Friday, August 23, 2013

An!


(Majalah Femina, 13-19 Juli 2013)
Ketika kau mencinta, kau selalu merasa dia ada. Sejauh apa kau tetap yakin dia dekat?
Seberkas cahaya pas sekali rebah di mukaku. Kedua mataku menyipit sendiri. Aku jelas terkejut. Kau pasti juga paham mengapa aku terkejut. Ya, cahaya itu menandakan kalau kita bangun kesiangan. Tetapi peristiwa semacam itu kau anggap sebagai adegan lucu; bergelayut manja sembari berucap, “Sudahlah, tak usah kerja. Kita teruskan…” Lalu aku membalas pelukanmu.
Tetapi ketika aku bangun, kau sudah tak berada di tempat tidur. Satu pekerjaan telah kaulupakan. Membangunkanku. Lupakah? Di kamar mandi, bak air kosong melompong. Kukira kau lupa membuka kran air atau memang tak mandi dulu sebelum berangkat. Ah, sejak kapan kau jadi pelupa, An?
Awalnya, keyakinan itu tak sungguh begitu. Dugaku, pekerjaan telah memburumu. Tetapi meja makan yang dibiarkan kosong membuatku bertanya lagi: Benar kau menjadi pelupa?
An, aku kelimpungan memakai dasi karena kau yang biasa memakaikannya. Aku memanggilmu berkali-kali, tapi kau tak datang. Aku ke dapur, tak ada kau di sana. Aku ke belakang, di sana kau tak ada juga. Aku sudah mencarimu ke mana-mana.
Tanah pot bunga di beranda terlihat kering. Kukira kau sengaja tak menyiraminya karena seminggu lalu kau hendak mengganti bunga-bunga itu dengan yang baru. Semuanya. Kesimpulan sudah kubuat. Secarik surat kutulis karena tidak mungkin menunggumu terlalu lama.
Begini isi suratnya: An, aku berangkat. Setelah pulang nanti, aku ingin langsung makan masakanmu. Sebagai bonus, aku akan bawakan buku dongeng yang bagus.
Entah, aku seperti sangat lama tidak makan masakanmu. Masakan yang bagiku tiada tandingannya. Masakan yang menjadi senjata untuk membentuk seorang yang rindu pulang.
“Cukup dengan ini, kau tak akan punya alasan berpaling dariku,” godamu.
Surat itu kutempel di muka pintu. Tempat yang sangat cocok untuk menyapamu ketika pulang nanti. Tingginya kuukur dengan tinggi mukamu. Aku harap sebelum masuk rumah kau tak gelisah dan mencariku sebagaimana aku mencarimu. Aku tahu betapa pikiran yang gelisah akan menguras banyak tenaga. Aku ingin memanjakanmu karena aku mencintaimu, An.
An, aku memilih jalan kaki kendati sudah terlambat masuk kantor. Tujuannya cuma satu, dongeng yang kujanjikan itu. Aku ingin membelikanmu buku dongeng dan menyebutkan bahwa buku itu kubeli di sebuah toko buku yang sangat bagus dan terkenal di kota ini. Padahal, aku membelinya dari penjual buku keliling yang biasa mangkal di sepanjang trotoar menuju kantor.
Sejatinya, tempat pembelian buku tak penting bagimu. Sama halnya apakah buku itu stok baru atau stok lama, berlabel best seller atau most wanted. Yang terpenting adalah ceritanya menghibur. Namun, satu hal yang perlu diketahui bahwa hukum pasar mengatakan: semakin tinggi harga barang, maka akan semakin tinggi kualitasnya. Sedangkan tempat akan mengangkat derajat dari barang itu.
Tuhan Maha Adil, ya, An? Dia ciptakan orang yang suka berdongeng untuk orang yang suka mendengarkan dongeng.
Waktu SMA dulu, saat kata “sahabat” sedikit lebih dekat. Kau berdongeng tentang seorang putri yang kesepian bermimpi menyentuh awan, hingga dia berdoa agar Tuhan mengirimkan seorang yang bisa mengantarnya ke awan. Lalu, seekor unggas bersayap seketika muncul dari tubuhnya sendiri. Bukan. Tubuhmulah sebenarnya yang tumbuh sayap. Aku cukup ingat dongeng itu, An. Dongeng dengan gaya khas gestur, wajah, dan tutur ceritamu. Sayang, aku tak pernah lengkap untuk mengingatnya.
Sebutan populer yang terlalu sering kudengar betapa sekarang kita berada di jantung globalisasi; sebuah zaman ketika definisi jarak menjadi tak terlalu berarti. Semuanya dituang dalam sebuah gelas, dengan sebuah sendok yang terus mengaduk tak kenal lelah, hanya berputar dalam satu pusaran. Tetapi zaman yang dikatakan serba rasional ini kau larungkan dengan cerita-ceritamu yang absurd, penuh khayal, bahkan bisa dibilang konyol. Yah, begitulah caramu menertawakan dunia ini.
Sial hari itu, An. Tak satu pun kutemui penjual buku bekas yang mangkal. Mataku cuma menangkap penjual korang bersandar di bawah lampu lalu lintas, menunggu warna merah untuk kemudian berteriak menjual berita yang menurutnya tentu sangat menarik sehingga perlu diteriakkan: gosip, korupsi, kriminal, atau yang lainnya.
Tadi, saat lewat di depan toko bangunan milik Koko Liem, hanya ada pedagang nasi pecel dan rokok plontongan. Ya, adanya di simpang tiga itu. Bagaimana kalau aku tak mendapatkan buku dongeng? Ah, sudah terlanjur kukatakan. Apakah aku mesti beli koran saja? Ah, tidak, An. Tidak. Aku tak percaya berita di koran-koran itu. Lebih baik menutup mata saja seharian bila harus membaca koran, atau marahi saja aku habis-habisan ketimbang harus membeli koran murahan dengan berita—yang menurutku—juga murahan.
***
Seorang satpam tengah duduk di depan gerbang. Di parkiran, kendaraan karyawan tak banyak. Jawaban untuk mengantisipasi pertanyaan satpam yang pasti akan menyambutku sudah kupersiapkan. Semoga pertanyaannya berakhiran ‘ya’ sehingga aku hanya memberikan isyarat saja.
Satpam itu langsung berdiri. Aku menyetel dasi. Dalam kondisi apa pun, kita harus terlihat berwibawa, sifat yang harus dimiliki lelaki. Kau yang mengatakan itu, An. Padahal kau perempuan.
“Selamat pagi, Pak? Apa kabar?” ucapnya ramah.
“Baik.” Tatapannya lain dari yang biasa.
“Senang bisa bertemu bapak hari ini. Silakan masuk,” satpam tambun itu membuka sebelah engsel gerbang dan mendorongnya sedikit. Berderek. Terbuka.
Aku tak banyak bicara. Melempar senyum sebentar dan berlalu. Jawaban yang sudah kusiapkan sudah kubuang ke tong sampah. Tentu, satpam itu tak akan melihatnya karena yang mengerti aku hanyalah kau, An.
Aku bergegas, ke ruangan tempatku bekerja. Terlalu hangat sambutan mereka untuk orang yang terlambat. Satu yang kulegakan hari itu. Tak ada yang berbisik kalau bos hari itu bertanya aku. Tetapi, satu yang tak kumengerti. Semua mata seperti menitipkan iba. Lalu salah satu di antara mereka yang bernama Amdis merangkul pundakku.
“Kami ikut berduka cita atas kepergiannya, Sontak dahiku berkerut.
“Maksudmu?” Kupandangi lekat lelaki berambut ijuk pendek dan bertubuh karang itu.
Tiba-tiba Bram datang dan menarik tangannya sebelum ia menjawab.
“Jangan ganggu,” begitu sepertinya ia berbisik pada Amdis.
“Dia hanya salah paham. Ini pekerjaanmu. Bos tadi menitipkannya untuk diselesaikan hari ini.”
Berkas-berkas itu seperti nyengir ketika Bram menyodorkannya. Apakah ini bentuk hukuman? Entahlah, semoga saja nanti tidak pulang terlambat.
Siapa yang berduka? Siapa pula yang pergi? Ah, sudahlah! Tidak penting untuk dipikirkan. Pikirkan dulu pekerjaan ini biar nanti pulang lebih cepat. Aku sudah tidak sabar untuk makan masakanmu, An.
***
Sore itu, hujan sangat deras. Jalanan menjelma bayangan yang basah. Kendaraan menyemut. Gelombang air pada genangan yang dilindas oleh roda-roda, menaruh khawatir. Jangan-jangan kau terjebak macet. Petir berkilat-kilat mengubah rasa khawatir menjadi cemas—kendati khawatir dan cemas tak beda jauh, tetap ada jarak antara kedua kata itu.
Semoga kau masih sibuk dengan tugas-tugasmu di kantor. Atau semoga kau sudah sampai di rumah. Intinya, kau tak di perjalanan pulang. Aku tak kuasa membayangkan apabila kau terjebak macet apalagi berteduh menunggu reda saat petir meraja.
***
Sudah setengah tujuh. Satu jam lagi. Satu jam lagi kupastikan pekerjaanku selesai. Aku janji jam delapan nanti aku sudah berada di rumah. Duduk semeja sehadapan sambil menyeruput sup andalanmu itu. Sabar, ya, sayang!
***
Sial, An. Di Halte jalan Wonokromo, hujan membuatku kembali cemas. Marah sendiri. Aku menggigil bukan kedinginan, hanya tak sabar menunggu reda. Kutasbihkan kalimat yang kerap kauucap ketika hujan. Barangkali bisa memupuk kesabaran menunggu reda: hujan itu indah, hujan itu romantis, hujan itu menyegarkan, hujan itu beraroma, hujan itu anugerah.
Dan, hujan akan segera usai, hanya menyisakan rintik kecil. Kesabaran sudah benar-benar tandas. Cuma rintik segini akan hilang dengan semangkuk Sup. Aku yakin itu, An.
Tembus saja.
***
Pesan yang kutempelkan tergolek di lantai. Tulisannya tak bisa dibaca lagi karena resapan air. Tak apalah. Toh, melihatnya saja rasanya sudah lega. Sesaat rasa berbunga-bunga raib seketika mendapati meja makan bersih tanpa noda makanan. Kau tak masak? Kau marah? Kau ada di rumah?
Kupanggil-panggil, tak ada. Ke mana sebenarnya kau, An?
Kadang, aku cuma butuh sendiri, melakukan sesuatu yang kusukai sekali waktu. Semacam kebebasan. Tanpa rutinitas rumah tangga yang menjemukan. Tanpa catatan belanja yang kaulaporkan untuk kutukar dengan uang. Tapi saat ini aku tak punya alasan untuk mengatakan itu. Aku butuh kamu, An! Tidak tahukah kau sejak bangun dari tidur, aku merasa yang kurang dalam hidupku?
Aku ingat mimpiku tadi malam. An, aku melihatmu tidur dalam peti kaca. Kau begitu cantik, tapi aku belingsatan karena kau terpejam dan tak mau bicara denganku. Mereka tidak mempedulikan teriakku; membawamu jauh memunggungi mataku. Tak ada lagi tatapan paku itu.
Aku takut sekali, An. Aku takut kau benar-benar pergi. Larut malam kau belum pulang juga. Ah, kau, An. Rasanya aku ingin tidur selamanya.
An, bila kau sudah pulang, tolong bangunkan aku. aku hanya ingin memelukmu. Dengan begitu aku bisa memastikan bahwa kau baik-baik saja. Cepatlah pulang, An.
Semoga kau membaca suratku ini, nanti.
***
Selalu ada yang akan kita tinggalkan. Jiwa; bukan ruang kosong…
Karena hujan, bunga di beranda tak jadi layu. Bahkan bunga itu berani membuka kelopaknya. Harapan lelaki yang rupanya tak lelap di pembaringan mungkin sama seperti harapan kelopak bunga itu: menunggu sesungging senyum seseorang saat pulang nanti.
Di atas laci kecil, di bawah temaram lampu tidur, tergeletak surat kabar yang belum diganti selama seminggu.
Headline: Tragedi Jatuhnya Pesawat Terbang.
Jember, 25 Mei 2013

0 comments: