Bakri tersenyum. Penuturan si pemilik kacamata minus di depannya amat menggugah hatinya. Merenungi tiap kata, menjelajah imajinasi dalam kata, untuk menggali hikmah yang terpendam dari ucapan seorang lelaki berkacamata minus. Bocah kecil yang lugu, yang selalu ingin tahu. Ia tersenyum. Memperlihatkan giginya yang tanggal satu. Kopyah putih yang bermahkota di kepalanya, miring. Kusut. Membuat ia seperti badut.
Bel sekolah berbunyi. Murid-murid lucu itu berhamburan. Keluar dari ruang kelas yang pengap. Buyar seperti pasir dalam kantong yang bocor. Berlarian di bawah terik matahari dan tanah yang masih becek. Tak peduli peluh mereka membasahi seragam putih dan lumpur melumuri celana hijau, yang besok harus mereka pakai kembali.
Bakri belum beranjak dari tempat duduknya. Ia menatap Pak Soleh, guru agamanya yang sedang sibuk merapikan kertas-kertas hasil ujian yang baru ditugaskan pada murid-muridnya yang lucu. Mimik pemilik kacamata minus itu kadang tersenyum, manggut-manggut, mengernyitkan dahi, dan geleng-geleng kepala melihat tulisan surat Al-Ikhlas yang baru ditulis oleh mereka.
Di ruang kelas. Sekilas sunyi. Hanya pekikan anak-anak sebayanya yang bermain di luar kelas. Berlarian, bermain petak umpet, banteng-bantengan, atau bermain ular naga.
Di deretan bangku paling utara, nomor dua dari depan, Bakri selalu menebar senyum. Entah, senyum itu diberikan pada siapa, tidak tahu juga. Pak Soleh yang sedang mengoreksi hasil ujian itu menatapnya. Ia heran melihat tingkah laku muridnya yang satu ini.
“Bakri, mengapa kamu tersenyum sendiri, nak?” tanya Pak Soleh penuh keheranan.
Lagi-lagi Bakri hanya tersenyum. Memperlihatkan giginya yang tanggal satu dan kehitaman. Lantas tertawa kecil. He…he…! Di tanya kok malah tertawa, gumam Pak Soleh.
“Pak, apa benar Tuhan itu bisa mengabulkan segala permintaan kita?” ungkapnya polos.
Pak Soleh tersenyum. Pertanyaan yang sangat mudah––baginya. Ia membetulkan kacamatanya dan menjawab dengan jelas––pastinya dengan bahasa yang mudah dipahami oleh bocah sekecil Bakri yang baru kelas III Madrasah Ibtidaiyah (MI) itu.
Pak Soleh membetulkan tempat duduknya.
“Ya, anakku. Tuhan akan selalu mengabulkan permintaan kita. Asalkan kita bersungguh-sunguh meminta kepada-Nya. Kalau hati kita ikhlas, kita akan mendapatkan apa yang akan kita minta,” jawaban yang sederhana. Pak Soleh memang sengaja memanggil seluruh muridnya dengan sebutan anak, agar terasa lebih dekat.
Bakri diam, sama dengan pak soleh yang menatapnya lekat. Memperhatikan respon bocah itu.
Bakri tersenyum lagi. Begitu juga Pak Soleh. Seakan ia telah berhasil menanamkan keyakinan pada muridnya.
“Terima kasih, Pak, sekarang aku sudah paham,” jawab bocah itu. Pak soleh menganggukkan kepala. Walau sebenarnya ia tak mengerti dengan maksud ‘paham’ yang dikatakan Bakri. Tapi, ia sudah cukup puas melihat muridnya sudah bisa mengatakan ‘paham’ terhadap jawabannya.
***
Bakri menatap perempuan tua yang terbaring tak berdaya di atas tikar kusut. Kaki lencak yang sebagian sudah dimakan rayap itu sepertinya tak kuat menahan tubuh kurus ibunya. Namun, begitulah, tak ada tempat lain yang lebih layak untuk menyangga punggung orang yang telah melahirkan dan membesarkannya kecuali lencak tua itu. Satu-satunya harta warisan yang tersisi. Yang selalu menjadi tempat berbagi antara anak dan ibu itu.
“Bu, kenapa ibu tak berobat ke rumah Pak Burdi saja?” Pertanyaan itu keluar dari bibir Bakri tanpa beban. Pak Burdi adalah dokter terkenal di sekitar desanya. Yang biasa mengobati warga yang sedang sakit.
Ada yang menetes dari kelopak mata ibunya. Ia tak mampu menahan kesedihan dan kepolosan pertanyaan anaknya.
“Ibu tidak punya uang, nak,” jawabnya datar. “Mana cukup penghasilan ibu yang hanya demikian itu bisa membayar biaya rumah sakit,” ucapnya penuh getar.
Setelah bapaknya menghilang tanpa kabar, dua tahun lalu, Ibu Bakri hanya bisa bertumpu pada hasil pekerjaanya menghancurkan batu gunung. Setiap hari ia harus mendaki bukit. Berjuang sendiri. Menghidupi Bakri yang ditinggalkan ayahnya sejak masih berusia enam tahun. Tanpa harta dan penghidupan yang layak. Seluruh harta kekayaan yang tersisa, yakni perahu untuk mencari ikan dilaut dan sepetak tanah hasil warisan orangtua si ibu yang tak begitu luas, sudah dijual untuk keperluan modal berdagang dulu––setelah memutuskan untuk berhenti melaut. Tapi, modal itu tak kembali seiring kepergian jejak suaminya. Bahkan Ibu Bakri masih menanggung hutang yang tak sedikit pada tengkulak ikan. Sampai saat ini masih belum bisa dilunasi.
Anak dan ibu itu diam. Tatapan Bakri membuat air mata ibunya semakin menganak sungai. Ia tahu, bagaimana perasaan anaknya saat itu. Dalam pikirannya, ia teringat pada kenangan masa lalu. Bersama Bisri, suaminya yang sangat bahagia melihat kelahiran Bakri di hari pertaman bocah itu menghirup udara di dunia.
“Kalau begitu, biar Bakri yang cari uang berobat untuk ibu,” pernyataan Bakri begitu meyakinkan. Tapi, bisakah bocah sekecil itu bisa mencari uang sendiri? Dengan apa? Itu yang membuat ibunya tak percaya dengan ucapan anaknya. Walau pun ia bersungguh-sungguh berucap demikian. Baginya, Bakri masih terlalu kecil untuk urusan duniawi. Apa yang bisa dilakukan bocak seusianya selain minta uang, bermain, atau menangis jika permintaanya tidak dituruti.
***
Bakri termenung. Berpikir. Ia bingung dengan cara apa harus mencari uang untuk biaya pengobatan ibunya. Di depan rumahnya, Bakri menatap kosong pada tanian lanjheng dan lubang-lubang kecil di jalan dekat rumahnya yang dipenuhi genangan air. Hujan baru saja reda.
Tiba-tiba, kring…kring… Ia melihat pak pos sedang mengayuh sepeda ontelnya. Setiap pagi pak pos itu selalu lewat di depan rumah Bakri. Lelaki itu menyangklongkan sebuah tas yang biasa digunakan tukang pos untuk mengantar surat-surat yang dibawanya. Kadang roda sepeda ontel itu masuk ke genangan air, membuat sepeda pak pos sedikit oleng. Hampit terjungkal.
Bakri tertawa melihat pak pos yang gugup. Lucu sekali. Kumis jambulnya semakin menambah Bakri tertawa terpingkal-pingkal. Pak pos lantas tersenyum melihat tawa bocah itu.
Lalu, Bakri jadi ingat kata gurunya di kelas beberapa hari yang lalu: Asalkan kita sungguh-sunguh meminta kepada-Nya dengan hati ikhlas, kita akan mendapatkan apa yang kita minta.
***
Bakri mengeluarkan buku tulis dari tas usangnya yang bergambar Doraemon. Mengambil pensil, membuka buku, membolak balik lembar demi lembar, dan mencari lembaran yang kosong tanpa oretan. Kemudian, ia merobeknya
Bakri berpikir. Terpekur. Lalu mulai menulis.
Kepada Yang Terhormat
Tuhanku……………..
Di_
Tempat
Setelah menulis kalimat itu, Bakri berhenti. Ia bingung. Kata apa yang harus ia tulis pertama kalinya. Pensil yang mirip crayon itu di pukul-pukulkan ke kepalannya. Berharap ide cemerlang akan muncul. Lalu, keceriaan tiba-tiba muncul dari raut wajahnya. Seperti mendapatkan sebuah Ilham.
Ia membetulkan duduknya. Dan kembali menulis.
Tuhan…
Hari ini, ibuku sakit keras. Aku tak punya uang untuk mengobati sakit ibu. Ayahku tidak ada. Kata ibu, ayah mencari uang untuk menghidupi kami. Tapi, Ayah belum kembali, meski sekarang, ibu membutuhkan uang itu.
Tuhan…
Aku menulis surat ini, karena kata pak guru, jika aku meminta dengan hati yang ikhlas, maka Kau akan mengabulkan permintaanku. Sekarang, aku butuh uang untuk mengobati sakit ibuku. Aku ingin minta uang pada-Mu, untuk biaya ibuku.
Demikian surat dariku. Aku sangat memohon sekali, Tuhan mau mengabulkan permintaanku.
Bakri
Bakri tersenyum setelah menyelesaikan kalimat terakhir suratnya. Ia membaca ulang. Bakri yakin kalau Tuhan akan membalas suratnya. Ia melipat surat itu dan memasukkan ke dalam amplop. Besok, akan diberikan pada pak pos yang biasa lewat di depan rumahnya.
***
Surat itu dipegangnya erat-erat. Menaruh harapan agar Tuhan membalas suratnya. Lama ia berdiri di teras rumah. Menanti bunyi kring…kring sepeda ontel pak pos. Tak lama kemudian, pria berkumis yang diharapkan kehadirannya itu datang. Bakri langsung menghampiri dan menyerahkan surat itu.
“Pak, tolong aku, Pak,” ungkapnya sambil menyerahan surat itu. Pria berbaju orange itu tersenyum.
“Untuk siapa, nduk,” tanya pak pos.
“Untuk biaya ibu, pak, ibuku sakit,” jawabnya––seperti––tidak nyambung. Tapi pak pos mencoba memahami perkataan Bakri. Pak pos tahu kalau ibunya sedang sakit. Ia mengira Bakri disuruh pak lurah untuk mengantarkan surat itu kepada instansi atau lembaga sosial yang bisa membantu meringankan biaya kesehatan ibunya.
Pak pos tak perlu membaca surat itu. Ia langsung memasukkan ke dalam tasnya. Sebelum berangkat, pak pos menatap lekat wajah bocah yang malang itu. Yang di tinggal ayahnya entah ke mana. Pak pos itu mengucek-ngucek rambutnya yang pirang––yang hampir tidak ketahuan kalau sebenar ada rambut yang tumbuh di kepalanya––lalu berlalu. Kring…kring…
***
Pak Pos bingung setelah tahu kalau surat dari Bakri dialamatkan pada Tuhan. Ia membolak balikkan amplop kecil itu. Bagaimana caranya ia menyampaikan surat itu pada alamat yang dituju? Apakah ia harus mengembalikan kembali pada Bakri? Pasti bocah itu akan kecewa. Tapi, Tuhan yang dimaksud itu siapa? Alamatnya juga tak jelas.
Siang begitu terik. Matahari sangar menyengat ubun-ubun. Pak Pos memarkirkan sepeda ontelnya di samping masjid. Dalam dirinya seolah melekat lelah yang tiada terkira. Ia ingin istirahat sejenak, sekalian menunaikan solat lohor.
Setelah selesai solat lohor, pak pos mengambil surat itu lagi dari tasnya. Penasaran dengan isi surat Bakri. Ujung surat dirobek. Dibuka. Lantas, ia tahu maksud surat dari Bakri itu. Pak pos tersenyum. Terharu. Ia berpikir, bagaimana cara surat itu benar-benar bisa sampai pada Tuhan––menurut pemahaman Bakri, sesuai dengan keinginannya––meski pun cara yang dilakukan Bakri itu salah. Pak pos tetap ingin menanamkan keyakinan padanya. Pada bocah yang ingin belajar mengerti tentang sebuah keyakinan.
Ia memanggil takmir masjid. Meminta bantuan kepada takmir yang usianya tak beda jauh dengannya. Pak pos mengurai-menjelaskan tentang surat itu dan tentang penderitaan yang dialami oleh keluarga Bakri. Takmir masjid itu tersenyum. Ada kebahagiaan yang terpancar dari raut wajahnya yang tirus.
“Di mana rumah anak itu?” tanya takmir masjid sambil mengelus-ngelus jenggot putihnya.
***
“Ibu, kemarin aku mengirim surat pada Tuhan minta pertolongan untuk bisa mengobati ibu. Hari ini Tuhan membalas suratku. Ia mengabulkan permintaanku dengan memberi uang ini untuk biaya perawatan ibu,” ungkap Bakri. Ibunya yang tetap terbaring lemas. Tak berdaya. Ia terharu. Ada genangan air yang jatuh di kelopak matanya. Ia minta bantuan pak pos untuk membantunya bangun. Ia ingin memeluk buah hatinya erat. Erat sekali. Genangan air itu semakin membanjiri kebahagiaan keluarganya.
Pak pos dan takmir tersenyum di samping mereka.
Annuqayah, 2010
Bel sekolah berbunyi. Murid-murid lucu itu berhamburan. Keluar dari ruang kelas yang pengap. Buyar seperti pasir dalam kantong yang bocor. Berlarian di bawah terik matahari dan tanah yang masih becek. Tak peduli peluh mereka membasahi seragam putih dan lumpur melumuri celana hijau, yang besok harus mereka pakai kembali.
Bakri belum beranjak dari tempat duduknya. Ia menatap Pak Soleh, guru agamanya yang sedang sibuk merapikan kertas-kertas hasil ujian yang baru ditugaskan pada murid-muridnya yang lucu. Mimik pemilik kacamata minus itu kadang tersenyum, manggut-manggut, mengernyitkan dahi, dan geleng-geleng kepala melihat tulisan surat Al-Ikhlas yang baru ditulis oleh mereka.
Di ruang kelas. Sekilas sunyi. Hanya pekikan anak-anak sebayanya yang bermain di luar kelas. Berlarian, bermain petak umpet, banteng-bantengan, atau bermain ular naga.
Di deretan bangku paling utara, nomor dua dari depan, Bakri selalu menebar senyum. Entah, senyum itu diberikan pada siapa, tidak tahu juga. Pak Soleh yang sedang mengoreksi hasil ujian itu menatapnya. Ia heran melihat tingkah laku muridnya yang satu ini.
“Bakri, mengapa kamu tersenyum sendiri, nak?” tanya Pak Soleh penuh keheranan.
Lagi-lagi Bakri hanya tersenyum. Memperlihatkan giginya yang tanggal satu dan kehitaman. Lantas tertawa kecil. He…he…! Di tanya kok malah tertawa, gumam Pak Soleh.
“Pak, apa benar Tuhan itu bisa mengabulkan segala permintaan kita?” ungkapnya polos.
Pak Soleh tersenyum. Pertanyaan yang sangat mudah––baginya. Ia membetulkan kacamatanya dan menjawab dengan jelas––pastinya dengan bahasa yang mudah dipahami oleh bocah sekecil Bakri yang baru kelas III Madrasah Ibtidaiyah (MI) itu.
Pak Soleh membetulkan tempat duduknya.
“Ya, anakku. Tuhan akan selalu mengabulkan permintaan kita. Asalkan kita bersungguh-sunguh meminta kepada-Nya. Kalau hati kita ikhlas, kita akan mendapatkan apa yang akan kita minta,” jawaban yang sederhana. Pak Soleh memang sengaja memanggil seluruh muridnya dengan sebutan anak, agar terasa lebih dekat.
Bakri diam, sama dengan pak soleh yang menatapnya lekat. Memperhatikan respon bocah itu.
Bakri tersenyum lagi. Begitu juga Pak Soleh. Seakan ia telah berhasil menanamkan keyakinan pada muridnya.
“Terima kasih, Pak, sekarang aku sudah paham,” jawab bocah itu. Pak soleh menganggukkan kepala. Walau sebenarnya ia tak mengerti dengan maksud ‘paham’ yang dikatakan Bakri. Tapi, ia sudah cukup puas melihat muridnya sudah bisa mengatakan ‘paham’ terhadap jawabannya.
***
Bakri menatap perempuan tua yang terbaring tak berdaya di atas tikar kusut. Kaki lencak yang sebagian sudah dimakan rayap itu sepertinya tak kuat menahan tubuh kurus ibunya. Namun, begitulah, tak ada tempat lain yang lebih layak untuk menyangga punggung orang yang telah melahirkan dan membesarkannya kecuali lencak tua itu. Satu-satunya harta warisan yang tersisi. Yang selalu menjadi tempat berbagi antara anak dan ibu itu.
“Bu, kenapa ibu tak berobat ke rumah Pak Burdi saja?” Pertanyaan itu keluar dari bibir Bakri tanpa beban. Pak Burdi adalah dokter terkenal di sekitar desanya. Yang biasa mengobati warga yang sedang sakit.
Ada yang menetes dari kelopak mata ibunya. Ia tak mampu menahan kesedihan dan kepolosan pertanyaan anaknya.
“Ibu tidak punya uang, nak,” jawabnya datar. “Mana cukup penghasilan ibu yang hanya demikian itu bisa membayar biaya rumah sakit,” ucapnya penuh getar.
Setelah bapaknya menghilang tanpa kabar, dua tahun lalu, Ibu Bakri hanya bisa bertumpu pada hasil pekerjaanya menghancurkan batu gunung. Setiap hari ia harus mendaki bukit. Berjuang sendiri. Menghidupi Bakri yang ditinggalkan ayahnya sejak masih berusia enam tahun. Tanpa harta dan penghidupan yang layak. Seluruh harta kekayaan yang tersisa, yakni perahu untuk mencari ikan dilaut dan sepetak tanah hasil warisan orangtua si ibu yang tak begitu luas, sudah dijual untuk keperluan modal berdagang dulu––setelah memutuskan untuk berhenti melaut. Tapi, modal itu tak kembali seiring kepergian jejak suaminya. Bahkan Ibu Bakri masih menanggung hutang yang tak sedikit pada tengkulak ikan. Sampai saat ini masih belum bisa dilunasi.
Anak dan ibu itu diam. Tatapan Bakri membuat air mata ibunya semakin menganak sungai. Ia tahu, bagaimana perasaan anaknya saat itu. Dalam pikirannya, ia teringat pada kenangan masa lalu. Bersama Bisri, suaminya yang sangat bahagia melihat kelahiran Bakri di hari pertaman bocah itu menghirup udara di dunia.
“Kalau begitu, biar Bakri yang cari uang berobat untuk ibu,” pernyataan Bakri begitu meyakinkan. Tapi, bisakah bocah sekecil itu bisa mencari uang sendiri? Dengan apa? Itu yang membuat ibunya tak percaya dengan ucapan anaknya. Walau pun ia bersungguh-sungguh berucap demikian. Baginya, Bakri masih terlalu kecil untuk urusan duniawi. Apa yang bisa dilakukan bocak seusianya selain minta uang, bermain, atau menangis jika permintaanya tidak dituruti.
***
Bakri termenung. Berpikir. Ia bingung dengan cara apa harus mencari uang untuk biaya pengobatan ibunya. Di depan rumahnya, Bakri menatap kosong pada tanian lanjheng dan lubang-lubang kecil di jalan dekat rumahnya yang dipenuhi genangan air. Hujan baru saja reda.
Tiba-tiba, kring…kring… Ia melihat pak pos sedang mengayuh sepeda ontelnya. Setiap pagi pak pos itu selalu lewat di depan rumah Bakri. Lelaki itu menyangklongkan sebuah tas yang biasa digunakan tukang pos untuk mengantar surat-surat yang dibawanya. Kadang roda sepeda ontel itu masuk ke genangan air, membuat sepeda pak pos sedikit oleng. Hampit terjungkal.
Bakri tertawa melihat pak pos yang gugup. Lucu sekali. Kumis jambulnya semakin menambah Bakri tertawa terpingkal-pingkal. Pak pos lantas tersenyum melihat tawa bocah itu.
Lalu, Bakri jadi ingat kata gurunya di kelas beberapa hari yang lalu: Asalkan kita sungguh-sunguh meminta kepada-Nya dengan hati ikhlas, kita akan mendapatkan apa yang kita minta.
***
Bakri mengeluarkan buku tulis dari tas usangnya yang bergambar Doraemon. Mengambil pensil, membuka buku, membolak balik lembar demi lembar, dan mencari lembaran yang kosong tanpa oretan. Kemudian, ia merobeknya
Bakri berpikir. Terpekur. Lalu mulai menulis.
Kepada Yang Terhormat
Tuhanku……………..
Di_
Tempat
Setelah menulis kalimat itu, Bakri berhenti. Ia bingung. Kata apa yang harus ia tulis pertama kalinya. Pensil yang mirip crayon itu di pukul-pukulkan ke kepalannya. Berharap ide cemerlang akan muncul. Lalu, keceriaan tiba-tiba muncul dari raut wajahnya. Seperti mendapatkan sebuah Ilham.
Ia membetulkan duduknya. Dan kembali menulis.
Tuhan…
Hari ini, ibuku sakit keras. Aku tak punya uang untuk mengobati sakit ibu. Ayahku tidak ada. Kata ibu, ayah mencari uang untuk menghidupi kami. Tapi, Ayah belum kembali, meski sekarang, ibu membutuhkan uang itu.
Tuhan…
Aku menulis surat ini, karena kata pak guru, jika aku meminta dengan hati yang ikhlas, maka Kau akan mengabulkan permintaanku. Sekarang, aku butuh uang untuk mengobati sakit ibuku. Aku ingin minta uang pada-Mu, untuk biaya ibuku.
Demikian surat dariku. Aku sangat memohon sekali, Tuhan mau mengabulkan permintaanku.
Bakri
Bakri tersenyum setelah menyelesaikan kalimat terakhir suratnya. Ia membaca ulang. Bakri yakin kalau Tuhan akan membalas suratnya. Ia melipat surat itu dan memasukkan ke dalam amplop. Besok, akan diberikan pada pak pos yang biasa lewat di depan rumahnya.
***
Surat itu dipegangnya erat-erat. Menaruh harapan agar Tuhan membalas suratnya. Lama ia berdiri di teras rumah. Menanti bunyi kring…kring sepeda ontel pak pos. Tak lama kemudian, pria berkumis yang diharapkan kehadirannya itu datang. Bakri langsung menghampiri dan menyerahkan surat itu.
“Pak, tolong aku, Pak,” ungkapnya sambil menyerahan surat itu. Pria berbaju orange itu tersenyum.
“Untuk siapa, nduk,” tanya pak pos.
“Untuk biaya ibu, pak, ibuku sakit,” jawabnya––seperti––tidak nyambung. Tapi pak pos mencoba memahami perkataan Bakri. Pak pos tahu kalau ibunya sedang sakit. Ia mengira Bakri disuruh pak lurah untuk mengantarkan surat itu kepada instansi atau lembaga sosial yang bisa membantu meringankan biaya kesehatan ibunya.
Pak pos tak perlu membaca surat itu. Ia langsung memasukkan ke dalam tasnya. Sebelum berangkat, pak pos menatap lekat wajah bocah yang malang itu. Yang di tinggal ayahnya entah ke mana. Pak pos itu mengucek-ngucek rambutnya yang pirang––yang hampir tidak ketahuan kalau sebenar ada rambut yang tumbuh di kepalanya––lalu berlalu. Kring…kring…
***
Pak Pos bingung setelah tahu kalau surat dari Bakri dialamatkan pada Tuhan. Ia membolak balikkan amplop kecil itu. Bagaimana caranya ia menyampaikan surat itu pada alamat yang dituju? Apakah ia harus mengembalikan kembali pada Bakri? Pasti bocah itu akan kecewa. Tapi, Tuhan yang dimaksud itu siapa? Alamatnya juga tak jelas.
Siang begitu terik. Matahari sangar menyengat ubun-ubun. Pak Pos memarkirkan sepeda ontelnya di samping masjid. Dalam dirinya seolah melekat lelah yang tiada terkira. Ia ingin istirahat sejenak, sekalian menunaikan solat lohor.
Setelah selesai solat lohor, pak pos mengambil surat itu lagi dari tasnya. Penasaran dengan isi surat Bakri. Ujung surat dirobek. Dibuka. Lantas, ia tahu maksud surat dari Bakri itu. Pak pos tersenyum. Terharu. Ia berpikir, bagaimana cara surat itu benar-benar bisa sampai pada Tuhan––menurut pemahaman Bakri, sesuai dengan keinginannya––meski pun cara yang dilakukan Bakri itu salah. Pak pos tetap ingin menanamkan keyakinan padanya. Pada bocah yang ingin belajar mengerti tentang sebuah keyakinan.
Ia memanggil takmir masjid. Meminta bantuan kepada takmir yang usianya tak beda jauh dengannya. Pak pos mengurai-menjelaskan tentang surat itu dan tentang penderitaan yang dialami oleh keluarga Bakri. Takmir masjid itu tersenyum. Ada kebahagiaan yang terpancar dari raut wajahnya yang tirus.
“Di mana rumah anak itu?” tanya takmir masjid sambil mengelus-ngelus jenggot putihnya.
***
“Ibu, kemarin aku mengirim surat pada Tuhan minta pertolongan untuk bisa mengobati ibu. Hari ini Tuhan membalas suratku. Ia mengabulkan permintaanku dengan memberi uang ini untuk biaya perawatan ibu,” ungkap Bakri. Ibunya yang tetap terbaring lemas. Tak berdaya. Ia terharu. Ada genangan air yang jatuh di kelopak matanya. Ia minta bantuan pak pos untuk membantunya bangun. Ia ingin memeluk buah hatinya erat. Erat sekali. Genangan air itu semakin membanjiri kebahagiaan keluarganya.
Pak pos dan takmir tersenyum di samping mereka.
Annuqayah, 2010