(Dimuat di Republika, 6 Juli 2014)
Undangan dari Taris kudekap. Wewangian menguap dari
kertas itu. Sungguh tak asing, aroma parfum yang kerap hilang dan tercium
secara tiba-tiba. Lebih setahun aroma itu hilang namun membekas seperti kerak
di kaki dermaga. Bersugesti.
Parfum itu manifestasi keindahan! Koarnya ketika
kukritik aroma parfum itu. Kepalaku terasa pening karena menurut selera
penciumanku Taris terlalu berlebihan memakainya.
Dia benar-benar ingin hidungku menyesuaikan diri
dengan wewangian yang berubah setiap pakaian lucut dari tubuhnya. Kendati kerap
bergonta-ganti parfum, hanya ada satu parfum yang disenanginya sehingga
hidungku sangat peka.
Lebih dari itu, feeling
berbicara lain. Taris hendak membentuk kepribadian baru dalam diri seorang yang
tak suka aroma parfum, atau barangkali dia tak lebih hanya seorang penjual yang
ingin menawarkan barang? Ya, Taris memiliki sebuah toko, La Tansa de Parfum, namanya. Ah, perasaan kadang kerap terlalu
berlebihan.
Dia mengenalkan berbagai jenis dan merek parfum. Tentu saja, sebagai orang yang tak
suka menggunakan parfum, aku sama sekali tak tertarik mengenali jenis
wewangian, apalagi mereknya. Bila harus ada aroma pengusir bau
yang melekat di badan, barangkali hanya deodoran. Bukan soal parfum yang melekatkanku
dengannya. Perasaan peduli terhadap pendidikan di daerah tertinggal yang membuatku
dekat dengan gadis bermata matahari itu.
Taris seorang petualang sejati. Dia aktivis
lingkungan. Di kampus, dia konsen menggeluti bidang konservasi lingkungan. Menurutku,
Taris perempuan yang unik: mengambil jurusan ekonomi, tetapi konsen pada konservasi
lingkungan.
Cerita bermula ketika Taris melakukan observasi
lingkungan di lereng Gunung Raung, pembatas antara Kabupaten Jember dan Kabupaten
Banyuwangi. Secara detil bercampur empati dia menceritakan temuan sekelompok
penduduk dengan segala keterbatasan: pangan, kesehatan, sampai pendidikan.
Slerok nama kampung itu. Tumbuh di kawasan hutan
pinus yang dingin dan tak ramah sinyal. Kendati berada di lereng gunung, sumber
mata air tak lebih dari sekadar pancuran air kran. Slerok mirip dengan area
yang hilang. Di saat penduduk kota Jember menyambut gembira event tahunan macam
Bulan Berkunjung ke Jember, yang go
international, masyarakat Slerok bersusah payah di lereng yang senyap nan
asing.
“Sebenarnya tak ada yang perlu ditakjubkan melihat
kondisi pendidikan seperti itu. Apa yang tidak ada di negeri ini. Meski sudah berganti
rezim dan setiap kebijakan selalu diselipkan kata modernisasi dan pemerataan
sosial, tetap saja ada yang terabaikan,” tukasnya dengan alis terangkat dan
hampir bersentuhan.
Taris antusias membangun kembali area yang hilang itu.
Seakan esok tak akan melihat kampung itu lagi. Salah satu terobosan pikiran
yang dikembangkan adalah menghidupkan kembali kegiatan belajar mengajar di sekolah
dasar yang sudah mati suri selama satu setengah tahun.
Sekolah dengan bangunan serba sirap itu hanya
memiliki dua ruang kelas. Satu ruang untuk kelas 1-2-3 sementara kelas 4-5-6 di
ruang yang satunya. Di ruang kelas hanya ada tiga gambar: presiden, wakil
presiden dan burung garuda lengkap dengan lima butir pancasila. Tak ada peta,
tak ada buku pengayaan, tak ada bank data kelas.
“Sekolah itu harus hidup. Sebagian anak-anak sudah ogah-ogahan
belajar, lebih memilih mengumpulkan biji mahoni dan sengon dari pada turun-naik
sekedar belajar cara berbahasa Indonesia dengan benar. Kaki-kaki itu sudah
lelah setiap hari terluka kena batu cadas jalan setapak. Kasihan bukan, mereka
juga anak bangsa.”
Masalahnya hanya Taris seorang yang iba. Taris
sungguh mengerti betapa diantara para pecinta alam, dalam kondisi seperti ini,
hanya aku yang bisa memahami perasaannya. Dan dia menutup cerita sembari merajuk
dengan nada iba: Aku butuh bantuanmu.
Uluran tangannya tanpa jeda membuka cakrawala. Alif ba ta tsa, ilmu hitung, cerita rakyat,
sampai pantun jenaka terselip renyah diantara tawa canda. Bau lapuk sirap dilahap rayap dan aroma keringat lenyap oleh
wewangian di tubuhnya.
Tak mudah berdamai dengan masa silam
yang sesekali bertandang sebagai rasa sesal. Namun, tatapan sendu bocah perempuan
yang terbaring di atas lincak beralas rajutan serabut daun pinus menyadarkan betapa
masa silam datang bukan untuk dihukumi apalagi dirutuki, melainkan harus
menjadi cermin untuk melangkah hari.
“Sudah kuduga kakak pasti senang,” suara
Wulan ringan namun menjerat leher.
Ada cahaya di matanya. Lidahku
menebal. Telingaku mengental. Tangan Wulan terasa dingin menggenggam
pergelangan tanganku. Energi itu tampak memberikan keyakinan betapa dugaannya
tidak salah.
Bentuk alisnya yang tebal melengkung
menipu pandangan seolah dia berbaring karena kecapean biasa. Sakit yang tak
bisa dia lawan seperti sirna oleh senyum yang selalu mengembang. Bibirku terasa
berat untuk ditarik, tetapi harus kutarik, demi Wulan.
Malam itu langit tampak bersih meski
hanya dengan sedikit bintang. Memasuki pergantian musim, Gunung Raung seperti
dipeluk duri-duri tajam. Angin berkesiur membangkitkan bulu kuduk. Deru generator
meraung-raung. Sebentar lagi mesin itu bakal mati karena malam sudah cukup
larut untuk tidak butuh cahaya. Generator itu
hanya memiliki nyawa 6 jam per hari untuk menghasilkan tenaga listrik.
Benar! Raungan itu kini sudah mati.
Rumah-rumah berdinding sirap dengan jarak yang berjauhan seperti sebuah peti
mati peninggalan sejarah. Ada suasana dingin, gelap, dan muram, bergelantungan
di dinding kamar.
Penduduk tak berani membangun rumah
yang lebih megah dari itu. Lahan di sana secara legal milik Perhutani yang
menanungi area hutan pinus. Memberikan izin permanen hanya akan membuat masalah
baru soal urusan klaim kepemilikan lahan. Di samping memang, bangunan permanen
susah didirikan karena kontur tanah yang berbatu dan jalan transportasi yang
sangat sulit dilalui.
Dari celah dinding sirap, disitu aku
leluasa melirik langit dengan dua bintang yang tertangkap oleh pandangan. Kesiur
angin berdesir menudung reranting pinus. Deru serangga malam terasa lebih
dekat. Ingin kumainkan harmonika, tetapi lidah rasanya terkunci untuk berirama.
Malam seperti kembali mendamparkanku
sebagaimana malam pertama di tempat ini. Butuh waktu hampir seminggu tubuhku
bisa menyesuaikan diri dengan suhu yang seperti sayatan pisau cukur. Selimut
saja tidak cukup melelapkan mata. Dingin kerap melawan. Semalam suntuk waktu
kuhabiskan duduk sengkil, memandang puncak Gunung Raung.
Lolongan anjing menemani pandangan sunyi.
Pikiran berkelana pada suatu masa yang melelahkan. Taris pamit untuk
menyelesaikan tugas akhir sebagai mahasiswi. Skripsinya mandek hampir tiga
semester.
“Paling lama enam bulan,” pintanya.
Berat membayangkan saat dia tiada,
aku seorang mengurus enam kelas sekaligus, kendati secara realitas cuma ada dua
kelas. Karena keterbatasan fasilitas, saat ini, dua ruang kelas itu dipakai
untuk kelas 1-2-3, sementara kelas 4-5-6 ‘dimutasi’ dengan sistem sekolah jarak
jauh ke SDN Sumber Gadung, satu setengah kilo di bawah kampung Slerok. Peran
ganda harus kulakukan: pukul enam mengantar anak kelas 4-5-6 dan pukul delapan
mengajar kelas 1-2-3.
Bukan namaku yang tertulis di atas undangan.
Undangan ditujukan untuk Ustadz Izzuddin, pengasuh pondok tahfidz, tempat Wulan
belajar agama selepas lulus dari sekolah reot itu. Tanggal resepsi pernikahan
sudah lewat dua bulan lalu. Wulan sengaja menyimpan undangan warna merah marun itu
untuk menunjukkan kabar bahagia kepada seluruh penduduk Slerok. Orang pertama dia
pilih adalah aku.
Wulan cuma segelintir bocah lereng
gunung yang hidup karena mimpi-mimpi Taris. Taris memang jago membakar motivasi
betapa hidup untuk mengabdi. Dia mampu mengubah keterbatasan menjadi ketakberhinggaan.
Dia bukan hanya berhasil meyakinkan bocah-bocah untuk terus meraup ilmu demi
menjaga kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan, tetapi juga berhasil
meyakinkan orangtua bahwa tak ada yang sulit asal mau berusaha. Sebagai orangtua,
tentu mereka ingin ingin anaknya memiliki kehidupan lebih baik, yang tidak
hanya mengandalkan tenaga fisik, naik turun gunung sekedar untuk bertahan
hidup.
Kini, Wulan sudah pergi. Tubuhnya
berdiri di puncak Gunung Raung dengan lambaian tangan yang khas. Dia tampak
berpamitan sebelum melakukan perjalanan jauh, entah kemana. Gamitan tangan
dingin itu masih membekas di pergelangan tangan. Baru terasa jika rasa dingin
itu simbol kepasrahannya pada keadaan.
Akhir-akhir ini pikiranku dicekoki
bermacam-macam argumen untuk meninggalkan Slerok. Apa yang perlu ditunggu lagi.
Perempuan yang diharapkan datang sudah jelas tak mungkin akan kembali. Dia
sudah memiliki imam, penuntun hidup. Membangkang pada imam berarti memaktubkan
diri menjadi penghianat.
Senyum Wulan, dengan segala
perjuangan dan kelelahan, membuat perasaan untuk meningalkan Slerok menyisakan
rasa malu. Dia berjuang, membangun harapan sampai di atas kerongkongan.
Apakah kakak menyerah dan
meninggalkan kami hanya karena Kak Taris tak kembali? Di dalam mimpi, berkali Wulan
bertanya.
Dalam kondisi apapun, puncak gunung selalu
tampak berwibawa. Bulan sabit bertengger di atasnya seperti bando anak
perempuan yang terlepas. Rindu ini tak akan pernah berada di titik nadir.
Undangan itu masih kudekap. Dada
terasa pecah. Mata jadi perih ingat pesan Wulan: sampaikan salamku pada Kak
Taris.
Ada senyum di sana. Di puncak Gunung
Raung.
Jember, 1 Juni 2014
(Dedikasi
untuk alm. Ribut Sri Wulandari)
0 comments:
Post a Comment