Wednesday, March 16, 2011

Menemukan Alamat Langit

Cerita ini hanyalah sepotong kisah yang sempat aku tulis saat melakukan investigasi selama lima hari di Pasongsongan, salah satu kecamatan paling barat, bagian dari Kabupaten Sumenep. Cerita ini menjadi penting untuk kutulis karena di tempat itu aku menemukan sejarah dan kisah tentang langit.

Sore itu, matahari masih terlihat begitu garang menyengat ubun-ubun. Aku dan sahabatku Ubed, baru saja tiba di Pasongsongan. Menggunakan Colt angkutan desa, kami turun di Pasar Pao, sebelah barat kantor kecamatan.

Tiga puluh menit gema adzan sudah berlalu. Kami langsung menuju masjid terdekat. Sejenak menghilangkan penat serta haus yang menggerogoti perjalananku. Sekalian juga menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim.


Lamat-lamat aku mendengar gemuruh ombak. Hatiku tergugah. Mendengar debur ombak itu, semangatku pulih kembali. Aku sangat suka pada laut. Itulah mengapa aku memilih untuk melakukan investigasi di tempat ini. Pantai Pasongsongan bukanlah pantai wisata seperti halnya Pantai Slopeng atau Pantai Lombang. Namun, keeksotisannya tidaklah jauh beda dengan kedua tempat wisata tersebut. Begitulah kiranya yang aku dengar.

Aku bersikeras membujuk kawanku untuk bersegera menuju pantai. Ubed yang memang penduduk asli Pasongsongan merasa emoh ketika kuajak ke pantai, karena tempat itu tidak ada asing baginya sehingga tidak ada yang menarik. Tetapi tidak bagiku. Oh, aku hanya perantau dari pulau jawa yang “tersesat” di pulau garam. Inilah pertama kalinya kakiku berpijak di tempat ini.

Sebelum tiba di pantai, kami melewati Pasar Pao, tempat interaksi jual-beli antara nelayan dan tengkulak ikan. Pasarnya cukup ramai. Bau anyir ikan di pasar itu memaksaku menutup hidung. Pasar itu didominasi oleh kaum perempuan. Tak banyak laki-laki yang aku temui. Aku memang pernah mendengar kalau kampung nelayang sering disebut juga dengan kampung perempuan, karena si lelakinya pergi melaut. Atau jika memang mereka ada di rumah, pastilah mereka lebih memilih berbaring di atas kasur karena semalaman telah mengapung di atas perahu. Menangkap ikan.

Jalanan yang sempit membuatku tidak bebas bergerak. Aku harus berjalan zig-zag manakala bepapasan dengan orang. Dan, pada detik-detik—yang sangat saya ingat—itu aku berpapasan dengan perempuan yang sepertinya aku mengenalinya. Entah siapa. Sorot matanya teduh dengan kepala berhias jilban cokelat. Senyumnya merapat pada kerikil-kerikil jalanan yang dilaluinya. Aku terpana hingga angin membawa perempuan itu berlalu dari hadapanku.

“Dia adalah kakaknya Peremuan Langit,” kata Ubed tersenyum-senyum melihatku keheranan.

“Memang rumah Perempuan Langit ada di sini?” ucapku tak percaya.

“Ya, nanti akan tunjukkan di mana rumahnya,” katanya, menyejajarkan langkah denganku.

Perempuan Langit yang kami maksud bukanlah putri kayangan yang turun dari langit sebagaimana dalam cerita babat jawa, bukanlah perempuan keturunan Dyaus di zaman India kuno, bukan pula bagian dari cerita Zeus dalam kisah peradaban Yunani, atau dalam bahasa latinnya dikenal dengan Jupiter (ouv-pater) yang kesemuanya adalah cerita-cereta tentang langit. Bukan. Dia hanyalah seorang cerpenis yang selalu menggunakan diksi atau metafor langit dalam setiap cerpen yang ditulisnya, sehingga kami mengenalnya sebagai Perempuan Langit atau hanya memanggilnya dengan kata Langit saja.

Tiba di bibir pantai, beberapa beton kaki jembatan bejejel rapi. Maklum, di sana akan dibangun pelabuhan yang kata orang akan menjadi pelabuhan terbesar—hanya—di Kabupaten Sumenep. Sebuah kontraktor masih terliha bekerja. Bunyinya menderu. Bercampur debur ombak. Di pelabuhan itu, aku juga melihat beberapa orang memancing. Tak seekor ikan pun yang mereka dapat.

Aku terus berjalan. Menelusuri pelabuhan yang panjangnya seperti lapangan sepak bola itu. Hingga akhirnya, aku sampai di ujung pelabuhan. Berdiam diri membatu. Membiarkan angin mengiris lelahku.

Kulemparkan pandangaku sejauh mungkin. Menembus sekat antara penyatuan langit dan laut. Aku suka sekali pada laut. Laut adalah cemin langit. Jika langit mendung maka laut akan pucat. Sebaliknya jika langit terlihat cerah, maka laut akan nampak berseri-seri. Tapi sayang, rumahku jauh diri laut sehingga aku tak bisa menyapanya setiap pagi dan sore. Tapi aku menyimpan mimpi untuk memiliki rumah di pinggur laut, agar aku bebas menelanjangi laut kapan saja. Saat suka maupun duka.

“Bang, lihatlah! Itu rumah Perempuan Langit,” kata Ubed.

“Di mana?” kataku.

“Itu, tepat di bawah matahari.”

Aku mengikuti arah yang ditunjuknya; sebuah rumah yang berada di pinggir pantai. Jarak rumah itu kira kira dua ratus meter dengan pelabuhan. Berlantai dua dan berpartisi biru langit.

“Besar juga rumahnya.”

“Ah, tidak juga. Gedung berlantai dua itu bukan rumahnya, tetapi musholla.”

“Musholla?”

“Ya, musholla. Ayahnya adalah guru ngaji. Muridnya cukup banyak. Lantai bawah untuk santri laki-laki dan lantai atas untuk santri perempuan,” jelasnya.

Aku sempat berpikir, mungkinkah dia suka senja karena rumahnya begitu strategis melihat senja melambaikan tangannya menjelang petang. Memang, matahari saat ini tidak berada di atas laut. Posisinya di arah barat daya. Tepat berada di atas rumah Perempuan Langit. Jadi, aku harus mengurungkan niatku melihat siluet senja membingkai laut. Tetapi jika pada musim kemarau, matahari dipastikan akan bergeser empat puluh derajad ke arah utara dari posisinya saat ini. Jadi, pada musim kemarau matahari akan jatuh ke laut.

Telintas juga dibenakku, mungkinkah dia suka menggunakan diksi atau metafor langit karena kapan pun dia leluasa menelanjangi langit untuk menuangkan imajinasinya menjadi tulisan? Atau hanya sekedar melihat matahari yang sedang melambaikan tangannya, baik saat fajar menjelang dan kala petang tiba.

Saat ini pun aku berimajinasi, Perempuan Langit sedang duduk di mushollah lantai dua itu, Menghadap laut. Meliukkan penanya di atas kertas. Menggarap cerita pendek. Setidaknya rumah itu telah memberiku kesimpulan sementara bahwa di sanalah perempuan itu mencipta langit.

Lembah Cerita, 2011

0 comments: