka buyar bak sekantong pasir yang bocor. Berlarian di bawah terik matahari dan tanah yang masih becek. Tak peduli peluh membasahi seragam mereka yang putih dan lumpur melumuri celana hijau, yang besok masih harus dipakai.
Bakri tak beranjak dari tempat duduknya. Ia menatap Pak Soleh yang tengah sibuk merapikan lembaran kertas hasil ujian yang baru ditugaskan pada murid-muridnya. Mimik pemilik kacamata minus itu kadang tersenyum, manggut-manggut, mengernyitkan dahi, dan menggelengkan kepala melihat tulisan surat al-Ikhlas yang baru ditulis mereka.
Sekilas sunyi. Hanya pekikan anak-anak sepantaran yang bermain di luar kelas. Berlarian, bermain petak umpet, banteng-bantengan, atau bermain ular naga. Di deretan bangku paling utara, nomor dua dari depan, Bakri selalu menebar senyum. Entah, tersenyum kepada siapa. Pak Soleh heran melihat tingkah laku muridnya itu.
“Bakri, mengapa kamu tersenyum, Nak?” tanya Pak Soleh penuh keheranan. Bakri Cuma melebarkan senyumnya. Lantas tertawa kecil. Di tanya kok malah tertawa, gumam Pak Soleh.
“Pak, apa benar Allah bisa mengabulkan segala permintaan kita?” ucapnya polos. Giliran Pak Soleh yang tersenyum. Pertanyaan yang sangat mudah––baginya.
Ia menggeser kacamata sedikit ke atas sebelum menjawab dengan jelas––pastinya dengan bahasa yang mudah dipahami oleh bocah seukuran Bakri yang baru kelas III Madrasah Ibtidaiyah. Pak Soleh beringsut membetulkan tempat duduknya.
“Ya, anakku. Allah akan selalu mengabulkan permintaan hambanya, termasuk kita. Asalkan hamba itu tulus meminta kepada-Nya. Kalau hati kita ikhlas, kita akan mendapatkan apa yang akan kita minta,” Pak Soleh memang sengaja memanggil seluruh muridnya dengan sebutan anak agar terasa lebih dekat.
“Terima kasih, Pak, sekarang aku sudah paham,” jawab bocah itu. Pak soleh menganggukkan kepala. Walau sebenarnya ia kurang mengerti dengan maksud ‘paham’ versi Bakri. Namun, cukup puaslah ia melihat muridnya sudah bisa mengatakan ‘paham’ terhadap jawabannya.
***
Bakri menatap perempuan bermuka keruh terbaring tak berdaya di atas lincak. Kaki lincak itu sebagian sudah termakan rayap, seakan tak kuat menahan tubuh ringkih ibunya. Namun, begitulah, hanya tempat itu yang bisa dijadikan sarana berbagi, sebagai kursi dan ranjang, di bawah rumah berdinding sirap itu; tempat berbagi ibu dan anak.
“Bu, kenapa ibu tak berobat ke rumah Pak Burdi?” Pertanyaan itu keluar tanpa beban. Pak Burdi, seorang dokter terkenal di kampung itu. Dekter yang dianggap bisa menyembuhkan segala macam penyakit.
“Ibu tak punya uang, Nak. Mana cukup uang bisa membayar biaya rumah sakit,” datar jawaban itu. Ada yang jatuh dari ceruk matanya.
Setelah si suami menghilang dalam rantauan tanpa kabar, dua tahun lalu, ia cuma bertumpu pada pekerjaan menghancurkan batu gamping. Setiap hari harus mendaki bukit. Berjuang mempertaruhkan Bakri yang sudah ditinggalkan suaminya sejak berusia enam tahun. Seluruh harta kekayaan tersisa, yakni perahu cadik dan sepetak tanah warisan orangtua si ibu yang tak begitu luas, telah dijual untuk keperluan modal berdagang––setelah memutuskan berhenti melaut. Tapi, tak dapat dinyana, usahanya pailit. Sampai, jalan keluar yang ditempuh untuk melunasi hutang adalah merantau.
Anak dan ibu itu diam. Tatapan Bakri menganaksungaikan air mata ibunya. Ia tahu, bagaimana perasaan anaknya, kini: berusaha menolongnya. Pada situasi demikian, ia teringat kenangan masa lalu saat bersama Bisri yang sangat bahagia melihat kelahiran Bakri di hari pertaman bocah itu menghirup udara.
“Kalau begitu, biar Bakri yang cari uang berobat untuk ibu,” cetusnya meyakinkan. Bisakah bocah sekecil ia bisa mencari uang sendiri? Dengan apa? Itu yang membuat ibunya tak percaya. Toh, Walaupun bersungguh-sungguh berucap, baginya, Bakri masih terlalu kecil untuk urusan duniawi. Apa yang bisa dilakukan bocah sepantarannya selain minta uang, bermain, atau menangis jika permintaan tak terkabulkan.
***
Hujan baru saja reda. Kring…kring. Tukang pos tengah mengayuh sepeda ontel. Setiap pagi tukang pos itu selalu lewat di depan rumah Bakri. Roda yang menghindari genangan air, membuat raut tukang pos tampak lucu. Bakri tertawa sembari tangannya menuding-nuding tukang pos. Terpingkal-pingkal.
Tukang pos sudah raib dari pandangannya. Bakri termenung. Berpikir dengan apa harus mencari uang membiayai pengobatan ibunya. Di beranda, Bakri menatap kosong pada tanian lanjheng (halaman panjang) serta gelombang air pada lubang-lubang kecil di jalan setapak. Ia kembali ingat kata gurunya di kelas beberapa hari lalu: asalkan sungguh-sunguh meminta kepada-Nya dengan hati ikhlas, kita akan mendapatkan apa yang kita minta. Hem, bersunggutlah kepalanya.
Ia mengeluarkan sebuah buku tulis aus dari tas aus bergambar Doraemon. Semua serba aus. Pensil sudah di tangan, aus pula. Membuka buku, membolak balik lembar per lembar mencari ruang kosong tanpa oretan. Setelah ketemu, ia merobeknya.
Bakri berpikir. Bertafakur. Lalu mulai menulis.
Kepada Yang Terhormat
Pangeran gusti Allah
Usai menulis kalimat itu, Bakri berhenti. Terpekur. Kata apa yang harus ia tulis pertama kali. Pensil yang mirip crayon itu di pukul-pukulkan ke jidatnya. Memanggil ilham agar segera turun. Lalu, keceriaan tiba-tiba muncul dari raut wajahnya. Ilham itu datang.
Ia beringsut, membetulkan duduknya.
Ya, Allah… ibu sakit. Katanya, tak punya uang untuk berobat. Bapak tak ada. Kata ibu, bapak masih mencari uang untuk mengobati ibu. Tapi, sampai sekarang bapak belum kembali juga. Lama sekali.
Ya, Allah… kata pak guru, jika aku meminta dengan hati yang ikhlas, maka Kau akan mengabulkan permintaanku. Sekarang, aku butuh uang untuk sakit ibu. Aku ingin minta uang padaMu, ya Allah, untuk mengobati Ibu.
Aku sangat memohon sekali, Ya, Allah, mau mengabulkan permintaanku. Amien ya rabbal alamien.
dari Bakri
Bakri bersenyum setelah menyelesaikan kalimat terakhir. Ia membaca ulang. Seraut wajahnya menampakkkan keyakinan terkabulkan. Ia melipat surat itu dan memasukkan ke dalam amplop. Surat itu dipegangnya erat-erat. Menaruh harapan setinggi keiklasannya agar Allah mengabulkan permintaannya.
***
Lama Bakri berdiam diri di beranda. Menanti bunyi kring…kring sepeda ontel tukang pos. Tak lama kemudian, pria berkumis jambul yang diharapkan datang. Bakri berlari. Menghampiri. Menyerahkan surat itu.
“Pak, tolong aku,” ungkapnya sambil menyerahan surat itu. Pria berbaju orange itu lantas tersenyum.
“Untuk siapa, Nak?” tanya tukang pos.
“Untuk biaya ibu, Pak. Ibu sakit,” jawabnya––seperti––tidak nyambung. Tapi tukang pos mencoba memahami perkataan Bakri. Tukang pos tahu kalau ibunya mememang sedang sakit.
Tukang pos langsung memasukkan surat itu ke dalam tasnya. Sebelum berangkat, ia menatap lekat wajah Bakri, ditinggal si bapak entah ke mana. Tukang pos mengucek-ngucek rambutnya yang pirang––yang hampir tidak ketahuan kalau sebenar ada rambut yang tumbuh di kepalanya––lalu berlalu.
Kring…kring…
***
Siang begitu terik. Matahari sangar menyengat ubun-ubun. Tukang pos memarkirkan sepeda ontelnya di samping masjid. Dalam dirinya seolah melekat lelah yang tiada terkira. Jibrilnya manusia itu ingin istirahat sejenak, sekalian menunaikan solat lohor.
Selesai solat, tukang pos mengecek barang bawaannya. Di tasnya, yang tersisa hanya surat dari Bakri.
“Kepada Tuhanku. Tuhanku siapa?” ejanya. Tukang pos membolak balikkan amplop kecil itu. Mengernyitkan dahi. tahulah kalau surat dari Bakri dialamatkan pada Tuhan. Tukang pos terjebak bingung. Kiranya, Bakri disuruh Pak Lurah mengantarkan surat itu kepada instansi atau lembaga sosial yang bisa membantu meringankan biaya kesehatan ibunya.
Bagaimana caranya menyampaikan surat itu pada alamat yang dituju? Apakah harus mengembalikan kembali pada Bakri? Pasti bocah itu akan kecewa, batinnya. Tapi, Tuhan yang dimaksud itu siapa? Alamatnya juga tak jelas.
Ujung surat itu disobek. Dibuka. Lantas, tahulah tukang pos maksud dari surat itu. Ia terharu. Tak perlulah surat itu dikembalikan. Pikirannya Cuma satu, bagaimana cara surat itu benar-benar bisa sampai pada Tuhan,––menurut pemahaman Bakri, sesuai dengan keinginannya––meski cara yang dilakukan Bakri salah. Ia tetap ingin menanamkan keyakinan pada seorang bocah yang ingin belajar mengerti tentang sebuah keyakinan.
Ia memanggil takmir masjid yang tak lain adalah kemenakannya sendiri. Tukang pos mengurai-menjelaskan tentang isi surat itu dan tentang penderitaan yang dialami oleh keluarga Bakri. Takmir masjid itu tersenyum. Ada kebahagiaan yang terpancar dari seraut wajah yang masih tergolong muda.
“Di mana rumah anak itu, Man?” katanya.
***
Hari sudah menjelang maghrib ketika Bakri mempersilakan kedua tamunya masuk. Kedatangan dua tamu itu membuat Bakri berjingkrak girang.
“Bu, kemarin aku ngirim surat pada Gusti Pangeran. Aku minta uang untuk bisa ngurus sakit ibu. Hari ini Gusti Pangeran membalas suratku. Ia mengabulkan permintaanku, memberikan uang ini untuk biaya perawatan ibu,” ungkap Bakri. Polos. Ibunya yang tetap terbaring rapuh tak kuasa menatap pancaran cahaya di wajah anaknya. Ada yang kembali mengucur. Ia meminta si tamu membantunya untuk bangkit hendak memeluk Bakri.
Ponpes Annuqayah, 2010
Bakri bersenyum. Lebar. Menampakkan gigi yang tanggal satu. Ia terpekur menggali hikmah yang terpendam dari ucapan seorang lelaki berkacamata minus di depannya. Bocah yang lugu, yang selalu ingin tahu. Kopyah putih bercongkol di kepalanya. Miring. Kusut.
Bel sekolah berbunyi. Murid-murid berhamburan keluar dari ruang kelas yang pengap. Mereka buyar bak sekantong pasir yang bocor. Berlarian di bawah terik matahari dan tanah yang masih becek. Tak peduli peluh membasahi seragam mereka yang putih dan lumpur melumuri celana hijau, yang besok masih harus dipakai.
Bakri tak beranjak dari tempat duduknya. Ia menatap Pak Soleh yang tengah sibuk merapikan lembaran kertas hasil ujian yang baru ditugaskan pada murid-muridnya. Mimik pemilik kacamata minus itu kadang tersenyum, manggut-manggut, mengernyitkan dahi, dan menggelengkan kepala melihat tulisan surat al-Ikhlas yang baru ditulis mereka.
Sekilas sunyi. Hanya pekikan anak-anak sepantaran yang bermain di luar kelas. Berlarian, bermain petak umpet, banteng-bantengan, atau bermain ular naga. Di deretan bangku paling utara, nomor dua dari depan, Bakri selalu menebar senyum. Entah, tersenyum kepada siapa. Pak Soleh heran melihat tingkah laku muridnya itu.
“Bakri, mengapa kamu tersenyum, Nak?” tanya Pak Soleh penuh keheranan. Bakri Cuma melebarkan senyumnya. Lantas tertawa kecil. Di tanya kok malah tertawa, gumam Pak Soleh.
“Pak, apa benar Allah bisa mengabulkan segala permintaan kita?” ucapnya polos. Giliran Pak Soleh yang tersenyum. Pertanyaan yang sangat mudah––baginya.
Ia menggeser kacamata sedikit ke atas sebelum menjawab dengan jelas––pastinya dengan bahasa yang mudah dipahami oleh bocah seukuran Bakri yang baru kelas III Madrasah Ibtidaiyah. Pak Soleh beringsut membetulkan tempat duduknya.
“Ya, anakku. Allah akan selalu mengabulkan permintaan hambanya, termasuk kita. Asalkan hamba itu tulus meminta kepada-Nya. Kalau hati kita ikhlas, kita akan mendapatkan apa yang akan kita minta,” Pak Soleh memang sengaja memanggil seluruh muridnya dengan sebutan anak agar terasa lebih dekat.
“Terima kasih, Pak, sekarang aku sudah paham,” jawab bocah itu. Pak soleh menganggukkan kepala. Walau sebenarnya ia kurang mengerti dengan maksud ‘paham’ versi Bakri. Namun, cukup puaslah ia melihat muridnya sudah bisa mengatakan ‘paham’ terhadap jawabannya.
***
Bakri menatap perempuan bermuka keruh terbaring tak berdaya di atas lincak. Kaki lincak itu sebagian sudah termakan rayap, seakan tak kuat menahan tubuh ringkih ibunya. Namun, begitulah, hanya tempat itu yang bisa dijadikan sarana berbagi, sebagai kursi dan ranjang, di bawah rumah berdinding sirap itu; tempat berbagi ibu dan anak.
“Bu, kenapa ibu tak berobat ke rumah Pak Burdi?” Pertanyaan itu keluar tanpa beban. Pak Burdi, seorang dokter terkenal di kampung itu. Dekter yang dianggap bisa menyembuhkan segala macam penyakit.
“Ibu tak punya uang, Nak. Mana cukup uang bisa membayar biaya rumah sakit,” datar jawaban itu. Ada yang jatuh dari ceruk matanya.
Setelah si suami menghilang dalam rantauan tanpa kabar, dua tahun lalu, ia cuma bertumpu pada pekerjaan menghancurkan batu gamping. Setiap hari harus mendaki bukit. Berjuang mempertaruhkan Bakri yang sudah ditinggalkan suaminya sejak berusia enam tahun. Seluruh harta kekayaan tersisa, yakni perahu cadik dan sepetak tanah warisan orangtua si ibu yang tak begitu luas, telah dijual untuk keperluan modal berdagang––setelah memutuskan berhenti melaut. Tapi, tak dapat dinyana, usahanya pailit. Sampai, jalan keluar yang ditempuh untuk melunasi hutang adalah merantau.
Anak dan ibu itu diam. Tatapan Bakri menganaksungaikan air mata ibunya. Ia tahu, bagaimana perasaan anaknya, kini: berusaha menolongnya. Pada situasi demikian, ia teringat kenangan masa lalu saat bersama Bisri yang sangat bahagia melihat kelahiran Bakri di hari pertaman bocah itu menghirup udara.
“Kalau begitu, biar Bakri yang cari uang berobat untuk ibu,” cetusnya meyakinkan. Bisakah bocah sekecil ia bisa mencari uang sendiri? Dengan apa? Itu yang membuat ibunya tak percaya. Toh, Walaupun bersungguh-sungguh berucap, baginya, Bakri masih terlalu kecil untuk urusan duniawi. Apa yang bisa dilakukan bocah sepantarannya selain minta uang, bermain, atau menangis jika permintaan tak terkabulkan.
***
Hujan baru saja reda. Kring…kring. Tukang pos tengah mengayuh sepeda ontel. Setiap pagi tukang pos itu selalu lewat di depan rumah Bakri. Roda yang menghindari genangan air, membuat raut tukang pos tampak lucu. Bakri tertawa sembari tangannya menuding-nuding tukang pos. Terpingkal-pingkal.
Tukang pos sudah raib dari pandangannya. Bakri termenung. Berpikir dengan apa harus mencari uang membiayai pengobatan ibunya. Di beranda, Bakri menatap kosong pada tanian lanjheng (halaman panjang) serta gelombang air pada lubang-lubang kecil di jalan setapak. Ia kembali ingat kata gurunya di kelas beberapa hari lalu: asalkan sungguh-sunguh meminta kepada-Nya dengan hati ikhlas, kita akan mendapatkan apa yang kita minta. Hem, bersunggutlah kepalanya.
Ia mengeluarkan sebuah buku tulis aus dari tas aus bergambar Doraemon. Semua serba aus. Pensil sudah di tangan, aus pula. Membuka buku, membolak balik lembar per lembar mencari ruang kosong tanpa oretan. Setelah ketemu, ia merobeknya.
Bakri berpikir. Bertafakur. Lalu mulai menulis.
Kepada Yang Terhormat
Pangeran gusti Allah
Usai menulis kalimat itu, Bakri berhenti. Terpekur. Kata apa yang harus ia tulis pertama kali. Pensil yang mirip crayon itu di pukul-pukulkan ke jidatnya. Memanggil ilham agar segera turun. Lalu, keceriaan tiba-tiba muncul dari raut wajahnya. Ilham itu datang.
Ia beringsut, membetulkan duduknya.
Ya, Allah… ibu sakit. Katanya, tak punya uang untuk berobat. Bapak tak ada. Kata ibu, bapak masih mencari uang untuk mengobati ibu. Tapi, sampai sekarang bapak belum kembali juga. Lama sekali.
Ya, Allah… kata pak guru, jika aku meminta dengan hati yang ikhlas, maka Kau akan mengabulkan permintaanku. Sekarang, aku butuh uang untuk sakit ibu. Aku ingin minta uang padaMu, ya Allah, untuk mengobati Ibu.
Aku sangat memohon sekali, Ya, Allah, mau mengabulkan permintaanku. Amien ya rabbal alamien.
dari Bakri
Bakri bersenyum setelah menyelesaikan kalimat terakhir. Ia membaca ulang. Seraut wajahnya menampakkkan keyakinan terkabulkan. Ia melipat surat itu dan memasukkan ke dalam amplop. Surat itu dipegangnya erat-erat. Menaruh harapan setinggi keiklasannya agar Allah mengabulkan permintaannya.
***
Lama Bakri berdiam diri di beranda. Menanti bunyi kring…kring sepeda ontel tukang pos. Tak lama kemudian, pria berkumis jambul yang diharapkan datang. Bakri berlari. Menghampiri. Menyerahkan surat itu.
“Pak, tolong aku,” ungkapnya sambil menyerahan surat itu. Pria berbaju orange itu lantas tersenyum.
“Untuk siapa, Nak?” tanya tukang pos.
“Untuk biaya ibu, Pak. Ibu sakit,” jawabnya––seperti––tidak nyambung. Tapi tukang pos mencoba memahami perkataan Bakri. Tukang pos tahu kalau ibunya mememang sedang sakit.
Tukang pos langsung memasukkan surat itu ke dalam tasnya. Sebelum berangkat, ia menatap lekat wajah Bakri, ditinggal si bapak entah ke mana. Tukang pos mengucek-ngucek rambutnya yang pirang––yang hampir tidak ketahuan kalau sebenar ada rambut yang tumbuh di kepalanya––lalu berlalu.
Kring…kring…
***
Siang begitu terik. Matahari sangar menyengat ubun-ubun. Tukang pos memarkirkan sepeda ontelnya di samping masjid. Dalam dirinya seolah melekat lelah yang tiada terkira. Jibrilnya manusia itu ingin istirahat sejenak, sekalian menunaikan solat lohor.
Selesai solat, tukang pos mengecek barang bawaannya. Di tasnya, yang tersisa hanya surat dari Bakri.
“Kepada Tuhanku. Tuhanku siapa?” ejanya. Tukang pos membolak balikkan amplop kecil itu. Mengernyitkan dahi. tahulah kalau surat dari Bakri dialamatkan pada Tuhan. Tukang pos terjebak bingung. Kiranya, Bakri disuruh Pak Lurah mengantarkan surat itu kepada instansi atau lembaga sosial yang bisa membantu meringankan biaya kesehatan ibunya.
Bagaimana caranya menyampaikan surat itu pada alamat yang dituju? Apakah harus mengembalikan kembali pada Bakri? Pasti bocah itu akan kecewa, batinnya. Tapi, Tuhan yang dimaksud itu siapa? Alamatnya juga tak jelas.
Ujung surat itu disobek. Dibuka. Lantas, tahulah tukang pos maksud dari surat itu. Ia terharu. Tak perlulah surat itu dikembalikan. Pikirannya Cuma satu, bagaimana cara surat itu benar-benar bisa sampai pada Tuhan,––menurut pemahaman Bakri, sesuai dengan keinginannya––meski cara yang dilakukan Bakri salah. Ia tetap ingin menanamkan keyakinan pada seorang bocah yang ingin belajar mengerti tentang sebuah keyakinan.
Ia memanggil takmir masjid yang tak lain adalah kemenakannya sendiri. Tukang pos mengurai-menjelaskan tentang isi surat itu dan tentang penderitaan yang dialami oleh keluarga Bakri. Takmir masjid itu tersenyum. Ada kebahagiaan yang terpancar dari seraut wajah yang masih tergolong muda.
“Di mana rumah anak itu, Man?” katanya.
***
Hari sudah menjelang maghrib ketika Bakri mempersilakan kedua tamunya masuk. Kedatangan dua tamu itu membuat Bakri berjingkrak girang.
“Bu, kemarin aku ngirim surat pada Gusti Pangeran. Aku minta uang untuk bisa ngurus sakit ibu. Hari ini Gusti Pangeran membalas suratku. Ia mengabulkan permintaanku, memberikan uang ini untuk biaya perawatan ibu,” ungkap Bakri. Polos. Ibunya yang tetap terbaring rapuh tak kuasa menatap pancaran cahaya di wajah anaknya. Ada yang kembali mengucur. Ia meminta si tamu membantunya untuk bangkit hendak memeluk Bakri.
Ponpes Annuqayah, 2010