Saturday, July 31, 2010

Kado Ulang Tahun dari Sahabat I

Tanggal 29 juli 1990 di desa Sukogidri, Ledok Ombo, Jember, merupakan sejarah lahirnya seorang bayi laki-laki mungil dan imut, yang kemudian diberi nama Fandrik Haris Setia Putra. Kemarin tepat pada perguliran 29 Juli yang ke dua puluh kalinya bayi tersebut sudah menapaki usia dewasa. Tapi, mengapa dia nampak murung? Bukankah seharusnya dia berbahagia sebab usianya (akan) masih berlanjut sampai saat ini?

Dalam sejarah hidupnya, tak pernah ada tiupan lilin atau bahkan ucapan “selamat ulang tahun” yang mengalir dari orang-orang terdekatnya. Orang tuanya sekalipun tak pernah merayakan kelahiran putra pertamanya itu. Tangal 29 juli tetap berjalan seperti hari-hari biasa. Bahkan lelaki yang saat ini mengarungi lautan ilmu Annuqayah itu tak pernah berpikir dan mengingat kalau tanggal 29 Juli adalah hari ulang tahunnya. Semua biasa-biasa saja, berjalan apa adanya.


Tapi, bulan Juli 2010 terasa berbeda, sebelum tanggal 29, dia selalu mengingat hari itu. Hari yang akan menjadi batas antara fase remaja dan fase dewasa. Ada hal berat yang dirasakannya ketika menunggu vonis 20 tahun itu. Banyak pertanyaan muncul di batinnya. Apakah bisa saya bersikap layaknya orang dewasa? Apakah saya bisa menjadi orang yang lebih dewasa?

Pada usia itu, dia tak (belum merangkai) mempunyai sketsa hidup, baik dalam skala pendek ataupun skala panjang. Target apa yang akan dicapai pada tahun 20-nya itu. Dalam skala pendek, dari tahun ke tahun aktivis pers itu selalu mempunyai target-target tertentu yang harus dicapai. Namun, untuk tahun ini dia sangsi dan bingung target apa yang harus diprioritaskan. Lagipula sketsa jangka panjang yang telah dia rangkai harus direvisi kembali, sebab aral telah menjatuhkan salah satu sketsa jangka panjangnya. Yang membuat semua bangunan harapan menjadi amruk pula.

Ya! Di bulan itu juga, seorang hafidzah yang juga menjadi salah satu target skala panjangnya, menyatakan kalau dia tak bisa menjadi bagian dari sketsa hidupnya. Penolakan itu bukan tanpa alasan, tapi lebih untuk menghormati orang lain yang lebih beruntung dari pada seorang yang biasa dipangil Fafan itu. Jika dipikir ulang, bukanlah kesalahan seorang hafidzah, tapi murni kesalahan pribadi yang selalu berdiri di atas ke-ego-an, yang selalu memprioritaskan cita-cita, dengan kata belajar, belajar dan belajar.

Ya! Itu memang sudah menjadi konsekuensi. Sebab, beberapa bulan yang lalu, orangtuanya pernah menawarkan padanya untuk mengkhitbah gadis yang sudah khatam Al-Qur’an sejak Februari lalu. Tapi, ia tetap berpikir tentang cita-cita dan harapan orang tuanya. Dan ia sempat membatin, pasrah seandainya ada orang lain yang sudah mendahuluinya. Dan peristiwa itu telah diabdikan dalam bentuk sebuah cerpennya yang berjudul “Ruang Sunyi”.

Tapi, mengapa saat seorang hafidzah itu menyatakan langsung kalau sudah dikhitbah oleh orang lain, Fafan merasakan sebuah kehilangan yang amat besar. Bisakah ia mencari pengantinya? Yang sesolehah dirinya? Dirinya sangsi.

Meski dia sudah menjadi “milik” orang lain, dalam usianya yang ke 20 tahun itu, gadis itulah yang pertama kali mengucapkan “selamat ulang tahun” padanya. Dan ucapan itu juga adalah yang pertama kali dalam catatan hidupnya.

Ya! Ucapan selamat itu bisa sedikit melebarkan senyumnya, walaupun sangsi terus menghantui. Apakah masih bisa menapaki usia itu dengan merangkai kembali bekas kepingan harapan yang masih ada? Semoga bisa membangunnya kembali. Amien.

0 comments: