(Catatan Perjalanan
Jember-Malang)
Jika ada orang
menawarkan anda untuk naik bis pada suatu perjalanan, bis apa yang akan anda
pilih. Patas atau bumel? Jika anda berorientasi pada kenyamanan, tentu pilihan
anda jatuh pada patas. Namun jika anda berorientasi pada nilai ekonomi, tentu
jawaban anda adalah bumel. Ya, patas dinilai lebih ‘berkelas’ daripada bumel,
seperti pembagian antara penumpang kelas menengah ke atas dengan penumpang kelas
menengah ke bawah.
Patas memiliki
makna cepat dan terbatas. Cepat karena hanya terminal besar yang menjadi
persinggahan. Terbatas karena jumlah kursi lebih sedikit daripada bumel. Jika
penumpang sudah penuh, tidak akan ada kursi ‘siluman’ sebagaimana bumel.
Fasilitas juga lebih oke, meski saat ini banyak bumel yang sudah memasang iklan
“AC, Tarif Biasa”.
Lalu, apakah
benar patas lebih memberikan kenyamanan dalam berkendaraan daripada bumel? Secara
logika barangkali sih iya, tetapi
fakta di lapangan belum tentu. Anda harus mencoba dulu, seperti pengalaman yang
akan saya ceritakan di catatan perjalanan ini:
Menunda Jadwal Keberangkatan
Sejatinya,
rencana saya ke Malang berangkat via Kereta Api. H-3 tiket kereta api Tawang
Alun Kalisat-Malang Kota Lama sudah di tangan. Namun apa lacur, perkuliahan
matrikulasi harus menunda rencana saya; yang awalnya berangkat pagi, terpaksa
berangkat bakda Magrib. Tentu, tiket kereta harus saya relakan hangus dalam
pelukan.
Tepat adzan
Magrib berkumandang, dosen pengampu menyudahi perkuliahan. Saya langsung tancap
gas. Meminta antar kepada teman ke terminal Tawang Alun. Saya memintanya menepi
di pintu keluar terminal. Berharap langsung ada patas yang datang. Benar! Tak
lama kemudian kernet patas Mila Sejahtera melambaikan tangan.
“Surabaya,
Surabaya, Surabaya.”
Saya langsung
naik ke kabin. Saya mencari tempat duduk. Kursi deret kanan nomor dua dari
belakang menjadi pilihan. Dalam pikiran, ketika bis berjalan, mata akan
langsung saya pejamkan. Tidur dalam buaian malam.
Patas berjalan
pelan menyusuri sepanjang jalan Rambipuji. Volume kendaraan cukup padat hingga
membuat patas merayap seperti hilang kekuatan. Saya mulai memejamkan mata,
kendati tidak sepenuhnya berhasil tidur dengan nyaman. Rasa capai sehabis
kuliah sungguh terasa.
Melewati lampu
merah Kaliputih (pertigaan –Rambipuji-Balung-Bangsalsari) sopir bis menaikkan
tempo kecepatan. Beberapa mobil kecil dilahap pelan. Hampir memasuki desa
Tisnogambar, laju patas kembali melambat. Saya penasaran gerangan apa yang
terjadi. Alamak! Tampaknya macet.
Saya mulai
cemas. Beberapa kali meninjau jarum arloji. Taksiran antara jam 10 dan 11 malam
sampai di Malang mulai berbuah pesimis. Apalagi saya mesti transit dulu di
Probolinggo untuk ganti bis. Saya pasang headset. Mencoba mengusir kecemasan
yang menggantung. Suara Raisa, Love You
Longer, mengalun lembut.
Entah, berapa
kali Love You Longer saya putar
ulang, patas seakan tak beranjak dari tempatnya. 30 menit sudah berlalu. Tak
ada tanda-tanda kemacetan segera terurai. Saya coba memejamkan mata, tetapi
tidak bisa. Entahlah, karena kecemasan atau karena kecapaian. Saya pikir
kemacetan ini disebabkan laka lantas. Setahu saya, jalan di Tisnogambar kerap terjadi
kecelakaan.
Ternyata
prediksi saya salah. Setelah hampir memasuki sejam, patas yang merangkak
seperti bayi, saya baru tahu jika kemacetan tersebut akibat buka-tutup jalan
karena ada perbaikan jembatan. Volume kendaraan di malam hari memang kerap
dihuni oleh kendaraan-kendaraan besar. Mereka seperti binatang buas yang
beraksi di malam hari.
Lolos dari
jalan buka-tutup, bis melaju pelan dan seakan mulai menemukan ritme permainan.
Saya cek arloji, alamak, hampir jam 8 masih belum memasuki Lumajang. Kapan
sampai di Malang?
Selepas dari
kemacetan, Mila Sejahtera seperti menggila. Pedal gas naik-turun secara tak terduga.
Sodok ke depan suka-suka. Ngerem mendadak dan tiba-tiba. Saya pun tidak bisa
memejamkan mata. Perjalanan jadi tak berselera karena isi perut seakan dikocok
secara membabi buta. Dalam hati mengumpat, patas macam apa kalau begini. Tak
ada kenyamanan sama sekali.
Saya pun tak
bisa terlelap. Sebotol minuman suplemen tidak bisa menahan isi perut yang
hampir tumpah. Saya sempat mengedar pandangan ke luar kaca. Mengukur jarak
dengan melihat nama tempat di sisi jalan, Ranuyoso, Klakah. Hem, masih di kota
pisang. Dalam hati membual, ada apa dengan sopir Mila ini? Kejar setoran atau
baru bertengkar dengan istrinya? Entahlah, yang jelas perjalanan ini sungguh
tidak menyenangkan. Perut selalu mual-mual; ingin segera sampai di Probolinggo
dan ganti bis.
Satu jam terdampar di Terminal Banyuangga, Probolinggo
Kurang lima
menit dari pukul 10 malam, saya tiba di terminal Banyuangga, Probolinggo. Lepas
kaki berpijak, saya langsung menuju ruang tunggu. Bersandar di peron, melepas
penat sambil mengutuk Patas Mila Sejahtera yang membuat perut terasa
dikocok-kocok. Kepala terasa pusing, karena di samping isi perut yang keluar, saya
baru sadar jika hanya makan pagi setengah siang. Itu pun bakwan!
Lama menunggu
di peron. Bis berlabel patas jurusan Malang tak ada yang datang. Hanya
Jember-Surabaya atau sebaliknya yang silih berganti. Lepas dari setengah jam
menunggu, bis bumel Harapan Baru masuk jalur. Hampir semua penumpang yang
menunggu di peron menyerbu bis yang baru parkir itu. Ternyata mereka semua satu
jurusan, batin saya. Saya pun tak kalah gesit. Daripada menunggu patas yang tak
jelas kedatangannya, lebih baik naik bumel dan segera tiba di tempat tujuan.
Sayang, bis
sudah penuh. Di luar kaca, sebagian penumpang berdiri. Ah, saya tak mau ambil resiko. Mana mungkin berdiri sepanjang
lintasan Probolinggo-Malang yang saya taksir membutuhkan waktu tempuh lebih
dari 2 jam. Terpaksa saya bersama sebagian penumpang lain kembali lagi ke peron
dengan raut muka kecewa.
Waktu sudah
hampir pukul sebelas. Tak ada satu pun bis yang kembali muncul. Saya harap-harap
cemas dan mulai mengatur rencana dadakan bila sudah sampai di Malang.
Setidaknya, saya taksir masuk terminal Arjosari pukul satu lebih. Ojek tentu
ada, tapi saya malas untuk bernegosiasi menentukan patokan harga. Saya mencoba
menghubungi seorang teman yang sudah sampai tadi pagi. Berharap rasa dermawannya
bersedia menjemput saya dengan Panther miliknya. Dia menyanggupi, tetapi dari
nadanya seperti hanya basa-basi. Hatipun membatin, mau patas atau bumel terserah,
yang penting segera sampai tujuan.
Tak lama
kemudian, bis bumel Harapan Baru kembali tiba. Saya langsung sigap menghampiri.
Aduhai, tampaknya penumpang juga penuh. Sebagian besar penumpang masuk melalui
pintu depan. Saya masuk melalui pintu belakang. Rasanya tidak mungkin mengincar
tempat duduk di depan dengan penumpang yang berdesakan. Yang penting dapat
tempat duduk meski di belakang.
Saya pun naik.
Hampir semua kursi berpenghuni. Saya terus bergeser ke depan. Mencari kursi
yang tidak berkepala. Ketika incaran terlihat, ternyata ada penghuninya juga:
anak-anak. Jelas kepalanya tidak terlihat dari belakang. Saya terus bergeser ke
depan, tetap tidak ada. Langkah pun berhenti tepat di belakang sopir. Mau
keluar melalui pintu depan tidak bisa. Ada sekumpulan ibu-ibu yang duduk di
samping kiri sopir. Alamak, alamat berdiri sampai di Malang, nih!
Hati menjadi
risau. Turun, tidak, turun, tidak, turun, tidak. Akhirnya saya putuskan untuk
bertahan dengan segala kekuatan yang ada. Ya, Allah, kuatkanlah hamba berdiri
lebih dari dua jam perjalanan ini. Amin.
Harapan Baru pemberi harapan baru
Bis berjalan
pelan meninggalkan terminal. Saya tetap membayangkan ‘sengatan listrik’ yang
akan menjalar dari telapak kaki. Ini bumel, bukan patas. Tak ada AC dan tentu
juga penumpangnya berjubel dan berdesakan. Lepas pertigaan patung karapan di Probolinggo,
bis ini masih menaiki tiga penumpang lain. Ya, ampun, sudah penuh masih
disesaki lagi. Saya taksir perjalanan ini tak akan menyenangkan!
Tiga orang
tadi adalah penumpang terakhir. Jika masih harus menaiki penumpang lagi,
sungguh ini keterlaluan. Saya mencoba memupuk kesabaran. Menoleh ke belakang
kepada penumpang yang juga berdiri seperti dihukum kepala sekolah karena
terlambat mengikuti upacara bendera. Setidaknya, tidak hanya saya bernasib demikian.
Masih ada penumpang seperjuangan di belakang bernasib sama. Hanya cukup bertahan
lebih dua jam, masak tidak kuat, pasti bisa, batin saya.
Sungguh, yang
saya khawatirkan dari bis ini adalah ketidaknyamanan dalam berkendaraan: ngegas
tanpa tedeng aling-aling atau ngerem tanpa perasaan. Patas Mila Sejahtera yang
mungkin kejar setoran menjadi momok menakutkan di malam itu. Semoga tidak
terulang pada bis ini. Situasi saat ini berbeda. Saya berdiri, bukan duduk!
Keluar
terminal dan masuk Rejoso, Pasuruan, tak ada hentakan berarti. Bis berjalan
penuh kelembutan. Pergantian gigi persneling tak dirasakan. Bila harus
menurunkan gas dan ngerem, hal itu tidak terjadi secara dadakan. Nah, sopir ini
baru mengerti bagaimana cara memanjakan juragan! Sempat saya membatin betapa
sopir ini seorang penyabar, ramah, dan mengerti arti kemanusiaan. Rumah
tangganya juga pasti harmonis dan tidak berantakan. Meski alasan terakhir ini
tak ada kaitannya sama sekali.
Saya menikmati
setiap pendar lampu jalanan. Sesekali bis ini melahap kendaraan besar yang
menghadang. Saya tetap berdiri, tetapi saya mulai menikmati perjalanan ini.
Ternyata, kenyamanan penumpang bukan disebabkan oleh fasilitas mewah yang
ditawarkan, tetapi lebih kepada bagaimana sopir memanjakan penumpang dengan bersikap
lembut dan tidak ugal-ugalan.
Memasuki
Purwosari, Lawang dan Singosari, rasa capai seakan seketika hilang. Malang,
saya datang! Saya lirik arloji, pukul 01.05 WIB. Dua jam sudah saya berdiri.
Setengah jam kemudian, saya pun sampai di terminal Arjosari. Terima kasih
Harapan Baru. Berdiri lebih dua jam memang perkara yang melelahkan, tetapi
setidaknya seorang sopir harus tahu diri bagaimana cara memberikan kenyamanan
dan memanjakan penumpang.[]
Malang, 25 Agustus 2018