Ketika kau mencinta, kau selalu merasa dia ada. Sejauh apa kau tetap yakin dia dekat?
Seberkas
cahaya pas sekali rebah di mukaku. Kedua mataku menyipit sendiri. Aku
jelas terkejut. Kau pasti
juga paham mengapa aku terkejut. Ya, cahaya itu menandakan kalau kita bangun
kesiangan. Tetapi peristiwa semacam itu kau anggap sebagai adegan lucu;
bergelayut manja sembari berucap, “Sudahlah, tak usah kerja. Kita teruskan…” Lalu
aku membalas pelukanmu.
Tetapi
ketika aku bangun, kau sudah tak berada di tempat tidur. Satu pekerjaan telah
kaulupakan. Membangunkanku. Lupakah? Di kamar
mandi, bak air kosong melompong. Kukira kau lupa membuka kran air atau memang tak
mandi dulu sebelum berangkat. Ah,
sejak kapan kau jadi pelupa, An?
Awalnya,
keyakinan itu tak sungguh begitu. Dugaku, pekerjaan telah memburumu. Tetapi meja makan yang dibiarkan kosong
membuatku bertanya lagi: Benar kau menjadi pelupa?
An, aku kelimpungan memakai dasi
karena kau yang biasa memakaikannya. Aku memanggilmu berkali-kali, tapi kau tak datang. Aku
ke dapur, tak ada kau di sana. Aku ke belakang, di sana kau tak ada juga. Aku sudah mencarimu ke mana-mana.
Tanah
pot bunga di beranda terlihat kering. Kukira kau sengaja tak menyiraminya karena seminggu lalu kau hendak mengganti bunga-bunga itu dengan yang baru. Semuanya. Kesimpulan sudah kubuat. Secarik surat kutulis karena tidak mungkin menunggumu terlalu lama.
Begini isi suratnya: An, aku berangkat. Setelah pulang nanti, aku ingin langsung makan masakanmu. Sebagai
bonus, aku akan bawakan buku
dongeng yang bagus.
Entah, aku
seperti sangat lama tidak makan masakanmu. Masakan yang bagiku tiada tandingannya. Masakan
yang menjadi senjata untuk membentuk seorang yang rindu pulang.
“Cukup
dengan ini, kau tak akan punya alasan berpaling dariku,” godamu.
Surat
itu kutempel di muka pintu. Tempat yang sangat cocok untuk menyapamu ketika
pulang nanti. Tingginya kuukur dengan tinggi mukamu. Aku harap sebelum masuk
rumah kau tak gelisah dan mencariku sebagaimana aku mencarimu. Aku tahu betapa pikiran
yang gelisah akan menguras banyak tenaga. Aku ingin memanjakanmu karena aku mencintaimu,
An.
An,
aku memilih jalan kaki kendati sudah terlambat masuk kantor. Tujuannya cuma satu,
dongeng yang kujanjikan itu. Aku ingin membelikanmu buku dongeng dan
menyebutkan bahwa buku itu kubeli di sebuah toko buku yang sangat bagus dan terkenal
di kota ini. Padahal, aku membelinya dari penjual buku keliling yang biasa
mangkal di sepanjang trotoar menuju kantor.
Sejatinya,
tempat pembelian buku tak penting bagimu. Sama halnya apakah buku itu stok baru
atau stok lama, berlabel best seller atau most wanted. Yang terpenting
adalah ceritanya menghibur. Namun, satu hal yang perlu diketahui bahwa hukum
pasar mengatakan: semakin tinggi harga barang, maka akan semakin tinggi
kualitasnya. Sedangkan tempat akan mengangkat derajat dari barang itu.
Tuhan Maha Adil, ya, An? Dia ciptakan orang yang suka berdongeng untuk orang yang
suka mendengarkan dongeng.
Waktu SMA dulu, saat kata “sahabat” sedikit lebih dekat. Kau berdongeng tentang seorang putri yang kesepian bermimpi menyentuh awan, hingga dia berdoa agar Tuhan mengirimkan seorang yang bisa mengantarnya ke awan. Lalu,
seekor unggas bersayap seketika muncul dari tubuhnya sendiri. Bukan. Tubuhmulah sebenarnya yang
tumbuh sayap. Aku cukup ingat dongeng itu, An. Dongeng dengan gaya khas
gestur, wajah, dan tutur ceritamu. Sayang, aku tak pernah lengkap untuk
mengingatnya.
Sebutan populer yang terlalu sering kudengar
betapa sekarang kita berada di jantung globalisasi; sebuah zaman ketika
definisi jarak menjadi tak terlalu berarti. Semuanya dituang dalam sebuah
gelas, dengan sebuah sendok yang terus mengaduk tak kenal lelah, hanya berputar
dalam satu pusaran. Tetapi zaman yang dikatakan serba rasional ini kau larungkan
dengan cerita-ceritamu yang absurd, penuh khayal, bahkan bisa dibilang konyol. Yah,
begitulah caramu menertawakan dunia ini.
Sial
hari itu, An. Tak satu pun kutemui penjual buku bekas yang mangkal. Mataku cuma
menangkap penjual korang bersandar di bawah lampu lalu lintas, menunggu warna
merah untuk kemudian berteriak menjual berita yang menurutnya tentu sangat
menarik sehingga perlu diteriakkan: gosip, korupsi, kriminal, atau yang lainnya.
Tadi,
saat lewat di depan toko bangunan milik Koko Liem, hanya ada pedagang nasi
pecel dan rokok plontongan. Ya, adanya di simpang tiga itu. Bagaimana kalau aku
tak mendapatkan buku dongeng? Ah, sudah terlanjur kukatakan. Apakah aku mesti beli
koran saja? Ah, tidak, An. Tidak. Aku tak percaya berita di koran-koran
itu. Lebih baik menutup mata saja seharian bila harus membaca koran, atau marahi
saja aku habis-habisan ketimbang harus membeli koran murahan dengan berita—yang
menurutku—juga murahan.
***
Seorang
satpam tengah duduk di depan gerbang. Di parkiran, kendaraan karyawan tak banyak.
Jawaban untuk mengantisipasi pertanyaan satpam yang pasti akan menyambutku
sudah kupersiapkan. Semoga pertanyaannya berakhiran ‘ya’ sehingga aku hanya
memberikan isyarat saja.
Satpam
itu langsung berdiri. Aku menyetel dasi. Dalam kondisi apa pun, kita harus
terlihat berwibawa, sifat yang harus dimiliki lelaki. Kau yang mengatakan itu,
An. Padahal kau perempuan.
“Selamat
pagi, Pak? Apa kabar?” ucapnya ramah.
“Baik.”
Tatapannya lain dari yang biasa.
“Senang
bisa bertemu bapak hari ini. Silakan masuk,” satpam tambun itu membuka sebelah
engsel gerbang dan mendorongnya sedikit. Berderek. Terbuka.
Aku
tak banyak bicara. Melempar senyum sebentar dan berlalu. Jawaban yang sudah
kusiapkan sudah kubuang ke tong sampah. Tentu, satpam itu tak akan melihatnya
karena yang mengerti aku hanyalah kau, An.
Aku
bergegas, ke ruangan tempatku bekerja. Terlalu hangat sambutan mereka untuk
orang yang terlambat. Satu yang kulegakan hari itu. Tak ada yang berbisik kalau
bos hari itu bertanya aku. Tetapi, satu yang tak kumengerti. Semua mata seperti menitipkan iba. Lalu salah satu di antara mereka yang bernama Amdis merangkul pundakku.
“Kami ikut berduka cita atas kepergiannya,” Sontak dahiku berkerut.
“Maksudmu?” Kupandangi lekat lelaki berambut ijuk
pendek dan bertubuh karang itu.
Tiba-tiba
Bram datang dan menarik tangannya sebelum ia menjawab.
“Jangan
ganggu,” begitu sepertinya ia berbisik pada Amdis.
“Dia
hanya salah paham. Ini pekerjaanmu. Bos tadi menitipkannya untuk diselesaikan
hari ini.”
Berkas-berkas
itu seperti nyengir ketika Bram menyodorkannya. Apakah ini bentuk hukuman?
Entahlah, semoga saja nanti tidak pulang terlambat.
Siapa yang berduka? Siapa pula yang pergi? Ah,
sudahlah! Tidak penting untuk dipikirkan. Pikirkan dulu pekerjaan ini biar nanti pulang lebih cepat. Aku sudah tidak sabar untuk makan
masakanmu, An.
***
Sore
itu, hujan sangat deras. Jalanan menjelma bayangan yang basah. Kendaraan menyemut.
Gelombang air pada genangan yang dilindas oleh roda-roda, menaruh khawatir.
Jangan-jangan kau terjebak macet. Petir berkilat-kilat mengubah rasa khawatir
menjadi cemas—kendati khawatir dan cemas tak beda jauh, tetap ada jarak antara
kedua kata itu.
Semoga
kau masih sibuk dengan tugas-tugasmu di kantor. Atau semoga kau sudah sampai di
rumah. Intinya, kau tak di perjalanan pulang. Aku tak kuasa membayangkan apabila
kau terjebak macet apalagi berteduh menunggu reda saat petir meraja.
***
Sudah setengah tujuh. Satu jam lagi. Satu
jam lagi kupastikan pekerjaanku selesai. Aku janji jam delapan nanti aku sudah
berada di rumah. Duduk semeja sehadapan sambil menyeruput sup andalanmu itu.
Sabar, ya, sayang!
***
Sial,
An. Di Halte jalan Wonokromo, hujan membuatku kembali cemas. Marah sendiri. Aku
menggigil bukan kedinginan, hanya tak sabar menunggu reda. Kutasbihkan kalimat
yang kerap kauucap ketika hujan. Barangkali bisa memupuk kesabaran menunggu
reda: hujan itu indah, hujan itu romantis, hujan itu menyegarkan, hujan itu
beraroma, hujan itu anugerah.
Dan, hujan
akan segera usai, hanya menyisakan rintik kecil. Kesabaran sudah benar-benar
tandas. Cuma rintik segini akan hilang dengan semangkuk Sup. Aku yakin itu, An.
Tembus
saja.
***
Pesan yang
kutempelkan tergolek di lantai. Tulisannya tak bisa dibaca lagi karena resapan
air. Tak apalah. Toh, melihatnya saja rasanya sudah lega. Sesaat rasa
berbunga-bunga raib seketika mendapati meja makan
bersih
tanpa noda makanan. Kau
tak masak? Kau marah? Kau ada di rumah?
Kupanggil-panggil,
tak ada. Ke mana sebenarnya kau, An?
Kadang,
aku cuma butuh sendiri, melakukan sesuatu yang kusukai sekali waktu. Semacam
kebebasan. Tanpa rutinitas rumah tangga yang menjemukan. Tanpa catatan belanja
yang kaulaporkan untuk kutukar dengan uang. Tapi saat ini aku tak punya alasan
untuk mengatakan itu. Aku butuh kamu, An! Tidak tahukah kau sejak
bangun dari tidur, aku merasa yang kurang dalam hidupku?
Aku ingat
mimpiku tadi malam. An, aku melihatmu tidur dalam peti kaca. Kau begitu cantik,
tapi aku belingsatan karena kau
terpejam dan tak mau bicara denganku. Mereka tidak mempedulikan teriakku; membawamu jauh memunggungi mataku. Tak ada lagi tatapan paku itu.
Aku takut
sekali, An. Aku takut
kau benar-benar pergi. Larut malam kau belum pulang juga. Ah, kau,
An. Rasanya aku ingin tidur selamanya.
An, bila kau sudah pulang, tolong bangunkan aku. aku hanya ingin memelukmu. Dengan begitu aku bisa memastikan bahwa kau baik-baik saja. Cepatlah pulang, An.
Semoga kau membaca suratku ini,
nanti.
***
Selalu ada yang akan kita tinggalkan. Jiwa;
bukan ruang kosong…
Karena
hujan, bunga di beranda tak jadi layu. Bahkan bunga itu berani membuka
kelopaknya. Harapan lelaki yang rupanya tak lelap di pembaringan mungkin sama
seperti harapan kelopak bunga itu: menunggu sesungging senyum seseorang saat
pulang nanti.
Di atas laci kecil, di bawah temaram lampu tidur, tergeletak surat kabar yang belum diganti selama
seminggu.
Headline:
Tragedi Jatuhnya Pesawat Terbang.
Jember,
25 Mei 2013
0 comments:
Post a Comment