Sunday, January 8, 2012

Jejak Ziarah Maskinah

Langit lembayung. Sore yang bersih dari noda-noda awan. Seraut wajah perempuan tinggi berwajah tirus memintal senja. Sepenuhnya, ia tahu apa yang harus segera dilakukan, mengangkat kenangan tinggi-tinggi sebagai rasa abdi diri seorang istri. Setiap orang memiliki cara berbeda untu mengekspresikan cintanya.

“Kang,” begitulah kata Maskinah menyapa senja.

Berangkatlah perempuan paruh baya itu dengan keranjang berisi bunga dan kenanga yang selalu menemani ziarahnya dalam sepekan. Selembar kerudung bordir putih tipis menyembunyian rambutnya agar tak ditebar angin nakal. Ini adalah perjalanan suci. Kesetiaan, kecintaan, kasih sayang, dan rasa abdi akan ia tebarkan, terselip pada aneka harum bunga dan kenanga di keranjang itu.


Tibalah pada satu titik nadzir tentang kisah hidupnya. Ketulusan dan kesetiaan yang dibalas dengan perasaan tak sebanding dengan pahit buah maja, harus dicecap di usia belia. Namun, keikhlasan tetap akan disuburkan demi menjaga harkat dan martabat seorang suami.

Perahu-perahu terkapar, membujur seurut laut, tengah dilewatinya di tepi muara. Maskinah menatap panjang. Sepanjang perasaanya menjangkau sesuatu yang telah terjadi di atas perahu itu; terkenang saat bercinta di atasnya. Layaknya sepasang gurami di dalam jaring, begitulah ia dan Indrajid saling melekat erat tanpa seorang pun yang mengetahui. Maskinah membuktikan korban setianya pada Indrajid. Ketulusan cinta tak berpikir tentang sebuah norma dan adat.

Lalu, bersegera Maskinah mempercepat langkah. Cukuplah cerita yang bersarang di batok kepalanya sampai di situ. Cukuplah cerita itu mengelupas seperti cat pada kayu perahu yang tergerus dikikis air asin. Ia tak ingin air mata mengamini perjalanannya.
“Kurang apa aku, Kang,” senyum mengembang di bibir berkeruk. Di akar-akar bakau, ia selipkan masa lalu yang masih tertancap condong.

Tibalah ia di sepetak tanah yang cukup luas membentang ke selatan. Semilir angin terselip deburan ombak, menarikan kain putih yang melilit kepalanya. Sekuntum bunga kamboja, pucat dan layu, lepas dari tangkainya. Kamboja itu jatuh membentur kepala Maskinah. Putihnya sebanding dengan kerudung maskawin dari Indrajid itu.

Maskinah memungut kamboja itu perlahan. Saat kamboja di tangannya, merebaklah aroma kematian cinta.

Maskinah menaruh kamboja itu ke dalam keranjang. Langkahnya berhenti pada gundukan tanah yang sudah ditumbuhi rumput-rumput kecil. Rimbun siwalan yang berjarak tak cukup jauh menyembunyikan dirinya dari pelukan senja. Angin menghadirkan ketenangan ke tubuh yang kelihatan rapuh itu. Sejenak matanya terpejam, lalu diikuti ceracau tanpa suara, menyapa nisan bertuliskan nama orang yang tak bernyawa itu.

Maskinah menundukkan kepala. Mengambil mawar dan menaburkan di atas pusara. Dalam sekejap, mawar, kenanga, dan kamboja yang baru dipungutnya sudah rata. Terbayanglah ia akan mawar dan melati bertaburan di teras rumah pada hari pernikahannya.

“Ini bukti kesetiaanku, kang,” gumamnya memecah hening pekuburan. Tangannya meraba serta mengelus nisan kayu berbentuk kubah. Sentuhannya mengalirkan doa. Ia buka mushaf kecil dan larut dalam sentuhan lembut doa yang panjang. Ayat-ayat yang dibacanya nyaris tak terdengar. Lirih tapi santun.

