Friday, December 9, 2011

Lelaki yang Takut pada Sepi

(Salah Satu Naskah Pemenang Lomba Cipta Cerpen Indonesia 2011)

Bagaimana harus mengatakan kepadamu jika sebenarnya aku adalah lelaki yang takut pada sepi? Seperti angin yang mengabarkan kalau musim semi akan kembali. Gugur daun berbulan-bulan tak perlu risau karena pucuk-pucuk muda siap menyambut pagi lebih bermakna dari kemarin. Maka, pada daun yang terakhir mengucapkan Selamat Tinggal, pucuk-pucuk muda itu akan menjawab Pergilah tanpa Sesal.

Pastilah! Sebelum matahari mengecup kening bumi, dering SMS akan berbunyi atau isyarat panggilan masuk menjerit-jerit. Setiap kata dari ucapan itu satu huruf tak pernah berubah. Selalu sama.

“Pa, sudah salat?” Begitulah bunyi SMS itu. Tak segera kubalas. Tentu kutunaikan dulu salat dua rakaat pagiku. Aku yakin, kamu pasti sedang menunggu balasanku dengan sabar.

Atau bila isyarat ponsel berbunyi….

“Pa, bangun. Tuh, matahari sudah menunggu papa.”


Jika demikian, aku akan langsung menjawab dengan rengekan “iya”, meminjam suara serak bayi karena takut perempuan di sampingku terjaga. Setelah itu, kamu pasti segera menyuruh salat Subuh dan menutup pembicaraan. Entahlah, apa kamu sabar menunggu balasan kabarku seperti menunggu balasan SMS dariku sambil meneguk secangkir kopi hangat di pagi hari.

Maka, saat kutunaikan kewajibanku di pagi itu, kusematkan sejenak doa padamu. Semoga, dalam penantian yang entah pasti kapan, kamu tetap setia dengan pengabdian sepimu. Oh, Tuhan, bagaimana caranya aku harus mengatakan kepada-Mu bahwa di jalan nun jauh itu, ada aral besar melintang. Siap memisahkan kami berdua: problem jarak pengatur denyut kehidupan kami.

Kami harus berpuasa, menahan rindu dan kangen yang tanpa waktu memberontak digoda gelisah. Tapi, satu doa yang menyatu, membuat kami menaruh keyakinan besar bahwa hari raya itu akan tiba dengan sejuta warna dan sejuta melati.

Setahun perjalanan terakhir dari umurku, aku resmi mempersunting Maemunah, sosok muslimah berhati malaikat, alumni di salah satu pesantren salaf. Motif mempersuntingnya karena adrenalinku mengatakan sepi akan mengorok leherku. Kuliahku di jurusan sastra hanya mentok di semester empat, mampet karena persoalan biaya.
Perempuan yang tak pernah menanggalkan berjilbabnya itu begitu setia menungguku. Membawa segepok uang dan membelikan ruko baru untuknya. Dia sudah melarangku merantau ke kota, tapi aku bersikukuh meyakinkan karena dua tahun saat masih kuliah memaksa kehendak bahwa di kota tidak sulit mencari uang.

Ketaatan pada suami mengikhlaskan langkahku…

***

Siang membakar kota…

Sepeda angin yang kutumpangi baru diparkir di sudut utara paling timur gudang umum, tempat penyimpanan bahan-bahan bangunan. Hari ini aku akan menerima gaji bulananku dari Shu In, perempuan blasteran Indo-Cina, bermata sipit dan berkulit kuning. Anak satu satunya Tacik majikanku, pemilik toko bangunan itu. Tapi, perempuan berperawakan tinggi semampai itu lebih dikenal dengan nama Pipin di mata karyawannya, aku, Parjo, Makmun, Suhli, dan Edi yang sok gaul.

Sepeda itu langsung kusandarkan ke dinding gudang tanpa ampun dan menimbulkan bunyi krongsang berkarat. Berangkatlah aku menemui kasir cantik itu.

“Silahkan duduklah!”

“Terima kasih,”

“Ini gajimu bulan ini. Tolong dicek,” katanya meyodorkan amplop putih. Aku langsung memasukkan amplop itu ke dalam celana.

“Aku percaya uang ini pas dengan hasil kerjaku. Aku pamit dulu,” aku melempar senyum lalu menarik kursi ke belakang.

“Tunggu. Bagaimana dengan urusan kita? Apa kau lupa?”

Pipin berdiri. Dia mendekat. Lebih dekat. Semakin dekat. Mendekat. Mendekap…
Aku melihatnya dengan cara berbeda, tidak seperti yang aku kenal selama berhari-hari. Satu ikat janji setia tersematkan pada dua tubuh yang saling berpeluk erat. Sepi ditumbang tangis. Sendiri berpalung rindu. Haruskah ada sesal pada orang yang takut pada sepi?

“Apa di matamu aku begitu istimewa?” pertanyaan itu mengorok sepiku.

“Tidak! Aku hanya mungkin takut kehilanganmu,” jawabku menyilangkan kedua tangan di balik punggungnya.

“Kau sungguh mencintaiku…” Aku tak tahu nada ucapan itu apa mempersoalkan kesetiaanku atau mengukuhkan bahwa aku mencintainya. Sepiku bergulung-gulung menutup setiap bagian lekuk tubuhnya.

Pada garis vertikal yang terbujur dari pangkal rambutnya, kusematkan kekuatan yang melebihi kasih sayangku pada Tuhan. Juga kasih sayangku pada seorang perempuan yang tengah menungguku pulang. Sepiku telah membungkus tubuhnya. Tak ada yang bisa bergerak. Sekedar bibir yang berirama.

***

Bagaimana aku harus mengatakan kepadamu jika sebenarnya aku adalah lelaki yang takut pada sepi?

“Apakah aku harus belajar kesetiaan pada kisah Qais dan Laila?”

“Jangan! Kesetiaan tidak akan menjerumuskan manusia pada lubang maut yang akan memisahkan jiwa dan raga. Kesetiaan Qais dan Laila itu dibangun di atas ketaklukannya pada sepi sehingga mereka memilih untuk mati,” katamu dari seberang.

“Terus, aku harus bagaimana?”

“Tidakkah papa mengeja pada para pendahulu kita. Ingatlah, pa! Hakikat manusia lahir dari kesetiaan yang sebenarnya. Termasuk kita. Tidakkah papa mengeja kisah Adam dan Hawa ketika oleh Allah diturunkan ke dunia yang sangat berjauhan jaraknya? Karena kesetiaan kedua manusia itu dibangun di atas kesabaran, akhirnya Allah mempertemukan mereka setelah sekian tahun berada di dunia keterasingan. Begitulah seharusnya cinta itu dibangun. Bangunlah kesetiaan papa di atas kesabaran, bukan dibangun di atas sepi,” katamu polos.

Kepolosanmu selalu mengalahkan sifat liarku. Aku tidak bisa mengatakan sepatah katapun. Aku hanya bisa menatap wajahmu dalam angan. Berharap kamu tahu bahwa aku telah melihat semua mimpi dalam tahunku. Entah di tahun berikutnya, karena takdir tak selalu sesuai dengan mimpi.

“Lalu, bagaimana aku bisa mengalahkan sepi?”

“Ingatlah aku saat papa memanjatkan doa. Karena doa tiada pernah terikat dengan waktu. Bahkan jarak pun tak akan mampu membendung kedahsyatan doa. Pasrahkan semua pada yang Maha berkehendak.”

Seseorang memanggilku pertanda sarapan pagi sudah siap di meja makan. Aku gelisah. Maka, kancing baju segera kurapikan dan segera mengakhiri pembicaraan itu dengan alasan ingin menunaikan salat Dhuha untuk kemudian memulai pekerjaan.

***

Perempuan yang aku sebut mama itu bercerita bahwa di dunia yang fana ini ternyata ada yang abadi. Dia sangat meyakini hal itu bahwa cinta itu abadi. Tapi, aku masih tetap penasaran, ke mana perginya cinta, bila salah seorang yang sedang menjalin cinta itu harus pergi untuk menjadi tiada, tak peduli entah ke mana?

“Ia hanya dikalahkan oleh nafsu,” begitulah jawabanmu di seberang sana. Singkat, bukan?

“Benarkah? Lalu bagaimana kemudian jika cinta akan mengikuti arus kesementaraan, lalu menghilang di suatu tikungan?”

“Hem, ternyata papa masih belum tahu antara cinta dan nafsu ada sekat yang amat tebal…”

Pada kedalaman hati yang keberapa mil dalam arus kehidupan, aku merasa kamu begitu berbeda. Meski nun jauh di sana, aku bisa merasakan senyummu yang mengembang. Lalu, aku tersenyum saat berkaca pada senyumanmu itu.

Tak pernah kutemukan ucapan bijak seperti itu dari perempuan blasteran Jawa-Cina di sampingku. Meski kamu hanya alumni pesantren salaf, tak pernah mengenal pendidikan formal, cara bicaramu membawa kedamaian. Pancaran imanmu sangat kurasa. Ya, aku menemukan malaikat di dalam dirimu yang akan selalu menegurku jika membuat kelalaian dan kesalahan.

“Wah, mamaku is the best…” godaku.

“Tentu. Karena papa tidak salah memilih mama. Bagaimana? Masakan mama enak bukan? Coba deh sup kuah wortel ini,” dia menyodorkan sendok berisi satu iris wortel di atasnya lalu menyuapiku dengan manja.

Dengan siapa aku berbicara? Kuharap bukan dengan sepiku.

“Ah, papa. Sudahlah, pa, salat Dhuha dulu,” katamu mengingatkan. Bandolan jam berdetak tujuh kali.

“Ya, terima kasih,” cara bicaraku berubah seperti berbicara dengan karib bisnis.

***

Begitu indah bila jalinan keluarga dibangun di atas sabar dan setia. Tetapi, sulit sekali menemukan kaki manusia berpijak pada kedua alas itu. Keseimbanganpun tak sempurna. Selalu ada yang jatuh pada setia atau pada sabar. Ah, seandainya jarak yang membentangi manusia bisa merasakan ada sesuatu yang indah yang tersembunyi, niscaya tak akan ada cerita penghianatan atas nama sepi.

“Lebaran ini papa harus pulang. Papa tahu, puteri kita, Jamilah sudah bisa mengaji dengan lancar. Bisa melafalkan kata Allah dengan benar. Pokoknya papa harus pulang,” ucapanmu serupa jerit panggilan dalam hati.

“Ma, dengan apa papa harus pulang? Papa masih belum cukup uang untuk kembali ke kampung!” Entah dari mana kata itu berucap. Bukankahkah aku adalah lelaki yang takut pada sepi? Seharusnya aku memenuhi panggilanmu. Apakah ketakutanku pada sepi telah menghapus cinta padamu. Betapa bodohnya aku!

“Mama tak memerlukan uang! Haruskah aku menceritakan semuanya pada papa? Aku harus jatuh bangun berjuang melawan sepiku. Untung tawa putri kita selalu mengobati kerinduanku pada papa,” suaramu mulai meninggi.

Aku salah. Aku kalah. Kekuatan lelaki tak mengalir pada kedalaman jiwa, hanya meregang pada otot-otot kekarnya. Justru sebaliknya, kekuatan itu sulit nampak pada perempuan karena selalu menyematkannya sedalam mungkin pada jiwanya. Sehingga lelaki seringkali menganggap perempuan adalah makhluk lemah. Naif.

“Papa masih selalu menegakkan salat Tahajjud, kan?”

Aku tak bisa menjawab. Haruskah aku menjawab bahwa selama ini aku dikejar sepi dan selalu memanjatkan doa kepadamu? Tapi, kini aku takluk pada sepi. Doa-doa itu tak lagi mengalir dalam sujud. Tahajjudku selalu tersendat oleh pelukan erat perempuan bermata sipit itu. Selalu seperti ular yang melilit tubuhku.

Segera kumatikan ponsel saat derik pintu kamar terbuka.

“Dari siapa?” katanya menaruh curiga.

“Temanku di kampung. Katanya akan menikah Sabtu depan.”

Lalu, tak ada lagi kata terucap. Aku berbaring telentang di atas ranjang yang senyap. Perempuan itu kembali melingkari tubuhku serupa ular yang melilit mangsanya. Aku membutuhkannya sekedar untuk ditiduri. Bukan untuk bercinta.

***

Cakrawala sepenuhnya hilang saat angkot tiba di pertelon Pancasila. Kusodorkan selembar lima ribuan pada sopir angkot itu. Tiga orang lelaki berlari menghampiriku. Berebutan menawarkan jasa. Satu orang lelaki tua tetap duduk manis di atas sepeda motor Honda Astrea Prima. Kuhampiri lelaki itu tanpa mempedulikan tiga orang lelaki yang tetap nyerocos menawarkan jasa sesuai harga. Aku tahu, dia adalah ke Satnawi. Lelaki yang sejak aku masih bersekolah dasar mengabdikan diri sebagai tukang ojek di pangkalan itu. Apakah dia masih mengenaliku? Segera kusebutkan alamat yang ingin kutuju. Tukang ojek itu hanya terseyum, memberi helm tanpa mengurus siapa diriku.

Pada surau kecil yang telah lama kutinggalkan. Dibalik kerre (tirai bambu) lamat-lamat, begitu santun dan lirih terdengar suara anak kecil sedang belajar mengeja Al-Quran. Alif ba ta tsa… kamu begitu khusyuk mengajarkan puteri kita membaca al-Quran. Sepiku runtuh menjadi air mata.

Bagaimana nanti jika kamu bercerita tentang sepimu? Apakah aku memiliki cerita sepadan untuk menguatkan cintaku?

Aku lelaki yang takut pada sepi. Aku yakin sepiku akan lebur menjadi cerita panjang saat aku mengecup keningmu. Selamanya!

Annuqayah, 5.02 PM

0 comments: