(Majalah Fajar, 2011)
Pelaksanaan muktamar NU ke-32 di Makassar memberikan banyak “catatan mendalam” di benak para nahdliyyin, mengingat kentalnya aroma politik yang menghiasi perjalanan muktamar lima tahunan itu. Waktu itu, syahwat politik menjadikan muktamirin “pecah” dalam beberapa kelompok, mengusung dan menjagokan calon masing-masing. Pada titik ini, muktamar tak jauh beda dengan pemilihan umum yang sarat kepentingan politik.
Euforia mencapak titik klimaks tatkala K.H. Hazim Muzadi yang sebelumnya menjadi ketua Dewan Tanfidziyah NU tak bersedia dicalonkan sebagai Rais Aam. Tentu, K.H Sahal Mahfudz yang menjadi kompetitor utamanya menang secara aklamasi dan menduduki kursi tertinggi tersebut untuk yang ketiga kalinya. Maka lengkaplah, K.H Said Aqil Siradj sebagai ketua Dewan Tanfidz dan K.H Sahal Mahfudz sebagai Rais Aam periode 2010-2015.
Ketika Kang Said—sapaan akrab K.H Said Aqil Siradj—terpilih sebagai nahkoda Dewan Tanfidziyah, berbagai opini dari seluruh penjuru nusantara menguak, akankan NU tetap akan berada pada porosnya? Hal ini dikarenakan selama ini tokoh NU asal Jawa Tengah tersebut dikenal sebagai intelektual muslim yang agak liberal, “satu level” di bawah Gus Dur. Ibarat makanan, bisa jadi, konsep al mukhafadhadatu ‘ala khadimis shalih bagaikan segelas dan al akhdzu bil jadiidil aslah seperti sepiring, sehingga lambat-laun NU akan menjadi ompong dan meninggalkan keempat prinsipnya; tawazun (seimbang), tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), dan ta’adul (adil).
Namun jargon yang dielu-elukan Kang Said untuk mengembalikan NU ke pesantren memberikan satu titik pencerahan. Pemikirannya yang ulet dan kreatif dipandang mampu membawa kader-kader NU tidak lagi menjadikan problem keumatan sebagai batu laoncatan untuk menggapai kepentingan politik.
Pertanyaannya, mampukah Kang Said dan dan Kiai Sahal berkolaborasi memimpin organisasi terbesar di nusantara ini untuk menjadikan problem keumatan sebagai agenda utama NU?
Menjawab persoalan keumatan adalah agenda besar yang harus selalu menjadi prioritas utama organisasi bintang sembilan itu. Itulah sebabnya mengapa pada tahun 1926, KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah, dan Ulama lainnya mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Nahdlatoel Oelama (baca: NU). Hal ini dalam rangka untuk melindungi dan merangkul warga nahdliyin dari pemurnian Islam di Timur Tengah, utamanya yang dimotori oleh kelompok Wahabi selain sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari penjajah kolonial Belanda.
Namun, NU saat ini kehilangan telah arah. Visi untuk menjadikan kepentingan agama, masyarakat, dan bangsa sebagai titik pijak perjuangannya mulai kian terkikis. Kepentingan politik lebih diutamakan dari pada kepentingan umat. Nah, di sinilah munculnya adagium NU kultural dan NU struktural. NU kultural tak “mempersoalkan” urusan politik, yang menjadi agenda utama mereka adalah memberdayakan masyarakat dan mengurusi nilai-nilai Islam semacam mengadakan kumpulan-kumpulan (jamiyah) kecil: khataman, manaqibah, sarwaan, atau sabellesen di pelosok-pelosok desa.
Di sanalah kita benar-benar menemukan sikap dan prilaku orang NU: ngopi dan ngerokok bersama. Dengan tegas Acep Zamzam Noor mengatakan, merekalah yang selama ini mempertahankan, menjaga kehormatan serta menjalankan peran NU sebagai organisasi sosial-kemasyarakatan (hal.16).
Sedangkan NU struktural adalah warga nahdliyyin yang diberi amanah untuk mengorganisir NU dari tingkat lokal sampai nasional. Tentu, NU struktural ini memiliki peran penting memberdayakan umat dalam konteks kenegaraan; memberdayakan masyarakat di bidang ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan. Akan tetapi, amanah yang begitu “mulia” itu dirasa sudah memudar. Kata Binhad Norrahmad, salah satu dari ke-15 penulis dalam buku ini, NU sudah kehilangan gaya, makin terkikis watak dan ekpresinya sebagai tradisi beragama yang estetis (hal. 228).
Persoalan umat alih-alih dicarikan penyelesaiannya, malah dijadikan komoditas politik. Dengan bangga mereka menyatakan dirinya “berjuang demi umat”, memasang baliho di mana-mana dengan mempercantik titel “KH” yang sakralisasinya di kalangan warga nahdlyyin tak diragukan. Karakter berpolitik tak ada bedanya dengan orang yang bukan NU, sama-sama picik.