Angin mendesir pelan. Kerudungnya berayun. Beberapa bunga kamboja kembali gugur, membentuk satu gugusan. Tapi Maskinah tak sempat memungutnya kembali karena tengah lebur dalam semesta doa. Pada rapal mantra yang dibacanya, lirih suara menyebut sebuah nama, mengikat dengan simpul-simpul tawasul. Nama yang terpahat pada kayu nisan itu. Indrajid bin Slamet.

Empat tahun silam, masih lekat pada ingatannya. Serupa kerak pada dinding perahu yang mengisahkan dua kenangan yang kini bersimpangan jalan dengan kehendaknya. Teringatlah Maskinah ketika kedua orangtua Indrajid datang melamar sekaligus akan bhek-rembek rencana pernikahan bila lamara mereka langsung diterima.

“Bagaimana, Nak. Mau dengan lamaran nak Indrajid?” kata emak Maskinah.

Maskinah menunduk. Ia tak bisa menjawab lamaran itu. Lalu, pandangannya mencari dan mencuri sepotong wajah orang yang hendak melamarnya. Namun, wajah yang ingin dicuri lebih dulu menatap tajam. Segera Maskinah bantingkan lirikannya ke lantai. Indrajid mesem-mesem melihatnya salah tingkah.

“Kata reng konah perempuan itu setuju kalau diam. Bagaimana, Nyi?” timbal emak Indrajid.

“Baiklah kalau begitu. Kami sekeluarga dengan lapang menerima lamaran keluarga Nak Indrajid,” Jawab emaknya.

Jawaban yang searah dengan perasaan Maskinah. Tentu, ia amat berbahagia mendapati Indrajid memenuhi janjinya. Tak menyesal ia mengorbankan darah mengucur di tengah selangkangannya sebelum kalimat sakral ijab-qabul dibacakan. Kini, baginya, lelaki itu juga telah membuktikan korban setianya saat bercinta di atas perahu. Paling tak, lamaran itu sudah mengantarkan perasaannya pada sebuah titik pertanggungjawaban.

Indrajid, orang yang dipandang cukup berpendidikan. Meski seorang buruh nelayan, ia sempat menamatkan pendidikan sampai sekolah tingkat atas. Jarang-jarang ada pemuda nelayan yang tamat sekolah sampai setinggi itu. Paling banter ikut si bapak melaut. Menenteng jala lebih membanggakan ketimbang memanggul tas. Sedangkan Maskinah gadis pesisir yang tak pernah mengenal dunia pendidikan. Orang tuanya hanya mengenali pendidikan di surau-surau menjelang petang. Mengajar mengeja alif, ba, ta, tsa… Selebihnya belajar menanak nasi, mengolah sayur, dan menjemur ikan.

Kesehariannya tak lebih membantu emak berjualan nasi, berkeliling rumah-rumah kampung nelayan, setiap pagi. Sorenya, ia mencari kerang di pasir basah. Sebagai perempuan penjual nasi, tentu banyak pemuda kampung yang mengenalinya. Perempuan yang selalu menenakan sampir lorek tanpa sandal. Ia tak begitu cantik. Hanya karena warna kulit lebih putih dari perempuan pesisir lainnya, ia lebih diunggulkan.

“Nduk, kamu paraben , ndak perlu sekolah. Yang penting bisa masak enak, pasti sudah disayang suami,” begitulah cara emak mengajari ilmu berumah tangga. Seperti sebuah sabda, kata-kata itu selalu ia dipegang.

***
Matahari hampir rebah usai setitik air jatuh dari matanya. Pandangan Maskinah menghujam datar pada pusara itu. Ia mengeja abjad demi abjad di nisan untuk mengeja sesuatu yang masih tertinggal. Jauh sebelum kematian menjemput suaminya.

Sebenarnya banyak kenangan manis yang tersimpul. Namun, setiap kali mengingatnya selalu saja ada lorong gelap yang membengkokkan jalannya. Tetapi, kenangan datang bukan untuk dihukumi, tetapi memfungsikannya sebagai pelita untuk meneruskan perjalanan.

“Keinginanmu segera kakang kabulkan,” ucap Indrajid seraya memeluk istrinya.
“Keinginan apa, Kang?” Maskinah heran.

“Lho, katanya ingin memiliki perahu sendiri. Sekarang aku akan membelinya kepada Nyi Talhah, tapi dengan cicilan.”

“Apa cukup bayaranmu, Kang?”

“Nyi Talhah itu orangnya baik. Sudahlah, jangan banyak mikir. Sekarang, kamu tinggal tanda tangani surat ini,” Indrajid menyodorkan selembar kertas.

Ini surat apa? Tanda tangannya di mana?” Maskinah kebingungan.

Indrajid memahami kekakuan istinya.

“Ini, akad persetujuan kita membeli perahu dengan harga cicilan. Sini tanganmu, pakai cap jempol saja.”

Dengan telaten Indrajid menuntun tangan Maskinah mengoleskan sedikit tinta dan meletakkan jempol istrinya pada selembar kertas itu.

Jadilah, cap jempol.

Maskinah terharu. Matanya berkunang-kunang. Betapapun, itu adalah surprize yang sangat melambungkan hatinya meski kemudian terpelanting secara tiba-tiba. Maskinah tak tahu kalau surat itu bukanlah akad persetujuan harga cicilan kepemilikan perahu. Surat itu adalah surat izin poligami. Kelemahan maskinah yang Tak tahu baca-tulis memudahkannya memberikan izin suaminya berpaling pada perempuan lain. Ya, surat persetujuan menikahi Supinah, janda kembang anak Nyai Talhah juragannya, terlanjur ditanda tanganinya. Selembar kertas yang telah melenyapkan rumah tangganya.

***
Satu lagi kuburan yang selalu dikunjungi Maskinah di pekuburan itu. letaknya tak jauh dari pekuburan suaminya. Gundukan tanah itu tak lain adalah kuburan emaknya yang telah wafar sebelum peristiwa kematian cintanya terjadi. Selembar daun kamboja gugur. Karena embusan angin atau karena batas umur? Entahlah. Sayup suara debur ombak mengisi pelataran kuburan yang hening.

Kembali ia buka mushaf kecil di tangannya. Serak suara menyimpulkan doa-doa kepada orang yang telah banyak mengajarinya tentang kehidupan. Di pusara itu, seketika panas hati Maskinah ditumpahkan. Tanpa ada yang disembunyikan.

“Mak, aku minta maaf. Aku tak bisa jadi istri solehah seperti yang selalu emak ajarkan. Aku tak bisa menjadi diri emak yang sabar menahan kemarahan bapak. Aku tak bisa…,” debur ombak menyembunyian tangisnya.

“Aku tak tahu, apakah jalanku untuk bertobat akan dilapangkan oleh-Nya. Aku tak tahu, apakah masih ada tempat di surga bagi orang yang telah membunuh suaminya sendiri. Tetapi. Aku masih memiliki keyakinan kalau emak masih memiliki surga untukku. Bukankah emak pernah mengajarkan kalau setiap ibu menyimpan surga di telapak kaki untuk anaknya,” jerit hati semakin keras. Air matanya tumpah bermuara di pusara itu.

“Aku berjanji akan mengajarkan cucu emak untuk selalu taat dan patuh pada suami. Aku akan mengatakan bahwa bapaknya adalah seorang suami yang sangat bertanggungjawab,” desahnya. “Tetapi maaf, mak. Aku tak akan mengajarkan, apalagi mencontohkan cara-cara emak mengajarianku demi masa depan anakku. Emak tenang saja, aku tak akan mengatakan pada cucu emak kalau perempuan itu tak perlu bersekolah. Aku akan mengatakan bahwa pendidikan agama dan umum sama pentingnya.”

“Seandainya kakang dan emak masih hidup, tentu sangat bangga melihat Jamilah selalu juara kelas kelas. Aku tak akan berhenti menyekolahkannya sampai ia merasakan nikmatnya menjadi seorang sarjana,” ucapnya lirih. Tak ada lagi air mata yang tumpah. Matanya semerah mega.

Maskinah memungut kamboja yang tergeletak di atas pusara. Ia mencium bunga itu serupa mengecup kening emaknya. Lalu, Maskinah meletakkannya kembali di atas pusara. Aliran air mata masih membekas serupa kenangan yang terus mengalir dalam perjalanan ziarahnya.

Annuqayah, 01-11-11, 10:11 PM

0 comments: