(Nominator LMC Kab. Sumenep 2017)
Tambak
garam membentang di bahu kanan dan kiri jalan. Sedap aroma garam. Kincir yang
berputar. Bulir-bulir asin mengkristal. Bentangan tambak itu menandakan laju
bus yang kutumpangi segera berhenti di terminal Wiraraja. Arloji di pergelangan
kiri menunjukkan pukul tiga dua puluh enam menit.
Rem
berdenyit. Ada suara suspensi. Penumpang berdesakan seolah bus tak memiliki banyak
waktu ngatem di terminal. Mereka
bukan tidak tahu bahwa Wiraraja adalah terminal terakhir di ujung timur Pulau
Madura.
Lepas
kedua kaki berpijak di tanah aspal, kuhirup pelan desau angin yang terasa asin.
Masih belum terkira betapa sore ini aku menghirup aroma tanah kelahiran yang cukup
lama kutinggalkan. Segar aroma bunga tembakau. Harumnya tanah yang dibasahi
hujan pertama di penghujung kemarau. Dan sedapnya nasi jagung dengan lauk ikan
asin yang dimakan dengan ulam daun kelor.
Seorang
lelaki mendekat. Langkahnya tergesa-gesa. Tubuhnya dekil dan tambun. Kulitnya mulai
mengeriput kendati otot-ototnya masih kekar. Anom[1]
Mustapa. Orang yang menghubungiku untuk segera pulang. Jika saja ibu tak
menyuruhku segera pulang, tentu punggungku masih memanggul karung di tanah
rantau.
“Ibumu
sudah menunggu, Cong[2]!”
Tanpa
berpikir panjang, aku membonceng di belakangnya. Nom Mustapa memacu motornya membelah kota. Masjid Agung terpancang
kokoh di pusat kota. Masjid kebanggaan orang Sumenep yang selesai dibangun
tahun 1787 Masehi. Ornamen gerbangnya bergaris-garis kuning berpadu dengan
warna putih pada setiap sisinya.
Motornya
terus melaju. Aku banyak diam.
Sampai di kampung nelayan, pesisir pantai berpagar
cemara udang berjejel menyapu pandangan. Keindahan pantai Lombang memang tiada
duanya. Perahu yang ditambat di sepertiga pantai menggoda adrenalin untuk berlayar
dan bersenandung ole olang.[3] Bocah-bocah pesisir melepas langkah tanpa beban.
Berlarian di atas hamparan pasirnya yang putih. Menatap perahu yang tampak
kecil dalam pelayaran.
Aku
jadi ingat cerita yang selalu
menjadi pengantar tidur anak nelayan. Betapa kehidupan kami tak jauh berbeda
dengan kehidupan anak-anak ikan di laut; terus bersama saling melengkapi dan
melindungi. Tak ada yang melaut sendiri. Mereka akan membentuk
kelompok-kelompok kecil lalu hasil tangkapan dibagi sesuai kesepakatan. Aroma amis
campur asin dan gaya teriakan cempreng nan lantang menjadi ciri khas karena
ombak telah mengajarkan bagaimana bersikap tegas dan sigap menjadi seorang
nelayan.
Melihat bocah-bocah pesisir yang berlarian tanpa
sandal, aku juga jadi teringat pada perempuan pesisir yang sering bermain denganku
di bibir pantai Lombang. Kami sering bermain nikah-nikahan dengan lokan sebagai
maskawinnya. Riak ombak yang tenang membuat kami betah berlama-lama di sana. Maemunah
nama perempuan itu. Gadis yang seharusnya sudah kunikahi betul jika saja carok tak
terjadi waktu itu. Dua tahun lalu. Peristiwa yang sudah mengasingkanku di tanah
rantau. Anom mengirimku pada
kerabatnya di Jawa sampai waktunya harus melaksanakan carok balasan.
Derap roda motor nom Mustapa melewati Pasar Jukok, tempat transaksi jual-beli antara
nelayan dan tengkulak. Anyir ikan menembus rongga hidung. Pasar itu dikuasai
kaum perempuan. Ketika para lelaki melaut, kampung nelayan bak kampung
perempuan. Tak ada yang dilakukan kecuali berada di emperan rumah, berkumpul
sesamanya lalu mendongengkan malam yang mengasingkan; tentang nafkah batin yang
jarang terpenuhi, sampai pada sentilan renyah perselingkuhan dengan para tengkulak.
Bapakku
seorang nelayan, tetapi rumah kami cukup jauh dari laut. Awalnya kami tinggal
di tepi pantai. Sepeninggal nyaeh,
mereka pindah ke rumah yang sekarang kami tempati—rumah kaeh-nyaeh[4]—sementara
rumah yang lama kami tukar dengan gudang penyimpan ikan.
Roda
motor yang kutumpangi kini berderap di atas jembatan yang airnya tenang tak
pernah berisik. Aku dan Maemunah kerap bersiraman di situ. Banyak penduduk mandi dan mencuci, terutama saat
kemarau, ketika sumur-sumur menjadi kering. Beberapa sapi seharian ditambat di
tepi sungai. Hanya di tempat itu rerumputan tetap hijau. Sementara bila sudah
digiring ke kandang, mata sapi itu ditutup plastik hijau agar tertipu melihat
rerumputan ranggas menjadi segar.
Di tepi jembatan terdapat
sebuah bakap[5],
tempat petani menunaikan salat. Bakap memang biasa dibangun di dekat sungai
agar bila ada petani yang bekerja hingga sore, mereka tidak perlu pulang untuk menunaikan
salat.
Aku sering melihat
seorang petani salat di bakap itu. Terkadang hanya mengenakan sarung tanpa
baju. Di sampingnya ada cangkul, arit dan celana kolor yang belepotan tanah.
Sarungnya digulung agak tinggi hingga menutupi pusar namun juga menutupi lutut,
mirip lelaki yang memakai kemben.
Saban pagi, perempuan-perempuan
paruh baya biasa melintasi jembatan itu. sebuah bakul berisi tapai atau
tangkapan ikan bertengger di kepala mereka. Siap dipasarkan. Sampir lorek
dijinjing setinggi lutut. Mereka berbaris rapi. Kadang tanpa alas kaki. Berjalan
seperti sekawanan semut yang mengangkut remah-remah roti. Saat
perempuan-perempuan itu melintas, petani di tegalan bersahut sapa dengan nada
menggoda.
Jembatan
itu menandakan bahwa sebentar lagi langkahku berpijak di halaman rumah. Senja
memerah seperti bara api berkilat-kilat. Pepohonan siwalan berdiri kokoh. Aroma
celatong[6]
menguak dari kandang sapi. Di bawah pohon siwalan, pada batang cemara udang,
dan di antara kandang-kandang itu aku tumbuh menjadi lelaki lepas dan bebas.
Ibu
menyambut dengan muka berkaca-kaca. Sampir bermotif cengkeh dijinjing setinggi
lutut. Aku
jatuh dipelukannya seperti anak kucing yang kedinginan. Senja mulai
memerah. Semerah mata ibu yang hendak bicara tentang kesedihan.
Pada
dinding rumah, ada potret usang kaeh-nyaeh
di pigura terpisah. Pada dinding yang lain, terpajang potret kenangan bersama Ke[7]
Husen bersama kuda yang kutumpangi saat petamakali khatam Al-Quran.
Ke Husen
tidak hanya dikenal sebagai guru ngaji. Lelaki itu kerap kedatangan tamu dengan
tujuan yang beragam. Dari yang meminta ilmu kekebalan, meminta pemenangan kerapan
sapi sampai meminta pemenangan kontes lotrengan. Ke Husen terkenal dengan
dukunnya para blater[8].
Lelaki tua itu memiliki mantra nylateng[9]
dan rapal nyeppet[10]
yang ampuh.. Bila ada
seseorang yang ingin melakukan carok, Ke Husen adalah pilihan tepat meminta keselamatan.
“Kamu
disuruh segera menemui Ke Husen,”
tukas Ibu.
***
Malam hampir memasuki waktu Isya. Aku dan anom sudah di langgar menunggu Ke Husen. Beralas tikar rajutan daun
siwalan. Langgar ini benar-benar sudah tua. Jaring laba-laba bergelantungan
di langit-langit. Sebagian kayu plafon tampak lapuk dimakan usia. Gedek bagian
bawah sudah mengeropos. Hanya keempat pilarnya yang terlihat masih kokoh.
Di
depan pengimaman tumbuh rumpun bambu berduri menudung atap langgar. Konon,
rumpun bambu itu sengaja ditanam sebagai pelindung agar langgar dari tak terlihat
di kejauhan oleh penjajah. Pada masanya, penjajah kerap membakar masjid atau
langgar karena dianggap sebagai sarang pemberontak.
Malam
ini aku akan mematangkan carok balasan kepada Talhah, seorang tengkulak yang
telah membuat nyawa bapak melayang demi kehormatan keluarga. Ya, Talhah kerap
menggoda ibu di bakap itu yang hampir setiap hari mencuci dan bersiraman di
sana. Tak terima dengan perlakuan itu, bapak menantang Talhah melakukan carok
tanpa perhitungan yang matang hingga kemudian nyawanya melayang.
Seorang
perempuan mendekat membawa beberapa gelas kopi. Aku tercekat. Maemunah! Gadis
yang sering kunikahi di gundukan pasir itu semakin tumbuh menjadi gadis sintal.
Bibirnya terlihat segar. Sepasang matanya teduh namun tajam. Kulitnya kini
kuning langsat. Rasanya Potre Koneng terlahir kembali!
Maemunah
meletakkan gelas itu satu per satu. Tatapanku tak pernah lepas dari parasnya
hingga langkahnya menghilang di balik daun pintu rumah. Angin berdesir pelan.
Beberapa daun bambu kering jatuh. Serangga kecil berputar-putar mengelilingi
dop 5 watt. Ke Husen baru saja tiba
usai mengobati warga yang diduga terkena penyakit kiriman.
“Kapan
datang, Cong?”
“Tadi
siang, Ke,” tukasku.
“Sudah
siap?”
“Siap!”
jawabku yakin.
Ke
Husen bergegas ke dalam rumahnya. Tak lama kemudian lelaki itu keluar dengan
sebilah celurit jenis takabuan terbungkus kain putih.
“Ini
celurit yang dipakai carok oleh bapakmu. Pakailah. Sudah kuisi beberapa rapal
mantra di dalamnya.”
Kubuka
kain putih itu. Aroma dupa meruak. Ada beberapa lembar kertas bertulis
huruf-huruf hijaiyah berserakan. Kuusap mata celurit itu tanpa takut terluka. Tiba-tiba
wajah Talhah tergambar jelas di batok kepala. Akhirnya carok balasan segera kutunaikan.
“Katembheng pote mata ango’ pote tolang,[11]”
tukasku.
“Betul,
Cong. Lokana daghing bisa ejhei, lokana ate tade’ tambhana kajhebe ngero’ dara,[12]”
timpal Nom Mustapa meyakinkan.
“Kamu
harus bermalam di sini. Aku akan mengalirkan mantra nylateng ke tubuhmu,
sekaligus merapalkan mantra nyeppet,” kata Ke Husen.
Malam
itu jatuh tanpa sepotong rembulan.
“Setelah
semuanya selesai, ijinkan aku menikahi Maemunah, Ke,” tukasku. Entah, keberanian apa yang membuatku berucap demikian.
“Tuntaskan dulu niatmu, Cong. Tebuslah anakku dengan jantung
Talhah sebagai mahar. Bukankah dulu pernikanmu juga tertunda gara-gara lelaki
itu,” kata Ke Husen sembari melinting
rokok dan menyulutnya.
***
Celurit
takabuan sudah siap di genggaman. Sesekali kuayunkan untuk merasakan sensasi
tebasan. Tubuhku terasa lebih lentur dan ringan, tetapi kuat dan bertenaga. Mungkin
ini efek mantra Ke Husen. Ah, tak
penting. Yang jelas hari ini aku akan ngongghei[13]
Tahlah. Dua tahun aku mengasingkan diri diperantauan hanya untuk membalas
kesumat yang harus segera dituntaskan.
Rerimbun
pelepah siwalan di perbukitan sebelah barat memaksa matahari redup sebelum waktunya.
Orang yang kutunggu terpatri di depan mata. Talhah sedang
memberikan sepuluh telur ayam dan secangkir madu untuk jamu sepasang sapinya. Darahku
mulai berdesir. Amarah langsung meledak.
“Talhah!
Dua tahun aku menunggu!” teriakku.
Kusabet
celurit sekuat mungkin ke arahnya. Talhah menghindar ke tanah lapang. Celurit
terus kutebas diantara batang-batang cemara udang dan siwalan. Berkali-kali Talhah
menghindar sempoyongan. Tampar sapinya menjadi perisai. Seranganku membabi
buta. Satu sabetan begitu cepat dan kuat telak mengenai tangan kirinya. Ada Darah
mengucur. Jari manis dan kelingkingnya bergelantungan hampir lepas.
”Patek!” umpatnya.
Talhah
mengeluarkan sekken[14]
dari balik punggungnya. Tanpa banyak cas-cis-cus, lelaki kekar itu juga
mulai melakukan serangan.
Matanya menatap jalang.
Di
udara yang bengis, debu-debu mengepul di antara tebasan celurit tak tentu arah.
Sesekali memamerkan kilatan singkat yang sempat tergores. Teriakan lantang saling
berpaut. Meski ukuran celuritku lebih besar ketimbang celurit Talhah, aku cukup
kereporan menandingi kesigapan dan kelenturan tubuhnya. Beberapa kali Talhah sempoyongan
menghindar tebasanku sebelum akhirnya satu bacokan berhasil kudaratkan di
punggungnya.
“Patek!”
Talhah meringis.
Sadar
lawan terluka, aku semakin di atas angin. Amarah menjadi beringas. Talhah
meringis kesakitan tetapi tubuhnya tetap gesit menghindari seranganku.
Tiba-tiba satu tebasan telak tepat mengenai perut sebelah kiri. Mataku
berkunang-kunang dan mulai hilang keseimbangan. Kutekan lukaku agar usus tak
keluar. Anyir darah tersaup angin. Akupun tumbang. Terkapar.
Talhah
menjilat darah[15]
yang menempel di ujung celuritnya. Luka sabetannya membuatku sulit bergerak
sehingga lelaki bercodet itu leluasa membacok-bacok tubuhku.
Celuritnya
dibentangkan di atas dadaku sebagai simbol kepuasan dan kebanggaan atas
kemenangan, sekaligus pengakuan bahwa dialah yang membunuhku. Bilapun harus
mati diujung celurit, setidaknya kehormatan keluarga sudah kujunjung tinggi.
Hanya
saja yang kupikirkan adalah bagaimana caranya menitip rindu dan memenuhi
janjiku pada Maemunah.[]
Jember,
18 November 2017
[1] Anom: paman
[2] Cong: panggilan singkat dari kata “kacong”
[3] Salah satu lagu tradisional
masyarakat Madura yang menggambarkan kerasnya kehidupan nelayan di tengah laut.
[4] kaeh-nyaeh: kakek-nenek
[5] Kata ‘bakap’ berasal dari ‘wakaf’
dengan maksud bahwa tempat salat itu awalnya dibangun dengan dana pribadi tapi
untuk orang umum.
[6] Celatong: kotoran sapi
[7] Ke: singkatan dari kae/kiai, sebutan bagi orang yang sudah tua atau
dituakan.
[8] Blater: preman; jagoan
[9] Sejenis mantra yang diyakini
membuat orang berani dan siap tempur
[10] Sejenis mantra yang diyakini
akan kebal terhadap bacokan senjata tajam
[11] Artinya, daripada putih mata
lebih baik putih tulang. Sebuah peribahasa dalam masyarakat Madura yang
memiliki makna Lebih baik mati daripada berkalang malu.
[12] Artinya, lukanya daging masih
bisa dijahit, tetapi lukanya hati tidak ada obatnya kecuali minum darah. Sebuah
peribahasa dalam masyarakat Madura yang memiliki makna bahwa malu adalah aib
yang tak ada obatnya kecuali carok.
[14] Jenis celurit berukuran kecil
yang biasa dijadikan sekep, mudah diselipkan di balik baju sehingga
tidak mengundang perhatian orang.
[15] Sisa darah di celurit diyakini
sebagai penghilang penyakit dhen-keddhenan, yaitu raut muka selalu
tampak pucat seperti kekurangan darah.