(Jawa Pos, 31 Juli 2011)
Kawan! Maukah kau menemaniku duduk-duduk santai mengintip datangnya fajar atau melihat senja yang melukis cakrawala? Aku yakin, kau akan betah duduk berlama-lama meskipun tak ada makanan atau minuman di samping kita. Akan aku tunjukkan manifestasi keindahan yang akan nampak sangat indah jika dilihat dari tempat itu. Keindahan yang hanya akan membuatmu melongo melebarkan bibir dan mengucapkan Subhanallah. Pasti.
Aku ingin, ada kubah di atas rumahku. Memiliki rumah seperti musala atau masjid adalah mimpiku; melihat orang-orang tanpa sungkan keluar masuk melaksanakan kewajiban mereka, berdzikir atau membaca Alquran. Betapa damainya jika di setiap ruangan disesaki oleh gema Alquran. Aku ingin melihat rumahku selalu ramai, seperti masjid yang tak pernah sepi jika panggilan salat sudah berkumandang.
Lama aku mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkannya pada orang tua. Tetapi sampai saat ini kesempatan itu belum juga datang. Tak jarang keinginan itu aku bawa lelap. Bahkan, ketika aku terbaring sakit, ibuku pernah mengatakan aku pernah mengigau ingin memiliki kubah. Tetapi, waktu itu, dalam waktu sadar, aku tetap tak bisa mengatakannya. Kata-kataku tercekat oleh penyakit amandel yang bersarang di tenggorokanku.
Setelah dua bulan sembuh, kesunyian menggergoti kehidupanku. Aku tak sempat mengatakan kalau aku ingin membangun kubah di atas rumahku. Bapak telah pergi ke Jakarta menjadi seorang buruh bangunan. Ibu, tanpa persetujuan dan sepengetahuan bapak, bersedia menerima ajakan paman, berangkat ke luar negeri menjadi TKW. Nafasku dititipkan pada kakek dan nenek.
Lagi-lagi, kesepian kian menginjakku. Dua bulan setelah kepergian ibu, kakek menutup mata. Di rumah itu, hanya tinggal dua kisah, aku dan nenek.
***
Subuh belum lama pergi. Kupercikkan segelas air ke mukaku dan bergegas menunaikan salat subuh di masjid. Setelah itu, aku tidak langsung pulang, kawan! Telah menjadi kebiasaanku menaiku tangga menara masjid, lalu mengintip fajar sambil bersandar pada kubahnya.
Terkadang, percikan cahaya fajar mengingatkanku pada kedua orang tua yang dulu selalu mengajakku salat berjamaah. Aku ingat saat-saat usai salat ibu mencium tangan bapak dan aku mencium tangan keduanya. Ya, kawan! Selama masih ada mereka, aku selalu bangun sebelum ayam jantan berkokok dua kali.
Begitulah! Setelah percikan cahaya itu meluas, barulah aku turun atau ketika ada suara lantang nenek menyuruhku turun, pertandan air hangat untuk mandi sudah siap. Jika sudah demikian, nenek selalu menyambutku dengan marah-marah. Nenek mengatai aku dengan sebutan anak tuli karena aku tak pernah mendengar larangannya.
“Sudah berapa kali aku katakan, jangan naik ke sana,” katanya sambil menenteng kupingku. Aku meringis. Meskipun perempuan tua itu terbilang rapuh, tak ada kekuatan di tanganku melepas tangannya di kupingku. Aku Ttk bisa berkata "ah" sekalipun.
Di perigi sudah tersedia sebak air hangat. Nenek melicuti pakaianku satu persatu. Byur, byur! Secebok-dua cebok air mengguyur badanku. Nenek mengerayami tubuhku dengan sabun dan mengucek-ucek rambutku.
Byur! Secebok air kembali tumpah. Segar sekali!
Matahari terus menebar kehangatan. Di atas lincak, nenek sudah menyiapkan nasi jagung dengan lauk dhukduk (ikan asin). Kadang, aku tak berselera melahap hidangan nenek; lauknya seringkali gosong. Tapi, nenekku adalah yang terbaik dari orang-orang yang pernah berada di dekatku. Nenek masih begitu tegar di usianya yang senja. Aku bangga dengannya, kawan!
“Nek, aku kangen bapak, kangen ibu!”
“Makan dulu! Nanti kau terlambat sekolah. Tak baik berbicara sambil makan,” katanya sambil membungkus secepok nasi dengan daun kelapa, bekalku ke sekolah. Nenek selalu memotong keluh rinduku. Entahlah! Ia selalu bersikap acuh ketika aku bertutur tentang bapak atau ibu.
***
Kawan! Hari ini, bapakku akan pulang dari Jakarta. Kata nenek, bapak akan membawa oleh-oleh yang banyak dan segepuk uang untuk nantinya membangun rumahku yang baru. Inilah kesempatanku untuk mengutarakan keinginanku, meminta pada bapak untuk membangun kubah di atas rumahku yang baru nanti. Di dapur, nenek sedang menyiapkan masakan-masakan enak demi menyambut kedatangan anak satu-satunya itu. Dhukduk berganti opor ayam, kangkung berganti bayam, dan nasi jagung diganti nasi putih. Kami bertiga akan melahap bersama-sama dalam satu tawa. Tapi sayang, ibu dipastikan tak ada. Oh, betapa lengkapnya kebahagiaanku jika ada ibu.
Belum habis asap membubung di dapur, bapak sudah duduk di kursi rumah. Aku dan nenek dibuat terkejut. Kerinduanku membuncah. Aku berlari melabrak dan jatuh di pelukannya. Dua kantong plastik hitam di tangan bapak terlepas. Bapak, betapa aku merindukanmu. Aku ingin bapak tak jauh dari langkahku, aku ingin bapak dan ibu seperti dulu; selalu mengajakku salat bersama. Aku sudah bisa salat dengan benar sebagamana diajarkan oleh bapak, aku sudah hafal doa iftitah. Aku lancar mengaji. Aku juga fasih mengatakan nama “Allah” dengan nada “L” tebal, tidak lagi mengeluarkan suara “Aulah” jika menebalkan nama-Nya.
Bapak membawakanku oleh-oleh tiga buah guci ukuran kecil. Guci-guci itu lucu dan imut, kawan. Dua guci berbentuk gajah dan satunya lagu berbentuk panda sedang duduk bersila. Selain itu, bapak juga membawakanku sebuah pistol, yang apabila gagang pelatuknya ditarik, maka pistol itu akan mengaung dan di sepanjang sisinya berpendar cahaya kerlap-kerlip.
“Anakku harus menjadi jagoan,” bapak mengusap rambutku. Mengangkatku tinggi-tinggi. Aku merasa terbang.
Malam harinya, aku ingin pipis. tetapi, aku takut untuk keluar dan mengajak nenek pergi ke selokan. Di luar sana bapak mengata-katai nenek dengan nada kasar. Bapak marah setelah tahu kalau ibu bekerja tanpa sepengetahuannya. Kadang, suara itu diselingi bunyi benda jatuh. Entahlah, apa itu! Aku ngeri. Aku takut. Aku berlari ke atas ranjang dan menutup seluruh tubuhku dengan selimut.
Tanpa disadari aku terlelap dalam kecekaman. Yang terakhir aku ingat adalah ketika aku membungkus diri dalam selimut. Aku membuka mata. Lelah sekali. Cahaya matahari menembus kamar dan jatuh pada dua kakiku. Astaga! Aku belum salat subuh. Di mana nenek? Kenapa dia tak membangunkanku.
Aku mencari keberadaannya. Ternyata nenek duduk di emperan. Matanya masih sembap. Tak ada kata terucap. Mematung sendiri. Aku kembali teringat pada suara benda pecah tadi malam.
“Nenek?” Nenek memelukku. Erat.
Aku merasa ada air yang jatuh di punggungku. Ya! Air mata nenek. Mengapa nenek menangis? Mungkinkah karena hal semalam.
“Bapak di mana?” Aku sempat lupa kalau saat ini bapak ada di rumah.
Nenek tak segera menjawab. Aku terjebak dalam kebingungan. Tapi akhirnya….
“Bapakmu sudah balik ke Jakarta,” katanya sambil menahan air yang hampir kembali tumpah.
Oh, kawan, suara pecahan itu kembali terngiang di batok kepalaku. Secepat itukah bapak pergi? Padahal aku belum sempat mengatakan kalau aku ingin memiliki kubah. Bapak… oh, mungkin bapak masih belum melangkah amat jauh. Segera aku berlari meninggalkan nenek sendirian. Aku menaiki menara masjid. Tetapi, saat tiba di atas kubah, aku tak melihat jejaknya. Yang aku temukan hanyalah keindahan surya. Sayang, aku tak sempat memikirkan keindahan itu. Kepergian bapak terlalu memukul hati, seperti suara pecahan tadi malam.
***
Kedatangan ibu menumbuhkan asaku setelah kepergian bapak dua bulan yang lalu. Tak banyak memang oleh-oleh yang dibawanya. Tetapi kata nenek, ibu membawa segepuk uang lebih banyak dari yang bapak bawa. Ibu berjanji akan mebelikanku baju baru, seragam, tas, serta sepatu baru demi menyambut kenaikan kelasku dari kelas III ke kelas IV MI. Ibu juga akan menuruti segala permintaanku.
“Ibumu akan membangun rumah baru untuk kita,” kata nenek sebelum aku beranjak tidur.
“Nek, kalau nenek tak keberatan, malam ini aku ingin tidur bersama ibu,” aku kangen belaian lembut ibu.
“Tentu, Nduk. Sebentar, aku akan memanggilnya,” nenek pergi setelah mengusap kepalaku.
Tak lama berselang, ibuku datang. Terlentang miring di samping kiriku. Matanya menatap teduh. Aku sangat rindu sekali tatapan mata itu. Aroma parfum merebak dari sekujur tubuhnya. Malam itu, usia ibu bertambah muda. Banyak memang perbedaan yang aku temui setelah ibu bekerja menjadi TKW. Ibu lebih cantik, lebih menarik, dan penampilannya lebih elegan. Selama kedatangannya, aku tak pernah melihat ibu memakai daster panjang lagi serta kerudung yng selalu melingkar di kepalanya. Kini, ia lebih suka memakai kaos ketat yang membuat dua buah dadanya terlihat mengeras. Setiap pagi, ibu juga tak pernah lupa melumuri bibirnya dengan lipstik dan memakai bedak yang membuat pipinya merona.
“Kau sudah besar rupanya,” kata ibu lembut.
“Ibu, katanya ibu akan membuatkanku rumah yang baru?” aku sudah tak sabar lagi mengatakan keinginanku.
“Bukan hanya rumah baru, tapi istana yang megah untukmu,” bibirnya mengembang.
“Bolehkan aku meminta sesuatu?”
“Tentu, sayang.”
“Aku ingin ibu membangun kubah pada rumahku nanti.”
Ibu terkejut.
“Kubah. Untuk apa?”
“Aku ingin melihat matahari terbit dan tenggelam dari atas kubah. Aku ingin ketika berada di rumah, aku merasa berada di musala atau di dalam masjid.” Aku tak bisa mengatakan bahwa sesungguhnya hidupku kesepian. Aku ingin rumahku layaknya masjid yang selalu didatangi banyak orang.
“Jika itu memang keinginanmu, akan aku laksanakan.” Tangannya semakin lembut membelai rambutku. Segitu mudahkah permintaanku dikabulkan? Ah, masa bodoh.
"Apakah kau mau aku dongengkan sebuah cerita tentang negeri seberang?” tambahnya lagi.
“Ya! Aku mau.”
Ciri khas ibu sebagai penutur sejati tetap tidak hilang. Malam itu, ibu mengantarku pada mimpi yang indah. Ceritanya melambungkanku ke angkasa. Memetik satu bintang di sana. Namun, saat subuh berkumandang hingga fajar dalam separuh perjalanan, ibu masih mendengkur dengan kerasnya. Tidak seperti dulu yang selalu membangunkanku untuk melaksanakan salat subuh bersama.
***
Mimpiku selama ini sudah terwujud, kawan. Rumahku kini serupa masjid. Jika dilihat dari depan, belakang, samping kanan, atau samping kiri pasti orang-orang akan menyebut rumahku adalah masjid. Penduduk yang bukan orang asli di kampungku seringkali terkecoh saat hendak menunaikan salat. Tapi, dengan senang hati, aku persilakan saja mereka menunaikan kewajibannya. Aku tak perlu lagi memanjat menara hanya sekedar duduk-duduk di samping kubah untuk menyambut datangnya fajar atau melambaikan tangan pada senja. Kubah itu berwarna biru langit. Seperti kebanyakan kubah yang lainnya, di atasnya ada lambang bulan sabit yang menimang bintang.
Kawan, seperti yang telah ditegaskan sebelumnya, mimpiku itu berdiri di atas kesunyianku; jauh sebelum rumah dan kubahku dibangun, ibu kembali merantau ke negeri orang. Katanya, majikannya hanya memberi waktu setengah bulan untuk pulang ke Indonesia. Itu pun ditempuh dengan negosiasi yang sangat alot.
Tetap saja di tengah keramaian orang yang melaksanakan salat itu, di sudut yang berbeda aku merasakan sebuah kesepian. Kedudukan bapak dan ibu tak bisa tergantikan oleh mereka. Aku harap jika aku sudah bosan menatap kisah kesendirianku, rumahku akan menjadi masjid. Oh, betapa indahnya.***
Dimuat di Jawa Pos, 31 Juli 2011
0 comments:
Post a Comment