Gg. 17Tatapan perempuan itu beku. Seperti es. Perempuan bermata ilalang, teduh tapi sunyi. Aku tak menemukan bias cahaya di seraut wajahnya yang oval. Dia sedang menyorongkan wajah. Bibirnya bergerak samar. Melafalkan sesuatu pada aneka bunga yang berjejer di beranda rumahnya. Sedang bernyayikah dia untuk bunga-bunga itu?
Ah, dia hanya mencari perhatian. Hem, perempuan memang selalu ingin mencari simpati.
Gg. 16
Apakah lelaki itu orang baru di rumah itu? Sejak kapan berada di sini? Hem, Sepagi ini dia sudah rapi. Sepertinya lelaki bertipikal pekerja keras. Tidak. Tidak. Dia hanya seorang pegawai negeri yang dituntut waktu melayani abdinya. Harus kuakui, lelaki itu memang mandiri. Di usianya yang demikian muda sudah mengenakan baju safari. Mengagumkan!
Berani-beraninya dia melempar senyum. Huh, pasti hanya sekedar basa basi. Masa bodoh. Apa peduliku. Lelaki di mana pun selalu sama; para bedebah yang lalu lalang sejenak hanya sekadar menarik simpati wanita.
Gg. 17
Perilaku perempuan itu kok tambah aneh. Kemarin marah-marah sendiri, mengumpat segala yang ada di depannya. Sekarang terdengar lentingan kaca pecah dan teriakan memilukan. Dua vas bunga di depan pintunya pun dibanting. Bukankah setiap pagi dia selalu bernyanyi untuk bunga-bunga itu? Gilakah perempuan itu?
Tidurku benar-bebar terganggu. Suara tangisnya melengking di gendang telingaku. Pilu. Aku paling tidak tega mendengar tangis seorang perempuan. Lemahku ada pada air matanya. Aku beranjak ke beranda. Perempuan itu tengah duduk mendekap di beranda. Wajahnya seperti kabut; kelam dan suram. Rambut acak-acakan karena dijambak sendiri.
Gg. 16
Ada yang mengetuk pintu? Kulihat jam dinding, masih jam lima pagi. Remang di luar jendela membuatku malas. Ah, jangan-jangan itu Mas Fajri. Aku akan menuntut segala janji-janjinya!
Ternyata Lelaki itu. Aku kecewa.
“Maaf, apakah anda memiliki nomor telepon tukang servis WC? Sepertinya WC di rumahku mampet.”
“Anda siapa? Maaf tak sempat ganti baju,” selorohku. Matanya menelanjangi tubuhku. Semoga tak menyangkaku yang bukan-bukan.
“Saya Fandi, tetangga sebelah. Baru seminggu saya tinggal di kompleks ini. Rumah kita sehadapan.” Tanpa disebut, aku sudah tahu kalau rumahnya sehadapan.
“Tunggu sebentar.” Kutinggalkan sejenak lelaki itu. Dia memerhatikan segala macam benda di rumahku. Halaman pun tak luput dari sorot matanya. “Ini nomor teleponnya. Kalau tidak bisa, cobalah nomor yang satunya,” kataku.
“Terima kasih.” Lelaki itu pergi dengan mengibas-ngibaskan nomor telpon yang telah kuberikan.
Gg. 17
Perempuan itu benar aneh. Cuma di bagian luar rumahnya saja yang menunjukkan keindahan. Sedangkan tata ruangnya tak ada kesan rapi. Lantai kotor. Semua berantakan. Asbak di atas meja yang penuh dengan puntung rokok, terbalik menumpahkan isinya.
Gg. 16
Semakin hari, Fandi terus memerhatikanku. Apakah dia menemukan sesuatu yang istimewa?
Gg. 17
Perempuan itu tinggal sendiri. Benar, dia perokok. Kerapkali aku menemukannya nge-fly, menikmati hisapan demi hisapan sebelum dihempaskan. Lalu, dia memandang lekat asap membubung yang baru lepas dari mulutnya.
Aku tidak suka perempuan perokok.
Gg. 16
Hem, jangan harap kau bisa melarikan diri dariku. Aku akan membuatmu bertekuk lutut di kaki dan mengakui bahwa yang ada di rahimku adalah darahmu. Tak akan semudah itu kau melupakan Risa, perempuan yang kini tak pernah kau beri kesempatan untuk bermimpi pelangi. Kau harus memenuhi segala janjimu. Termasuk singgasana yang kau janjikan. Apa kau bahagia dengan kekasihmu yang baru itu? Jangan harap.
Gg. 17
Aku terkejut. Perempuan itu duduk di depan pintu.
“Maaf, boleh aku masuk?”
“Ya, silahkan.”
Kejutku jadi gugup. Seksi nian dia dengan balutan kaos u can see dan celana Jeans. Senyum mengembang manja. Lekuk tubuhnya memompa jantung berdenyut lebih cepat. Namun sayang, pakaian mini itu hanya membuat lekuk perutnya yang jelek kelihatan. Gilakah? Ah…
“Arsitektur yang bagus,” gumamnya.
“Tidak juga. Ruangan ini sama saja dengan ruang di rumahmu. Hanya penataannya saja yang berbeda,” jelasku.
“Ya, ya! Maksudku tata ruangnya. Tidak seperti rumahku. Kacau. Kapan-kapan maukah kau memperbagus tata ruang rumahku?”
“Dengan senang hati.”
Perempuan itu mondar-mandir. Sorot matanya menggeledah seluruh isi ruangan yang hanya berukuran kurang lebih enam kali lima meter itu. Sofa kecil, meja pendek, televisi dua puluh sembilan inci lengkap dengan sound system dan DVD tak lepas dari padangannya.
“Oh, ya. Silahkan duduk. Mau munum apa?”
“Tidak terima kasih. Namaku Marisa. Panggil saja aku Risa. Itu foto siapa?”
“Oh, tunanganku. Sebentar lagi dia akan menjadi istriku,” ungkapku bangga.
“O…Selamat! Semoga menjadi pasangan yang serasi. Maaf, aku harus pulang.” Perempuan itu berlalu sebelum aku mengucapkan terima kasih atas pujiannya. Misterius. Kesimpulanku hampir mencapai taraf kegilaan.
Gg. 16
Tidak! Tidak! Seharusnya bukan lelaki itu. Tetapi kau. Ya, kau!
Gg. 17
Perempuan itu, maksudku Risa, datang lagi dengan seonggok wajah seperti mayat. Tak ada cahaya sama sekali di parasnya. Teh yang kusodorkan langsung tandas. Diseruput tuntas tak berbekas.
Senandung elegi mengalun dari bibirnya yang kering dan pecah: hidup Risa terperosok oleh lelaki hidung belang yang mengatakan telah berjanji menikahinya. Hampir empat bulan dia menunggu lelaki bernama Fajri. Bukan dia yang memerlukan lelaki itu, tetapi segumpal darah di perutnya.
“Apa kau sudah menghubunginya.”
“Dia selalu berjanji. Aku muak itu.”
Gg. 16
Tak apalah cerita ini tumpah kepada Fandi. Dia bisa dipercaya. Aku sedikit tenang. Tetapi, belum benar-benar tenang sebelum kau kuterlantarkan. Sepintar apa kau sembunyikansimpananmu? Aku pasti akan temukan. Kau hanya anak tupai yang sedang belajar melompat. Linda. Hem, nama simpananmu bagus juga. Entahlah, apa dia sebagus namanya.
Aku akan menusuk jantung Linda agar dadamu berdarah. Oh, tidak. Tak akan ada darah yang muncrat dari dadamu hanya karena kehilangan Linda, bukan? Kau pasti akan berpaling ke perempuan lain. Baiklah, kalau begitu aku akan menjadi pemburu para perempuanmu. Aku akan setia mengunjungi rumah mereka dan mengalungkan melati ke lehernya. Bagaimana?
Gg. 17
Hampir setiap sore Risa mengunjungi rumahku. Ya, cuma sekedar bertutur remeh-temeh tentang liku hidupannya. Di balik wajah yang terus berkabut, aku masih menemukan secercah cahaya di sana. Di pendar matanya.
“Kau tahu, pada proses penciptaan perempuan, malaikat sempat protes kapada Tuhan karena menciptakannya dengan begitu lembut,” ujarku mencoba menyulut kembali cahaya yang hampir redup itu.
“Terus?”
“Ternyata malaikat tidak mengetahui bahwa di balik kelembutan itu Tuhan memberikan kekuatan yang luar biasa.”
“Luar biasa!?”
“Ketika malaikat menyentuh dagunya, dia bertanya lagi, ‘Tuhan! makhluk ciptaan ini amat lelah dan rapuh, seolah terlalu banyak beban baginya,’ katanya. Padahal itu adalah air mata.”
