Pesta
demokrasi rakyat tingkat desa sebentar lagi digelar. Sebanyak 161 desa yang
tersebar di 28 kecamatan di Kabupaten Jember akan melaksanakan pemilihan kepala
desa (pilkades) serentak pada September nanti. Berbagai manuver politik untuk menarik
hati masyarakat demi mendulang suara mulai dilakukan. Mulai dari pemasangan
atribut pasangan calon, bagi-bagi sembako, melaksanakan pengajian rutin, serta
berbagai strategi lainnya.
Sampai
saat ini persiapan pilkades sudah pada tahap pembentukan panitia dan seleksi
bakal calon kepala desa (bacakades). Nah, pada tahapan ini mulai timbul
persoalan. Terutama menyangkut penarikan sumbangan kepada pihak ketiga, dalam
hal ini adalah bacakades, yang dilakukan oleh panitia untuk mencukupi anggaran
biaya pilkades.
Sebagaimana
disebutkan dalam Peraturan Bupati (Perbub) Jember Nomor 41 tahun 2019 yang
telah diubah menjadi Perbub Nomor 61 Tahun 2019 Bab XI pasal 46 tentang biaya
pemilihan disebutkan bahwa anggaran pilkades dapat diambil dari tiga sumber
yaitu, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), Anggaran Pendapatan Belanja
Desa (APBDes), dan sumbangan dari pihak ketiga yang sah dan tidak mengikat.
Sumbangan
dari pihak ketiga dapat dilakukan apabila APBD dan APBDes tidak mencukupi beban
anggaran biaya pilkades yang dimaksud. Inilah yang menyebabkan sumbangan dari
pihak ketiga menjadi solusi untuk mencukupi anggaran pilkades, sehingga
muncullah variasi besaran sumbangan kepada pihak ketiga. Ada yang gratis dan
ada yang memungut biaya puluhan sampai ratusan juta rupiah.
Berbagai
fenomena kebijakan menarik pun muncul. Ada bacakades yang sudah memenuhi
persyaratan tersingkir karena tidak bisa memenuhi besaran sumbangan yang
ditetapkan panitia. Ada bacakades yang lolos karena sudah memenuhi persyaratan meski
belum bisa memenuhi biaya sumbangan yang ditetapkan panitia. Bahkan ada
beberapa desa yang bahkan tidak memungut sumbangan dari pihak ketiga alias
gratis.
Pengambilan
kebijakan yang beragam ini mendapat respon yang beragam pula. Ada yang bersikap
nyinyir dengan mengatakan bahwa masuk ke toilet umum saja berbayar malah mau maju
di pilkades minta gratisan. Ada pula yang menempuh jalur hukum karena sumbangan
tersebut dianggap sebagai pungutan liar karena sifatnya mengikat atau wajib.
Menarik
disimak redaksi ‘…dapat memberikan bantuan pembiayaan…’ pada pasal 46. Kalimat
tersebut dapat dimaknai sebagai sumbangan. Sumbangan asal kata dari “sumbang”
yang artinya bantuan atau sokongan. Sumbangan dapat melahirkan frasa nonpredikatif
“sumbangan manasuka” dan “sumbangan
wajib”. Sumbangan manasuka merupakan sumbangan yang diberikan secara sukarela,
sementara sumbangan wajib merupakan sumbangan berupa uang dan sebagainya yang
harus dibayar. Pasal 46 tidak menyebutkan apakah itu sumbangan manasuka atau
sumbangan wajib. Hanya saja setelah kalimat di atas tertulis ‘…berdasarkan
hasil kesepakatan musyawarah desa…”.
Perbub
versus UU Desa
Adanya
pasal karet tersebut harus dipahami secara cermat dan bijak karena dapat
menimbulkan konflik horizontal yang berbuntut jalur hukum. Tentu hal ini akan
merugikan banyak pihak, terutama panitia pilkades, karena sumbangan pihak
ketiga tidak termasuk sebagai persyaratan calon kepala desa sebagaimana yang
sudah diatur pada pasal 18 Perbub Pikades. Bisa jadi sumbangan tersebut dapat
dikategorikan sebagai pungutan liar apabila tidak memiliki dasar hukum yang
jelas.
Pada
kasus ini, pemerintah desa maupun panitia perlu membentengi diri dengan berita
acara hasil keputusan musyawarah desa sebagai dasar hukum sebagaimana yang
diatur Permendes Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pedoman Tata Tertib dan Mekanisme
Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa, apabila sumbangan yang ditentukan memang
berdasarkan hasil kesepakatan musyawarah desa.
Perbedaan
anggaran pilkades yang beragam dikarenakan penganggaran dari pemerintah desa
melalui APBDes tanpa melalui kajian yang matang terkait dengan kondisi
geografis, luas wilayah, dan jumlah pemilih. Hal ini menjadi maklum karena memang
tidak ada rumusan atau petunjuk yang jelas dari pemerintah daerah (pemda)
terkait dengan proses penganggaran tersebut.
Seharusnya
pemerintah dapat memberikan rumusan yang jelas terhadap besaran biaya yang
harus dianggarkan oleh pemerintah desa dengan melihat topografi desa seperti rumusan
pengalokasian Dana Desa (DD) maupun Alokasi Dana Desa (ADD). Sementara itu bantuan
dari pemda hanya berupa logistik. Apabila mengacu kepada Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa seharusnya biaya pemilihan kepala desa hanya dibebankan
kepada APBD Kabupaten/Kota sebagaimana pasal 34 ayat 6.
Apabila
sumbangan dari pihak ketiga memang dibutuhkan, maka perlu adanya ketetapan anggaran
maksimal dari pemerintah sesuai dengan jumlah pendaftar. Jangan sampai biaya
pendaftaran dalam bentuk sumbangan tersebut menjadi lumbung permainan anggaran
pilkades yang dapat melahirkan politik transaksi dan kapitalisasi jabatan.
Semakin mahal biaya politik, maka semakin terbuka budaya koruptif di tingkat
desa. Apalagi bantuan alokasi dana di desa saat ini tergolong sangat besar.
Siapa yang tidak tergiur, coba?[]
*Penulis adalah TPP PLD Kab. Jember dan Pengurus LTN NU Kec. Ledokombo