Kompleksitas persoalan di tubuh NU semakin rumit. Sebagian elite NU terjebak pada pragmatisme kekuasaan. Perebutan kekuasaan di tubuh struktural NU mengandung unsur politis dan meyebabkan perselisihan sesama NU sendiri. Padahal, jelas peran dan fungsi dari NU adalah sebagai gerakan sosial keagamaan (jami’yah al-diniyah al-ijtima’iyah).
Sempat menjadi harapan ketika pada Muktamar ke-27 di Situbondo pada tahun 1984, Muktamirin membuat keputusan NU kembali ke Khittah 1926. Namun, gagasan kembali ke khittah 1926 yang semula diorientasikan untuk memaksimalkan gerakan sosial, ekonomi, dan pendidikan pesantren (agama) tersebut justru berkembang memasuki celah domain politik praktis sehingga kiai dan politisi tak jauh berbeda dalam urusan berpolitik.
Berbagai persoalan atau isu-isu “miring” di tubuh NU serta tantangannya dalam konteks kekinian, telah diulas oleh para nahdliyyin muda dari berbagai nusantara dari posisi “miring” pula. “Miring” bukanlah sinting. Tetapi, lebih untuk menonjolkan identitas NU yang sebenarnya: unik menarik, dan (terkadang) nyentrik. Lebih kongkretnya, cara mereka menyoroti, mengulas dan mencandakan NU sebagaimana ulasan dalam buku ini sama persis seperti yang tergambar pada covernya yang berwarna hijau; sekumpulan orang, memakai sarung dan kopiah, rokok, serta segelas kopi sebagai penghangat obrolan.
Buku yang terdiri dari 15 tulisan esai kader-kader muda NU ini membahas NU dari tiga sisi: ada yang menyoroti, ada yang mengulas, dan ada yang mencandakan NU dari kalangan bawah sampai kalangan elitenya, serta mengurai-tuntas nasib warga nahdlyyin yang merasa telah “dikorbankan” oleh para elitenya sendiri. Pembaca akan diberikan tiga menu sekaligus dalam satu kali membaca. Tentu dari ketiga pembahasan itu ada yang dekat, mendekat, dan sangat dekat, yang akan menggiring pembaca pada persoalan yang serius, tetapi diulas secara santai “sambil” tertawa.
Ulasan-ulasan miring yang disunting oleh penyair asal pedalaman Lampung, Binhad Nurrohmat dalam obrolan imajinernya (untuk tidak menyebut obrolan miring) ini amatlah tajam dan tetap pada pandangan yang rasional yang tentu harus menjadi bahan perenungan dan pertimbangan bagi warga nahdlyyin, termasuk pembaca buku ini. Selamat Membaca!
dimuat di Majalah Fajar edisi XVII 2011
Pelaksanaan muktamar NU ke-32 di Makassar memberikan banyak “catatan mendalam” di benak para nahdliyyin, mengingat kentalnya aroma politik yang menghiasi perjalanan muktamar lima tahunan itu. Waktu itu, syahwat politik menjadikan muktamirin “pecah” dalam beberapa kelompok, mengusung dan menjagokan calon masing-masing. Pada titik ini, muktamar tak jauh beda dengan pemilihan umum yang sarat kepentingan politik.
Euforia mencapak titik klimaks tatkala K.H. Hazim Muzadi yang sebelumnya menjadi ketua Dewan Tanfidziyah NU tak bersedia dicalonkan sebagai Rais Aam. Tentu, K.H Sahal Mahfudz yang menjadi kompetitor utamanya menang secara aklamasi dan menduduki kursi tertinggi tersebut untuk yang ketiga kalinya. Maka lengkaplah, K.H Said Aqil Siradj sebagai ketua Dewan Tanfidz dan K.H Sahal Mahfudz sebagai Rais Aam periode 2010-2015.
Ketika Kang Said—sapaan akrab K.H Said Aqil Siradj—terpilih sebagai nahkoda Dewan Tanfidziyah, berbagai opini dari seluruh penjuru nusantara menguak, akankan NU tetap akan berada pada porosnya? Hal ini dikarenakan selama ini tokoh NU asal Jawa Tengah tersebut dikenal sebagai intelektual muslim yang agak liberal, “satu level” di bawah Gus Dur. Ibarat makanan, bisa jadi, konsep al mukhafadhadatu ‘ala khadimis shalih bagaikan segelas dan al akhdzu bil jadiidil aslah seperti sepiring, sehingga lambat-laun NU akan menjadi ompong dan meninggalkan keempat prinsipnya; tawazun (seimbang), tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), dan ta’adul (adil).
Namun jargon yang dielu-elukan Kang Said untuk mengembalikan NU ke pesantren memberikan satu titik pencerahan. Pemikirannya yang ulet dan kreatif dipandang mampu membawa kader-kader NU tidak lagi menjadikan problem keumatan sebagai batu laoncatan untuk menggapai kepentingan politik.
Pertanyaannya, mampukah Kang Said dan dan Kiai Sahal berkolaborasi memimpin organisasi terbesar di nusantara ini untuk menjadikan problem keumatan sebagai agenda utama NU?
Menjawab persoalan keumatan adalah agenda besar yang harus selalu menjadi prioritas utama organisasi bintang sembilan itu. Itulah sebabnya mengapa pada tahun 1926, KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah, dan Ulama lainnya mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Nahdlatoel Oelama (baca: NU). Hal ini dalam rangka untuk melindungi dan merangkul warga nahdliyin dari pemurnian Islam di Timur Tengah, utamanya yang dimotori oleh kelompok Wahabi selain sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari penjajah kolonial Belanda.
Namun, NU saat ini kehilangan telah arah. Visi untuk menjadikan kepentingan agama, masyarakat, dan bangsa sebagai titik pijak perjuangannya mulai kian terkikis. Kepentingan politik lebih diutamakan dari pada kepentingan umat. Nah, di sinilah munculnya adagium NU kultural dan NU struktural. NU kultural tak “mempersoalkan” urusan politik, yang menjadi agenda utama mereka adalah memberdayakan masyarakat dan mengurusi nilai-nilai Islam semacam mengadakan kumpulan-kumpulan (jamiyah) kecil: khataman, manaqibah, sarwaan, atau sabellesen di pelosok-pelosok desa.
Di sanalah kita benar-benar menemukan sikap dan prilaku orang NU: ngopi dan ngerokok bersama. Dengan tegas Acep Zamzam Noor mengatakan, merekalah yang selama ini mempertahankan, menjaga kehormatan serta menjalankan peran NU sebagai organisasi sosial-kemasyarakatan (hal.16).
Sedangkan NU struktural adalah warga nahdliyyin yang diberi amanah untuk mengorganisir NU dari tingkat lokal sampai nasional. Tentu, NU struktural ini memiliki peran penting memberdayakan umat dalam konteks kenegaraan; memberdayakan masyarakat di bidang ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan. Akan tetapi, amanah yang begitu “mulia” itu dirasa sudah memudar. Kata Binhad Norrahmad, salah satu dari ke-15 penulis dalam buku ini, NU sudah kehilangan gaya, makin terkikis watak dan ekpresinya sebagai tradisi beragama yang estetis (hal. 228).
Persoalan umat alih-alih dicarikan penyelesaiannya, malah dijadikan komoditas politik. Dengan bangga mereka menyatakan dirinya “berjuang demi umat”, memasang baliho di mana-mana dengan mempercantik titel “KH” yang sakralisasinya di kalangan warga nahdlyyin tak diragukan. Karakter berpolitik tak ada bedanya dengan orang yang bukan NU, sama-sama picik.
Kompleksitas persoalan di tubuh NU semakin rumit. Sebagian elite NU terjebak pada pragmatisme kekuasaan. Perebutan kekuasaan di tubuh struktural NU mengandung unsur politis dan meyebabkan perselisihan sesama NU sendiri. Padahal, jelas peran dan fungsi dari NU adalah sebagai gerakan sosial keagamaan (jami’yah al-diniyah al-ijtima’iyah).
Sempat menjadi harapan ketika pada Muktamar ke-27 di Situbondo pada tahun 1984, Muktamirin membuat keputusan NU kembali ke Khittah 1926. Namun, gagasan kembali ke khittah 1926 yang semula diorientasikan untuk memaksimalkan gerakan sosial, ekonomi, dan pendidikan pesantren (agama) tersebut justru berkembang memasuki celah domain politik praktis sehingga kiai dan politisi tak jauh berbeda dalam urusan berpolitik.
Berbagai persoalan atau isu-isu “miring” di tubuh NU serta tantangannya dalam konteks kekinian, telah diulas oleh para nahdliyyin muda dari berbagai nusantara dari posisi “miring” pula. “Miring” bukanlah sinting. Tetapi, lebih untuk menonjolkan identitas NU yang sebenarnya: unik menarik, dan (terkadang) nyentrik. Lebih kongkretnya, cara mereka menyoroti, mengulas dan mencandakan NU sebagaimana ulasan dalam buku ini sama persis seperti yang tergambar pada covernya yang berwarna hijau; sekumpulan orang, memakai sarung dan kopiah, rokok, serta segelas kopi sebagai penghangat obrolan.
Buku yang terdiri dari 15 tulisan esai kader-kader muda NU ini membahas NU dari tiga sisi: ada yang menyoroti, ada yang mengulas, dan ada yang mencandakan NU dari kalangan bawah sampai kalangan elitenya, serta mengurai-tuntas nasib warga nahdlyyin yang merasa telah “dikorbankan” oleh para elitenya sendiri. Pembaca akan diberikan tiga menu sekaligus dalam satu kali membaca. Tentu dari ketiga pembahasan itu ada yang dekat, mendekat, dan sangat dekat, yang akan menggiring pembaca pada persoalan yang serius, tetapi diulas secara santai “sambil” tertawa.
Ulasan-ulasan miring yang disunting oleh penyair asal pedalaman Lampung, Binhad Nurrohmat dalam obrolan imajinernya (untuk tidak menyebut obrolan miring) ini amatlah tajam dan tetap pada pandangan yang rasional yang tentu harus menjadi bahan perenungan dan pertimbangan bagi warga nahdlyyin, termasuk pembaca buku ini. Selamat Membaca!
dimuat di Majalah Fajar edisi XVII 2011