“Untuk apa?”
“Pertanyaanmu persis seperti yang ditanyakan malaikat. Air mata adalah salah satu caranya mengekspresikan kegembiraan, kegalauan, cinta, kesepian, penderitaan, dan kebanggaan.”
“Hebat!”
“Ya, Tuhan memang hebat dalam menciptakan perempuan,” kataku.
“Bukan Tuhan.”
“Siapa?”
“Kau. Maukah di lain waktu kau menceritakan yang lainnya,” dia tersenyum simpul. Aku bahagia.
Gg. 16
Perempuan mempunyai kekuatan mempesona laki-laki. Bisa mengatasi beban bahkan melebihi laki-laki. Mampu tersenyum walau hatinya menjerit. Menyanyi ketika menangis. Menangis saat terharu. bahkan tertawa tatkala ketakutan. Perempuan mampu berdiri melawan ketidakadilan…
Terima kasih, Fandi. Aku makin yakin jalanku benar. Aku harus mampu melawan ketidakadilan!
Gg. 17
Wah, besok malam tunanganku akan datang. Aku harus meminta bantuan Risa untuk memasak makanan khas padang. Tetapi apakah dia mau membantuku? Ah, masa bodoh. Tak ada salahnya aku meminta bantuan. Yakin Risa membantuku. Lagi pula tak ada yang sulit baginya. Dia sangat jago dalam urusan ini.
Gg. 16
Fandi memintaku memasak masakan padang? Tak ada alasan bagiku menolaknya. Lagi pula, kapan membalas kebaikannya kalau bukan sekarang. Dia sudah memiliki calon istri. Tak mungkin aku merebut Fandi dari calon istrinya, menjadikan perempuan itu hidup seperti Zombie, sepertiku.
Beruntung sekali perempuan itu. Fandi pemuda baik dan mandiri. Tak sepertimu yang cuma obral janji. Seandainya sejak dulu aku mengenalnya, pasti akan lain cerita. Ah, seandainya bukan seandainya.
Gg. 17
Aku tak sabar menunggu kedatangan tunanganku. Hidupku serasa setengah mati dalam setengah tahun. Apa rambutmu masih tergerai sebahu, dokter? Dokter? Ya! Aku akan menyebutmu Dokter Linda sebagai apresiasi atas selesainya studimu. Jika sudah menikah, aku pasti akan mengubah panggilan itu: memanggil dengan sebutan Sayang. Sementara orang-orang harus memanggilmu dengan sebutan dokter atau nyonya. Ah, sebutan nyonya terlalu muda untukmu. Biarlah mereka menyebutmu ibu dokter saja.
Gg. 16
Malam ini, aku akan membawakanmu segelas anggur bercampur darah pacarmu. Bila perlu, air matamu juga turut kuperas dan kucampurkan agar rasanya nikmat seperti anggur tahun 90-an. Oh, betapa romantisnya. Kita mendentingkan gelas dan bersulam.
Anakku, malam ini aku akan menemui perempuan simpanan ayahmu. Kau harus tahu betapa buruk kelakuannya. Dia tidak hanya menduakan, tetapi menomersekiankan ibumu. Kuharap kau tidak bersedih hati. Kau harus bangga memiliki ibu setegar karang.
Masih ingatkah kau pada ceritanya Om Fandi? Perempuan mampu berdiri melawan ketidakadilan!
Gg. 17
Sudah jam setengah satu. Lampunya masih hidup. Apakah Risa belum tidur?
Gg. 16
Seumur hidup baru pagi ini aku menikmati udara segar. Otot-ototku serasa meregang setelah semalam menegang. Anggur yang kujanjikan sudah siap. Besok, aku akan mengajakmu bersulam. Tetapi, izinkan dulu aku memeras air matamu. Dan, maukah kau setia beberapa menit untuk menunggu anggur itu menjadi dingin di dalam kulkas? Aku berjanji akan melayalanimu tanpa menunggu pintamu, seperti dulu. Akan kubaringkan kau. Setelah itu, hanya kita yang tahu…
Lihatlah anakku, Om Fandi sedang duduk manis di beranda. Oh. Tidak. Om Fandi sedang menangis. Sendu. Rambutnya acak-acakan dijambak sendiri. Seharusnya dia berbahagia nanti malam akan menyambut calon istrinya. Apa dia sudah gila?
Annuqayah, 7:52 PM
0 comments:
Post a Comment