Wednesday, June 1, 2011

Mujahidah

(Antologi V KCN, 2008)

Hujan makin deras mengguyur, diterpa angin malam bertualang. Udara terasa membeku. Dingin. Percikan air turut menabur kedinginan. Menusuk-nusuk badan. Gigil. Aku duduk terjebak hujan di Terminal. Bus yang aku tunggu sejak sejam yang lalu belum juga kelihatan ujung kepalanya.

Sebagai seorang waratawan kecil di sebuah Stasiun Televisi Swasta. Mencari berita setiap hari, itulah pekerjaanku. Membawa dan menyisakan kelelahan yang amat sangat. Sekarang, aku ditugasi untuk meliput perang antara bangsa Palestina dengan kelompok Zionis di jalur Gaza. Meski berat dan membahayakan, ini memang resiko seorang wartawan.

Sunyi terus merayap. Para pedagang di sepanjang terminal sudah mengemasi barang dagangannya. Hujan yang terus tumpah membuat mereka enggan berlama-lama di tempat itu. Aku rebah di kursi penunggu, sejenak melepas penat. Samar-samar aku melihat seorang wanita duduk mendekap. Kedinginan di sudut Terminal, di bawah tiang lampu. Pelan-pelan aku mendekatinya. Siapa tahu wanita malang itu butuh bantuan!


“Masya Allah,” aku terperanjat melihat kecantikanya. Rupa yang menurutku begitu sempurna. Seperti itukah wajah-wajah bidadari di negeri yang kacau dan tidak aman ini? Sungguh malang nasib mereka. Ditinggalkan lelaki yang sibuk baku hantam dengan pelor- pelor mautyang siap melayangkan nyawa mereka.

Mengapa dia berada di sini? Ada apa dengannya? Wanita itu nampak ketakutan. Aku mencoba menenangkannya. Namun, dia tetap ketakutan. Terpaksa aku memperkenalkan diri memberikan kartu identitasku.

Dia sedikit tenang. Tapi, tetap membisu.

Tubuhnya mengigil. Pakaiannya basah kuyup. Aku meminta izin sebentar untuk mengambil jaketku yang aku letakkan di atas peron yang tak begitu jauh jaraknya. Pikiranku tertimbun banyak tanya.

Setelah aku kembali, wanita itu telah lenyap. Sulit diterka kemana jejaknya. Apakah aku hanya berhalusinasi, atau dia adalah hantu korban perang? Hii..i… bulu kudukku merinding!

***
Fajar hampir tiba. Handphone-ku berdering.

“Halo!”

“Fan, cepatlah ke TKP. Sekitar tujuh kilometer dari tempatmu dengan sudut 60 derajat!” Suara menejerku nyerocos tanpa titik koma. Ia mengomando melalui pendeteksi jasa satelit.

“Baik! Aku segera ke sana.”

Aku beranjak, mengambil ransel kecil yang selalu kubawa. 20 menit berlalu. Aku sudah berdiri di lokasi kejadian. Di sisi kanan, suatu kelompok yang mayoritas memakai kain putih membentang bendera bertuliskan kalimat syahadat. Kelompok itu berjibaku melawan senjata-senjata yang dilesatkan oleh tentara Israel. Saling lepas tembakan. Debu-debu beterbangan menyatu dengan asap-asap hitam menggumpal.

Sebuah bom jatuh dari atas Helikopter. Luar biasa dahsyat. Beberapa orang terpelanting. Gedung-gedung ambruk. Amburadul. Asap menjadi selimut perjuangan mereka. Teriakan perjuangan memekik menambah suasana menjadi lautan ketakutan.
Kelompok putih-putih itu kalah senjata. Namun, semangat tak pernah surut. Teriakan lantang terus menggema. Mengagungkan asma Allah. Aku sadar dari ketololan. Segera aku pasang kamera dan memastikan pukul berapa kejadian itu.

Tiba-tiba, di tengah pertempuran, sosok wanita berjilbab hitam dengan pakaian serba hitam—membuat ia berbeda dari kelompoknya—terekam di kamera kecilku. Aku mengenalinya walau pun hanya bisa membaca sorot matanya karena semua tubuhnya tertutup kain hitam. Sorot mata itu yang pernah aku temui di Terminal kemarin.

Kameraku tak lepas dari tingkahnya. Aku sengaja terus menyoroti serta mengikuti setiap pijakannya. Lalu, ia berjalan menuju sebuah mobil biru. Aku mengikuti arah mobil itu. Sampai di rumah tua, yang cukup jauh dari keramaian, mobil itu berhenti. Rumah itu tidak terawat; kaca jendela sana-sini pecah, satu pilar depan juga tumbang, serta kulit tembok banyak yang mengelupas. Mereka disambut oleh dua orang lelaki bertubuh kekar. Aku curiga, jangan-jangan rumah itu sarang teroris.

Dbuuk……..

Kepalaku pening. Mataku berkunang-kunang. Alam terasa tidak berputar pada porosnya. Sakit sekali. Aku masih sadar meski tubuhku sudah lunglai. Aku tak berdaya saat mereka menyeretku dengan paksa.

“Siapa dia? Kenapa kau bawa ke sini?” Aku terkejut. Mereka bisa berbicara dengan bahasa Indonesia.

“Orang ini mengintip kita. Aku curiga dia mata-mata.”

“Sekap dia ke gudang. Jangan sampai lepas.”

“Jangan kak! Dia temanku,” kata seorang wanita. Wanita yang aku cari.

“Kenapa kau bawa ke sini?” Lelaki kekar itu berucap.

“Aku yang mengajaknya. Tenang saja, dia tidak akan membocorkan tempat ini.”

“Ya! Sudah. Cepat bawa dia pergi. Tapi, awas jika terjadi apa-apa, kau harus bertanggung jawab,” ancamnya.

“Ya! Kak,”

Wanita itu menuntunku ke sebuah ruangan. Hanya aku dan dia.
“Kenapa kau ada disini?”

“Tadi, ketika aku meliput berita, aku melihatmu. Kuikuti kau sampai kemari. Kau orang Indonesia?” tanyaku asal-asalan.

“Ya! Aku orang Indonesia. Aku ikut kakak menjadi relawan menumpas para sekutu yang tega menghancurkan saudara-saudara. Kami tidak bergabung dengan tentara resmi. Kami mendirikan kelompok sendiri.”

“Mengapa kau nekat? Kau perempuan.”

“Sebenarnya aku tidak diizinkan ikut oleh kakakku. Saat mereka berangkat, aku lewat pintu belakang pesawat. Lalu, kakak pasrah saja setelah aku ketahuan ikut dengannya.”

“Kenapa kau lakukan itu?”

“Kami benci kepada mereka dan para sekutunya yang selalu membantai saudara-saudara kami kaum Muslimin. Mereka selalu mencari masalah dengan membantai kaum yang lemah. Bukankah Allah berfirman: Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya. sebagai mana mereka memerangi kamu semua. Dan ketahuilah bahwa sanya Allah bersama orang-orang yang bertakwa (QS. At-taubah:02). Dan Nabi juga bersabda: orang-orang muslim adalah saudara dari sesama muslim.dia tidak boleh menzalimi dan menelantarkannya. Ayat dan hadits inilah yang membuat kami bersikukuh melawan siapapun yang membantai kaum kami.”

Matanya berkobar, layaknya petir siap menyambar. Perkataannya membuat hatiku menangis. Sebagai seorang muslim, aku malu tidak bisa berbuat apa-apa. aku hanya bisa “menjual” berita mereka tanpa mempedulikan jeritan kematian.

“Demi menegakkan agama Allah, kutegakkan nyawaku di jalan-Nya.”

Ia menatap langit. Seperti, mengukir janji di atas langit kelam itu. Aku merasa bahagia sekali bisa bertemu dengan orang yang mampu menyalakan pelita dalam hidupku.

“Fan, lebih baik kamu segera pergi. Aku mohon jangan sampai orang lain tahu tentang tempat ini. Oh..Ya! Juga jangan kau tampakkan kewartawananmu pada kakakku. Kalau mereka sampai tahu, kau tidak akan selamat. Kakak sangat benci pada wartawan,” ujarnya penuh harap.

Aku pun segera bangkit. Aku tidak ingin menyia-nyiakan pengorbanannya. Sebelum pergi, aku tatap matanya yang teduh; memberikan harapan untuk tidak menceritakan sesuatu apa pun tentang mereka.

***
“Fan, cepatlah mereka saling baku hantam kembali,” manajerku mengintruksiku kembali.
“Di mana?”

“Berjalanlah ke arah timur dengan jarak 14 kilometer.”

“Aku akan segera ke sana.”

Dalam perjalanan, aku selalu memikirkan wanita itu. Apakah dia ada di sana? Entahlah, ingatanku selalu menggambarkan dia berada di medan pertempuran itu.

Pukul 08.43 WIB. Kupastikan berita itu tayang. Aku mengendap-endap di antara reruntuhan gedung. Dari layar kameraku, tergambar pertempuran yang sangat mengerikan. Laras-laras berjibaku memuntahkan isi yang berselimut nyawa. Bunyi granat yang menderu-deru. Darah dan air mata tak ada bedanya.

Aku melihat dua buah pesawat tempur membombardir tempat itu. Suasana semakin tak terlukiskan. Aku terus menyoroti pertempuran itu. Dan aku kembali melihat sosok wanita berjubah hitam jilbab hitam dan cadar hitam. Tangannya menggenggam laras panjang.

Sorot mata itu…Ya! Aku mengenalnya. Aku menjadi getir. Kubiarkan kamera kecilku terus menyorot kemana dia pergi. Sebuah helikopter menjatuhkan bom tepat di sisi wanita itu. Dia terpelanting. Kamera kecilku terjatuh tanpa disadari. Aku berlari tanpa memperdulikan hujan peluru yang terus berjatuhan. Semangat jihadnya telah membuatku tidak takut pada maut.

“Tenanglah, aku akan melindungimu,” kataku merangkul tubuhnya. Pakaiannya compang-camping. Darah mengalir dari atas pelipis matanya.

“Fan, lebih baik kau tinggalkan tempat ini, berbahaya,” desisnya pelan. Mata itu Berbinar–binar. Meredup. Kemenangan terpancar dari bias kristal yang mulai menetesdari matanya.

“Tidak! Aku tak akan meninggalkanmu. Kita akan pergi bersama-sama,” air mataku muntah. Pengorbanannya telah membuat hatiku terharu-biru.

“Fan, aku mohon, jangan bilang siapa-siapa tentang markas kakakku. Aku mencintaimu. Asyhadualla Ilaha Illallah Wa Asyhaduanna Muhammadur Rasulullah Allahu Akbar…….” pelan sekali. Dia menutup mata.

Hatiku sakit. Perih. Aku berjanji tak akan menjual pengorbananya. Cukuplah aku menjad manusia bodoh yang hanya mementingkan diri peribadi. Menjual jerita mereka dengan harga murahan.

0 comments: