Thursday, February 20, 2014

Ibu Enceng dan Ibu Listening


Ibu Enceng dan Ibu Listening adalah dua cerita yang hampir sama namun terjadi di tempat yang berbeda. Ini hanyalah cerita tentang kebiasaan saya yang memanggil seseorang dengan panggilan nama yang tak lazim dipakai oleh kebanyakan orang untuk memanggilnya.

Jangan salah sangka! Panggilan yang tak lazim ini bukan bermaksud ingin melecehkan atau menurunkan derajat nama seseorang. Ini hanya panggilan pribadi saya saja dalam rangka menambah keakraban dan ikatan emosional. Apabila berada di tempat umum, saya tetap memanggi orang yang bersangkutan tersebut dengan nama lazimnya ia dipanggil.

Dua Bulan yang lalu, tepatnya ketika saya masih mengajar di SMK Zaidul Ali, ada seorang guru IPA yang bernama Komariyah (sapaan akrab, Kokom), saya memanggilnya Ibu Enceng. Enceng sendiri diambil dari nama sebuah tumbuhan air, yaitu Eceng Gondok. lalu, apa pasal kaitannya antara Eceng Gondok dengannya? Bukankah ada perbedaan huruf ‘N’ pada dua nama tersebut.

Baiklah, saya sedikit menerakan musababnya. Ketika saya sebulan mengajar di SMK Zaidul Ali, saya terhenyak dengan nama facebooknya Ibu Kokom, yaitu Eceng Gondok. Iseng-iseng saya bertanya kenapa harus Eceng Gondok. Bukankah tanaman air itu biasanya hidup di rawa-rawa dan tak bermanfaat apa-apa bagi manusia, justri malah merugikan.

Apa jawabnya? Perempuan yang suka dengan warna ungu, sebuah warna yang identik dengan warna janda tersebut senyum-senyum. Ia menerakan bahwa manusia kerap memandang sebelah mata terhadap salah satu jenis tanaman air tersebut. Baginya Eceng Gondok memiliki filosofi tersendiri dan banyak juga manfaatnya yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia (tapi sayang, mohon maaf sekali, saya tidak bisa menerakan filosfi dan kemanfaatan Eceng Gondok yang Ibu Kokom sebutkan. Maklum, penyakit lupa saya kambuh…hehe).

Lalu, entah kenapa, sebagai sapaan akrab saya kepadanya, agar tampak berbeda dengan guru-guru yang lain, Ibu Kokom kupanggil saja dengan sebutan Ibu Enceng. Kenapa Enceng? Kok Bukan Eceng? Ah, ini hanya persoalan pelafalan saja.

Menurut saya, ucapan kata Eceng lebih berat ketimbang kata Enceng. Lagipula, di lingkungan itu, mayoritas berbahasa Madura. Sementara kata Eceng sendiri bila dibahasa-madurakan memiliki arti yang kurang etis: Eceng dalam bahasa Madura merupakan kata kerja yang memiliki arti ‘bagian bawah kain (pakaian) seperti sarung, sampir, dan lain sebagainya yang ditarik sedikit ke atas; dijinjing.  Contoh: Samper eceng-ceng (Sampir yang dijinjing).

Jadi kata Eceng bila disematkan kepada perempuan rasanya kurang etis, seakan seperti membuka sebuah aurat. Bukankah auratnya perempuan adalah semua anggota badan kecuali muka dan telapak tangan? Oleh karena itu, saya lebih memilih kata Enceng saja sebagai panggilannya.

Kini, saya sudah berhenti mengajar di SMK Zaidul Ali. Panggilan Enceng tak dekat lagi terdengar di telinga. Kendati demikian, tetap saja ia saya panggil Ibu Enceng.

Nah, cerita kedua tentang Ibu Listening. Cerita yang satu ini terjadi di SMK Nurul Mannan. Namanya Ibu Rista Eko Wahyuni (sapaan akrab, Rista), guru Bahasa Inggris asal Ledokombo. Sebagaimana ketika sebulan mengajar di Zaidul Ali dan sukses melahirkan nama Enceng, di SMK Nurul Mannan Juga demikian. Sebulan mengajar di sana, saya melahirkan nama baru untuk Ibu Rista, yaitu Ibu Listening.

Ibu Rista adalah tipikal perempuan yang aktif dan supel. Perempuan yang juga berprofesi sebagai pelayanan jasa pemakaian GPS pada mobil tersebut kerap menyebut kata listening ketika berada di kantor usai mengajar. Dengan gaya yang melapor, ia kerap menceritakan kepada guru yang lain kalau di kelas tadi mengajarkan listening kepada murid-muridnya.

Karena perempuan yang lahir di tahun 1986 tersebut memiliki sifat supel, Ibu Rista merasa enjoy saja bila saya memanggilnya Ibu Listening. Bahkan ia bertanya, mengapa bukan Ibu Reading saja atau sekalian Ibu Writing. Saya jawab saja sekenanya, enakan Ibu Listening… hehe.

Begitulah segelintir kisah tentang Ibu Enceng dan Ibu Listening. Sekali lagi, panggilan ini tidak ada tendensi apapun untuk menjatuhkan derajat nama seseorang. Hal ini murni dilandasi oleh rasa keakraban saja.

Sekian, terima kasih

Tuesday, February 4, 2014

Andeng Karawung


Cerpen: Fandrik Ahmad
(Suara Merdeka, 2 Pebruari 2014)

Kabar itu tersiar cepat, seperti sambaran petir. Bergemuruh dari telinga ke telinga. Sebagian orang merasa selempangan. Sebagian yang lain menganggap peristiwa itu cuma gejala alam biasa. Kabar yang menjadi silang selisih terjadi pada suatu pagi setelah malam harinya hujan turun dengan sangat deras.

Desas-desus memburai saat puluhan pasang mata tengah menyaksikan retakan tanah yang amblas.  Memanjang hampir dua puluh meter dengan kedalaman hampir semeter. Retakan yang melempang di lereng bukit Karawung. Di kertas patok, tanah yang retak masih menjadi bagian dari sawah Juragan Kawi.

Persepsi pertama didalangi oleh Sumar, cucu dari Ki Sarpomo. Ia meramalkan betapa retakan tersebut sebagai pertanda sesuatu yang buruk segera terjadi. Tak pernah ada hujan sederas itu sebelumnya. Telah keluar dari kedalaman setengah meter itu. Ular. Ya, ular! Ular Karawung.

Dalam cerita yang diwariskan secara turun temurun, termaktub bahwa bukit itu dijaga oleh ular raksasa bersisik keemasan. Kedua matanya merah menyala. Bisanya sangat mematikan. Ular itu menjadi beringas bila ada yang berani mengganggu tempatnya. Bila ekornya dikibaskan, ratalah seluruh bukit. Mulutnya dapat menelan bukit dengan sekejap.

Mereka sepenuhnya percaya betapa peristiwa itu sebagai pertanda akan terjadi sesuatu. Namun tak bercokol di kepala mereka musabab dan pertanda apa yang akan terjadi.

Bukit Karawung adalah bukit bertuah—sebagaimana keyakinan para pendahulu. Bukit yang dianggap banyak memberi berkah; menyuburkan tanah dan memujuri panen berlimpah. Di lereng bukit, ada sumber air yang sangat besar. Sumber yang mampu mengairi tanah berhektar-hektar. Sumber yang mampu mengaliri ratusan tenggorokan. Sumber yang mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari; memasak sampai mencuci. Kemarau tak membuat volume air menjadi surut. Hujan pun tak membuatnya pasang.

Di atas sumber, sebuah pohon beringin berdiri kokoh. Banyak rongga di bagian batang pohonnya. Pangkalnya menganga seperti goa. Bila dilihat dari kejauhan—tak ada yang berani dari dekat—tampak di dalamnya sepasang mata menatap tajam. Mengancam. Sepasang mata yang kerap digambarkan sebagai penunggu pohon beringin.
Rimbun dedaunannya sangat digemari aneka macam burung. Sebuah tempat yang nyaman untuk beristirahat, bertelur atau berkembangbiak, sampai berlindung dari segala ancaman. Akar yang menyumbul dari batang bergelantungan menyentuh permukaan air. Sekumpulan ikan tampak melesat di bawah dedaunan kering yang mengambang. Lumut dan belukar pakis di tepian menyiratkan betapa tempat itu tak pernah ada campur tangan manusia.

Dulu, Ki Sarpomo, seorang dukun yang katanya kebal senjata, mati sia-sia di tempat itu. Tubuhnya menjadi hitam lebam, ditemukan tewas mengenaskan. Menurut keterangan, kematiannya disebabkan karena dukun dekil itu membersihkan sumber dari dedauan beringin yang mengambang.

Sejak saat itu tak ada yang berani mengubah posisi apa pun di sekitar sumber. Mereka cuma berani mengubah posisi selokan sepanjang air hendak dialirkan ke persawahan.

Persepsi kedua dipelopori oleh ‘orang luar’. Mereka menilai retakan tersebut merupakan gejala alam biasa. Pelapukan tanah dan tingginya intensitas curah hujan. Bisa pula pergeseran lempeng bumi—tetapi alasan ini tak begitu sepopuler yang pertama karena tak ada tanda-tanda pergeseran lempeng, seperti gempa.

Soal sepasang mata di pangkal beringin, mereka menganggap hanyalah bias cahaya sumber. Sewaktu-waktu tampak, sewaktu-waktu menghilang.

Oleh karena persepsi yang kedua, pembangunan waduk raksasa di sumber itu terus dilakukan. Tentu, yang mengerjakan adalah orang luar yang dipekerjakan sebagai tukang. Mereka memasang target, sebelum intensitas curah hujan mencapai puncaknya pada awal tahun, pembangunan waduk harus selesai. Nantinya, air waduk akan disalurkan ke empat tandon yang akan membagi rata air ke seluruh kelurahan.

Tak sedikit yang kontra adanya pembangunan itu. Lebih-lebih sumber itu sebagai tempatnya. Tetapi, tak ada yang berkutik atau berani menggugat. Bahkan sebagian warga telah meneken. Menyepakati perjanjian tertulis dengan Pak Lurah.

Orang yang paling tidak setuju adalah Sumar. Lelaki berambut gondrong dan berperawakan kaku yang mengaku mendapat wangsit dari Ki Sarpomo.

“Lihat, begini jadinya jika perkataanku tak didengarkan. Ular Karawung sudah keluar!” tukas Sumar. Geram.

“Kenapa bisa?”

“Sampret! Jelas terusik.” Matanya melongo kepada orang yang disebutnya Sampret.

“Bagaimana? Perjanjian sudah terlanjur diteken,” sambung yang lain.

“Kita batalkan saja.”

“Tidak semudah itu. Bagaimana kalau mereka menuntut ganti rugi?”

“Tutup dengan jual tanah saja.”

“Ngawur!”

Raut muka cemas memang tampak ketika peletakan batu pertama. Namun segala bayang-bayang yang telah bercokol di kepala mereka tidak terwujud nyata. Mereka pun tak keberatan dan tak perlu merasa khawatir kembali. Sampai pada pembangunan waduk hampir rampung, sampai pada retakan tanah, sampai pada tanah yang ambruk, perasaan cemas kembali pula bercokol.

Warga di yang tinggal sekitarnya mendapat bantuan renovasi rumah. Rajuan jerami atau daun lontar berganti bangunan batu bata bersusun rapi. Pada siang hari, anak-anak jarang terlihat mandi dan mengusili ikan-ikan kecil di sepanjang selokan. Jarang pula bermain orang-orangan di sawah. Mereka tidur pulas.

Rumah yang nyaman ditinggali membuat mereka lupa satu hal. Betapa andeng yang kerap menudungi bukit setelah turun hujan tak tampak lagi. Andeng enggan minum dan bidadari tak lagi mandi di sana. Mereka tak merasakan kecuali Sumar seorang. Ketiadaan andeng membuat bukit Karawung tak sekeramat dahulu.

Sebagai keturunan orang pintar, terpanggi hatinya mengembalikan kewibawaan Bukit Karawung. Maka muncullah kabar ular penjaga bukit Karawung keluar dari pertapaan. Menggegerkan rumah warga.

***
Di pos ronda, Sumar sedang berpikir keras. Tubuhnya yang mulai ringkih tak dapat memejamkan mata. Apabila ia tak membuktikan adanya ular raksasa itu, maka kabar yang dikuat-kuatkan akan hilang dengan sendirinya. Bisa saja sebutan si tukang bohong bisa menghampirinya. Sementara warga akan kembali bermalas-malasan.

Sumar terus menekur. Sepasang burung hantu bersitatap. Nyamuk tampak ganas karena malam itu ia seorang di pos ronda. Di pikirannya muncul seorang kawan lama. Seseorang yang ahli menjinakkan ular. Barangkali memang sulit mencari ular besar yang sesuai dengan cerita yang sudah tersebar luas. Namun, sebagai seorang pawang, tak akan sulit baginya mengumpulkan aneka macam ular sebanyak mungkin, batinnya.

***
Hujan turun deras sekali. Petir menyambar dahsyat. Angin bertiup kencang. Di dalam rumah, kepala-kepala menatap cemas ruahan air yang seperti ditumpahkan dari bejana raksasa. Jalan setapak tergenang air. Rumput-rumput terendam. Dedaunan kering terbawa arus. Rerantingan bergoyang-goyang seolah tak kuat menahan tikaman air yang begitu runcing dan bertubi-tubi.

Di balik jendela kaca yang buram, Sumar tersenyum lebar. Ia tampak bahagia menyaksikan hujan yang seperti hendak menenggelamkan bukit. Pembendaharaan kata sudah menumpuk sebagai cerita sehabis hujan; kepada warga yang mengindahkan peringatannya.

Tak lama berselang, Sumar kedatangan seorang tamu. Juragan Kawi. Air mukanya pucat. Kalut dibalut basah.

“Pertanda apa ini, Kang?” tanyanya.

Sumar membalasnya dengan senyum sinis. Ia sungguh menikmati kekalutan yang membalut wajah Juragan Kawi, lelaki pertama yang membubuhkan teken perjanjian.

“Aku tidak tahu. Nikmati saja,” tukasnya.

“Nikmati apa?”

“Kamu dan warga yang lain akan segera tahu setelah hujan reda.”

“Lakukan sesuatu, Kang! Lakukan sesuatu! Apa yang mesti kami lakukan?” Juragan Kawi menggoncang-goncangkan tubuh Sumar. Tak sepatah katapun yang terlontar dari mulutnya, kecuali senyum tipis seadanya.

“Kang?!”

Sumar diam sejenak. Membelakangi muka juragan bertopi koboi itu.

“Pukul kentongan. Kumpulkan warga. Suruh mereka keluar dan lemparkan parang ke halaman,” desisnya.

Seketika Juragan Kawi bergegas melaksanakan perintah. Kentongan di pos ronda dipukulnya keras-keras. Tak cukup dengan itu, rumah warga didatanginya satu-sau. Sementara langkah Sumar bersigegas ke sumber memanggul karung goni. Petir menyambar. Tepat di atas langkah kedua lelaki yang berbeda arah itu.

***
Hujan mereda. Juragan Kawi bersama warga mendatangi Sumar. Mereka ingin bertanya pertanda hujan, petir, angin dan perihal parang yang harus dilempar ke halaman.

Namun mereka hanya mendapati rumah antik berdinding bilik dengan sentuhan cat dari arang baterai. Si empu rumah tak ada.  Orang yang berani masuk hanya Juragan Kawi. Ia mengingat-ingat terakhir kali berpisah dengan Sumar. Jangan-jangan, batinnya.

Di atas waduk, Sumar berdiri tegak. Merentangkan kedua tangan seperti Nabi Musa yang hendak membelah lautan dengan tongkatnya. Wajahnya menegadah ke langit. Tak jelas apa yang dirapalkan.

Seekor ular keluar dari karung goni. Merayap pelan dan mematuk kakinya. Sumar tetap menengadahkan kepalanya seakan tak peduli betapa racun ular tadi sangat cepat mengalir ke seluruh pembuluh darahnya.
Sesampai di waduk, Juragan Kawi sempat melihat Sumar berdiri tegak sebelum akhirnya roboh dan terguling ke tanah. Secepat kilat warga yang mengekor Juragan Kawi panik menyaksikan tubuh Sumar mengejang dan berubah kebiruan.

Salah seorang melongo. Antara percaya dan tidak. Betapa di dalam waduk penuh dengan ular. Tidak ada satu pun warga yang tahu darimana ular itu berasal. Dan bagaimana ular itu tiba-tiba berada di dalam waduk.
Meski matanya sudah terpejam dengan tubuh tak lagi mengejang, Sumar sempat membayangkan waduk raksasa itu dibongkar warga. Dalam tidurnya yang panjang, ia melihat andeng kembali menudungi bukit.*

Jember, 14 Januari 2014

Catatan:
Andeng = pelangi. Mitos masyarakat Madura menggambarkan andeng sebagai seekor ular raksasa yang sedang minum di sebuah sumber yang dianggap keramat. Cerita lain menyebutkan, dimana ada andengdisitu bidadari sedang mandi.

Segara



Cerpen: Fandrik Ahmad

(Tabloid Nova, 27 Januari - 02 Pebruari 2014)


Cobalah kau berdiri di bibir pantai ketika muka langit merona jingga. Lemparkan kemampuan sejauh pandanganmu. Kau akan merasakan seberapa dalam perasaan mereka menggantungkan asa pada segara. Kata Epak menjelang keberangkatanya, suatu ketika.

Cobalah kau berdiri di bibir pantai ketika muka langit merona jingga. Tataplah hamparan kerikil batu karang sepanjang pesisir pantai yang ditinggalkan surutnya sagara. Maka kerikil-kerikil itu akan tampak seperti kilauan mutiara oleh bias basah matahari. Kata Epak sebelum memulai mengajariku cara menebar jala, suatu ketika.

Cobalah kau berdiri di bibir pantai ketika muka langit merona jingga. Maknailah mengapa perahu-perahu tertambat rapi membujur seurut segara. Renungi mengapa rumah-rumah berjejel rapi sehadapan dengan segara. Perahu dan rumah itu seperti tangan-tangan pemiliknya ketika berharap dan bersyukur atas karunia yang telah diberikan oleh Tuhan. Kata Epak pada sebuah perjalanan pulang usai memanen rumput laut, suatu ketika.

Setiap sore, Epak mengajakku menikmati pemandangan segara. Tepatnya karena aku selalu mengantarnya bersama Emak, melepas jangkar menuju pemberangkatan. Setiap kali matahari separuh terbenam, selalu ada rasa takut menyambangi. Namun, Epak selalu menenangkan dengan pelukan hangatnya.

“Biasakan dirimu mengakrabi ombak. Kau harus menaklukkannya saat akan menafkahi anak istrimu nanti,” tukasnya. Sejauh itu, aku harus belajar melepas rasa takut itu. Akan ada sesuatu yang indah setelah matahari terbenam, kata Epak.

Tetua kami, Pakde Zawawi kerap bertembang di gubuk beratap daun lontar yang menyorong ke arah laut, di bawah Cemara Udang, tempat nelayan berbagi cerita sebuah petualangan. Petikan tetembangnya yang sangat kusuka: asapok angin, abental ombek.[1]

Epak tersenyum ketika aku mengatakan nelayan itu pemburu matahari. Apa yang kuucap diakarkan pada mereka yang berangkat pada senjahari dan kembali pada dinihari. Mereka mengejar matahari yang terbenam ke tengah segara. Buktinya, mereka akan kembali setelah matahari kembali ke permukaan. Saat kembali itulah aku seperti melihat mereka menenteng matahari untuk dipersembahkan pada anak istrinya.

“Matahari itu besar. Mana mungkin perahu kecil Epak bisa menampungnya,” senyum lebar sebangganya. “Kalau kau sudah besar, buatkan Epak perahu yang sangat besar.”

“Sebesar perahu Nabi Nuh?” tanyaku.

“Lebih Besar lagi,” tukasnya bergegas.

Akupun melambaikan tangan. Melepas perahu yang tampak semakin mengecil dalam pelayaran.

***
Aku tinggal di sebuah pulau kecil di kabupaten kepulauan yang tidak mungkin ditemukan di peta, meski hanya berupa titik. Pulau Apung. Di sini, tak ada pekerjaan lain selain melaut. Nyenyar ikan sudah tak bisa dibedakan dengan amis keringat. Sebagai anak yang terlahir di pulau ini, aku sudah tahu masa depanku seperti apa.
Pada sebuah malam, suara emak dan Epak terdengar mengeras. Tak biasa. Ada sesuatu yang tak sepaham. Aku tak tahu pasti soal apa yang dibahas. Cuma namaku kerap disebut-sebut.

“Ia harus maju,” kata Epak.

“Alaah, maju apanya. Kalau keluar dari sini, baru bisa maju. Toh, kalau keluar hanya untuk kembali, apanya yang mau maju,” bantah emak.

“Biarkan saja sekalian Dulla tak kembali.”

“Dulla yang maju, aku yang sengsara!” Suara emak serak namun keras. Aku menutup bantal sekuatnya pada kedua kupingku. Namun, suara keras itu dapat menembusnya.

“Dulla akan kembali. Bukan selamanya meninggalkan kita.”

Aku keluar dari pintu belakang. Berlari sekencang anak rusa melewati satu persatu Cemara Udang. Sampai di mana kakiku harus berhenti? Masih belum menemukan satu titik cahaya di mana seharusnya aku berhenti. Sayup-sayup suara saronen[2] menuntun langkahku pada sebuah cahaya teplok di gubuk daun lontar tepi pantai. Pakde Zawawi tengah lebur bersama tetembangnya.

Aku langsung naik. Cemas terus membayangi. Tembang itu berhenti.

“Ada apa kau, Dul?”

“Emak dan Epak bertengkar,” aduku. Pakde menegadahkan mukanya pada langit. Bulan terlihat sempurna.

“Lihat, Dul. Kalau bulan bundar seperti itu, pertengkaran keluarga memang sering terjadi. Apalagi kalau bukan soal uang. Kalau bulan bundar seperti itu, ikan-ikan pada melihat jatuhnya jala di atas mereka sehingga memudahkan untuk kabur,” jelasnya. Tembang itu kembali berbunyi.

Angin terasa keras menampar kulit.

***
Aku kembali. Kembali pada segara. Di dalam kepala, baju putih dan celana pendek berwarna merah yang tak lain adalah seragam sekolah SD, merupakan baju yang kukenakan ketika meninggalkan Epak dan Emak. Bukan tak ada yang lain. Hanya saja, seragam sekolah itu menjadi standrart kepantasan ketimbang baju yang lain: mentereng.

Ternyata sudah berkisar sepuluh tahun pertengkaran itu terjadi. Pertengkaran yang kemudian membuatku harus angkat kaki seperti perahu yang tampak kecil dalam pelayaran. Pertengkaran itu sudah kubayar tuntas. Tinggal membuktikan kalau aku sekarang dapat membuat perahu yang lebih besar dari Pinisi, Dewa Ruci, sampai perahu Nabi Nuh sekalipun.

Inilah kedatangan pertamaku setelah menyelesaikan S1 di bidang kelautan. Tak ada yang berubah. Pohon Cemara Udang, gubuk daun lontar dan ngengat ikan tetap menjadi ciri khasnya. Beberapa nelayan yang masih kukenali seperti sudah menghapusku dari daftar ingatan mereka. Kang Paimin yang anti-sekolah tak mengenaliku kalau bukan aku yang memulai.

Beh, sudah jadi insinyur kamu, Cong?”

“Apa itu insiyur, Kang? Aku tak ngerti.” Candaku.

Lha, itu. Yang pakai dasi dan helm kuning. Yang kerjanya nyuruh-nyuruh orang kerja.” Tuturnya polos. Tawaku lepas. Teringat saat Kang Paimin menggerutu sendiri ketika melihat pembangunan dermaga di pulau seberang.

“Aku tetap anak segara, Kang. Ndak berubah.”

Oalah. Sudah ketemu Emakmu?”

“Belum. Baru tiba.”

“Ya, sudah. Sana. Samperin Emakmu. Kasihan.” Pundakku ditepuknya.

Aku bersigegas. Ransel di pundak terasa ringan saat angin melabrak. Amplop cokelat setebal setengah senti kupegang erat. “Nitip ini. Sampaikan salam saya,” kata pak Prayogi, orang yang pernah ditolong Epak saat insiden jatuhnya pesawat terbang di daerah perairan yang aku tinggali. Butuh waktu tiga hari untuknya bangkit dari ketidaksadaran. Sebagai bentuk balas jasa, Pak Prayogi yang tak punya anak sampai menginjak usia tiga puluh delapan tahun, meminta restu barang sejenak mengambilku sebagai anak asuh. Setidaknya, menyekolahkanku sampai lulus sarjana. Emak tak merestui. Namun, Epak tak sependapat. Bila Emak melihat untuk hari ini, Epak melihat untuk hari esok.

Oh, punggung itu sudah tak tegap lagi. Senja terlalu merah di mata Emak. Ia hampir tak mengenaliku. Tangannya menggerayangi permukaan mukaku. Memastikan kebenaran atas pandangan yang menumpul. Ada bintik rindu di pelupuk matanya. Sementara rinduku sudah berubah menjadi titik-titik air melumasi permukaan tangannya.

“Kang! Dulla datang. Dulla kembali, Kang,” teriaknya. Sembab di matanya mengukir langit. Kuat emak memelukku. Pandangan kupasang ke segala arah. Menanti di mana orang yang dipanggil emak akan muncul. “Masuklah. Kau pasti lelah.” Emak mengikat tanganku kuat-kuat. Sampir lorek dijinjing setinggi lutut sekedar menyegerakan langkahnya menuju lincak.

“Epak di mana?” tanyaku merebahkan tubuh di atas lincak.

“Kau mirip Epakmu.” Emak terus menatapku.

“Epak di mana, Mak?”

“Belum kembali dari pelayarannya. Kalau saja Epakmu menuruti ibu, tentu sekarang masih di sini,” desisnya. Kupikir, air mata yang bertambah deras itu ejawantah rindunya kepadaku. Namun, tafsirku salah.

Bibir emak gemetar mengulang kisah yang sejatinya tak ingin diulangnya sekedar untuk memberi pemahaman betapa sekarang aku sudah tak akan bertemu Epak. Epak menghilang dalam pelayaran. Diterjang ombak besar. Nasib yang paling nahas dibanding empat rekannya. Kang Parjo selamat setelah ditemukan warga esok harinya. Tiga hari kemudian, ombak mengembalikan Kang Sanima dan Kang Malap yang sudah tak bernyawa.

Hari terkumpul menjadi minggu. Beralih pada bulan. Emak dan para nelayan sudah mencari kabar Epak ke mana-mana. Sepanjang bibir pantai sudah dikelilingi. Menitip kabar kepada tetangga di pulau sebelah sudah dilakukan. Sampai mereka menyimpulkan kalau segara belum bersedia mengembalikannya.

Nyengat aroma rumput laut setengah kering, menghadirkan aromah tubuh Epak. Ingatan tentangnya samar, namun sakit di palung hati tak tersamarkan.

***
Aku berdiri di bibir pantai, membawa setungkus kenangan dan sekeranjang kemboja. Angin berdesir. Ombak berpintalan. Para nelayan menenteng jaring dengan segepok harap tanpa tanya. Anak dan istri mengantar mereka menemui segara. Sejatinya, bukan kehendakku menaburkan kemboja ke segara.

“Kenapa harus di laut?”

“Biar segara bersedia mengembalikannya,” Hanya itu jawabannya. Sumbang. Tak memuaskan. Aku bukan tak mau menghormati Epak. Mendoakannya dalam simpul tawassul. Hanya saja, cara semacam ini membuatku terasa aneh melihat yang lain berziarah ke kuburan.

Matahari separuh ditelan laut, saat-saat di mana Epak mengajakku bernyanyi, nenek moyangku seorang pelaut. Buih terus menjilati telapak kaki. Aroma asin dan amis, ah, terlalu menyiksa.  Aku tak bisa melakukannya. Muka langit yang merona jingga menjadi alasan. Terlalu banyak cerita-cerita yang masih belum tersampaikan. Aku beringsut pergi.

“Dulla…” Suara itu terdengar pelan. Barangkali keras, namun kalah keras dengan suara ombak. Aku mencari sumber suara. Tak ada sesiapa.

“Dulla…” Suara itu semakin mengeras. Aku berusaha mencarinya. Menoleh ke kanan dan ke kiri. Samar-samar seseorang berjalan ke arahku. Paras teduh. Senyum mengembang. Langkahnya ringan terpercik air. Perlahan, senyum itu menampar ingatan. Senyum yang selalu terkembang di bawah gubuk daun lontar.

“Epakmu menitipkan ini?” ia menjulurkan tangannya.

“Saronen?”

“Coba tiup.”

“Aku tak bisa memainkannya,” kilahku.

Pakde Zawawi mengambil alih saronen dan memainkannya. Tembang meliuk-liuk di segara. Betapa asapok angin, abental ombek menyiratkan makna yang sangat dalam. Menyumbulkan senyum yang hilang.[]

Jember, 24 September 2013

Fandrik Ahmad, cerpenis sekaligus jurnalis yang banyak menulis cerita di sejumlah media. Kini bermukim di Jember, Jawa Timur. Telp: 082 331 021 747.


[1] Asapok angin abental ombek (berselimut angin, berbantal ombak), filosofi hidup masyarakat pesisir Madura.

[2] Saronen: alat musik tiup khas Madura.