Kata orang, sahabat nelayan adalah matahari. Tanpa cahayanya, hidup mereka akan susah, karena mendung akan membuat badai. Tentu, mereka akan cemas. Di samping itu juga, ikan-ikan akan cepat membusuk karena sulit untuk diawetkan. Kulit mereka yang hitam dan kering semakin meyakinkan bahwa pernyataan itu memang benar.
Mereka adalah para pemburu matahari. Para nelayan akan mengejarnya ke tengah laut jika matahari mulai tenggelam. Tentu, para pemburu itu akan kembali keesokan harinya dengan membawa matahari.
Sampai di kampung nelayan, tempat dimana aku dilahirkan, aku tekagum-kagum. Bukan hanya pantainya yang menebar pesona, tetapi rumah-rumah mereka yang sederhana, berjejel, dan menghadap ke laut turut pula menebarkan kesan yang istimewa. Tentu, pemandanga ini bukanlah sesuatu yang asing bagiku. Tetapi kerinduan tetaplah kerunduan: semakin lama berpisah, semakin mesra saat berjumpa. Ya, begitulah.
Aku teringat akan kisah nenek ketika masih kecil. Bahwa kehidupan para nelayan tak jauh berbeda dengan kehidupan anak-anak ikan di laut. Mereka akan terus bersama, saling melengkapi dan melindungi. Tak ada nelayan melaut berangkat sendirian. Mereka akan membentuk kelompok-kelompok dan hasilnya dibagi rata. Tapi sayang, kisah dari nenek itu tak bisa aku lanjutkan kembali. Cerita itu adalah yang terakhir kalinya aku dengar sebelum nenek terlelap dalam tidur panjangnya.
Pada penghujung musim hujan ini, kusempatkan diri kembali ke kampung halaman setelah hampir lima tahun aku tinggalkan. Kebetulan, proposal skripsiku yang diseminarkan diterima, meskipun ada beberapa catatan-catatan kecil yang harus dibenahi. Sejak lulus SMA dan melanjutkan kuliyah ke Jogjakarta, inilah pertama kalinya aku kembali ke Madura. Sengaja memang aku tak pernah pulang pulang. Disamping ongkos transportasi yang cukup mahal, aku juga ingin ketika melepas kerinduan diwarnai dengan derai haru.
Hari pertama kusempatkan berjalan-jalan di pantai. Kebetulan, siluet senja pada waktu itu cukup indah walaupun dikelilingi awan kelabu. Aku rindu pada mereka, para pemburu matahari. Para peburu itu telah mempersiapkan diri untuk berlayar. Mengejar matahari. Segala kebutuhan dinaikkan ke atas perahu. Aku membayangkan jala yang dipegang mereka, nanti bukanlah berisi ikan-ikan, melainkan matahari. Ah, aku sepertinya telalu terhipnotis dengan cerita itu.
Hanya ada satu dua perahu yang siap berlayar. Meskipun musim hujan akan segera usai, banyak nelayan yang tak berani melakukan pelayaran. Kualihkan pandanganku dari para pemburu itu. Di ujung selatan, sekitar seratus meter dari tempatku berdiri, aku melihat seorang perempuan sedang menatap senja. Ya, aku mengenalinya. Perempuan itu Maemunan, teman sekelasku waktu SMA. Aku sempat jatuh cinta pada perempuan itu, tapi tak ada keberanian untuk medekatinya. Entahlah, apakah saat ini perasaan itu masih ada atau tidak.
Sore itu, aku tak memiliki keberanian untuk menyapanya. Aku ragu apakah ia masih akan bersikap seperti dulu, atau sudah berubah. Butuh beberapa waktu untuk aku menyesuaikan diri, walaupun di sini adalah kampungku sendiri.
Aku pergi. Maemunah tetap menatap matahari yang akan diburu oleh para pemburu itu.
Sungguh miris mendengar nasib para nelayan beberapa bulan ini. Kata emak, beberapa lelaki di kampungku merantau ke kota bahkan sampai ke luar negeri. Anak dan istri terpaksa ditinggalkan. Cuaca yang buruk membuat mereka tak bisa melaut. Akibatnya, mereka harus membanting tulang, mencari pekerjaan lain untuk menafkahi keluarga mereka. Nelayan yang hanya memasrahkan penuh kehidupannya pada laut membuat mereka kelimpungan untuk mencari pekerjaan lain jika cuaca sudah tidak bersahabat. Ah, selalu saja demikian.
Setiap kali aku pergi ke pantai, setiap kali itu juga aku melihat Maemunah mematung di sana. Wajahnya kaku. Tatapannya sendu. Mengapa ia selalu di sana? Seperti yang aku kenal ia bukan penikmat senja. Ataukah Maemunah sedang menunggu sesuatu? Atau barangkali dia merasa kesepian? Sore itu, kusempatkan diri untuk menyapanya. Siapa tahu dia masih mengenaliku. Seperti dulu. Apa adanya.
“Maemunah, kau ingat aku,” kataku sedikit gerogi. Dadaku sedikit bergelombang. Mungkin karena perasaan itu masih ada.
Dia menatapku. Lama. Beradu mata. Tanpa kata. Kuperhatikan seluruh tubuhnya. Ternyata dia tetap seperti dulu: cantik dan mempesona. Aku kembali terkenang masa-masa SMA lagi. Bersama dalam tawa. Namun, sepertinya dia sedikit gemuk. Perutnya buncit. Itulah mengapa aku sedikit kaget saat melihatnya.
“Slamet, kaukah itu?” kata Maemunah menarik kedua alisnya.
“Ya, aku Slamet. Aku kira kau sudah lupa pada diriku.”
“Ah, mana mungkin aku lupa dengan orang yang paling menjenggelkan di kelas,” katanya renyah. Lantas, kita saling beradu tawa. Tanpa sadar, waktu telah menyeret aku dan Maemunah pada masa lalu.
“Aku perhatikan, setiap pagi dan sore kau selalu berada di sini. Apa kau suka fajar atau senja?” kataku manja. Lepas kata itu, Memunah kembali menatap senja.
“Aku sedang menunggu Kang Bahris pulang,” katanya sendu. Tangan kanannya memengang perutnya yang buncit. Aku mulai mengerti, meski masih belum tahu pasti.
Mendengar nama itu disebut, aku teringat pada teman SMAku lagi. Ya! Bahris. Ternyata lelaki tambun berkulit hitam itu berhasil mempersunting Maemunah, perempuan yang diincarnya sejak masih duduk di Sekolah Dasar. Aku sedikit cemburu. Ah, betapa beruntungnya kau kawan! Begitulah kilahku.
“Oh, selamat ya! Saya baru tahu sekarang kalau kawanku itu amat beruntung sekali memiliki seorang istri secantik kamu,” kataku menggoda. ”Kapan kau menikah dengannya?”
“Sudah hampir setahun. Tapi, setelah berjalan empat bulan, saat jabang bayi ini masih berusia tiga bulan, dia pergi meninggalkanku sendiri,” katanya pelan. Aku mulai menangkap ada kesedihan di matanya.
“Pergi? Maksudmu ia menghianatimu?”
“Jika ia menghianatiku tidak mungkin aku berdiri disini menunggunya pulang. Kang Bahris pergi karena aku dan calon bayinya ini,” raut mukanya nampak tenang. Tetapi, air mata tak bisa ditolaknya, mengalir membelah pipinya. Beberapa kali dia mengusap-usap perutnya.
“Lantas mengapa Bahris tega meninggalkanmu dengan keadaan seperti ini?” kataku memburu. Aku pun larut dalam kesedihannya.
“Dia hanya mencoba menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami, yakni menafkahi istri. Saat awal musim hujan, Kang Bahris masih bisa bertahan meskipun beberapa minggu itu dia sudah tidak melaut karena cuaca tak menentu. Seiring dengan jatah makanan yang mulai hampir habis, Kang Bahris merasa tepanggil: sudah selayaknya dia kembali mencari nafkah. Sulit di sini mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan selain menjadi nelayan.”
“Kau tahu di mana tempat suamimu bekerja?”
“Entahlah, aku tidak tahu dia berada di mana. Tapi yang jelas Kang Bahris pergi, diajak Ki Urat, bekerja sebagai tenaga serabutan. Sebulan yang lalu dia mengirimiku banyak uang. Katanya uang itu adalah hasilnya yang bekerja sebagai kuli bangunan. Dia juga mengatakan bahwa dalam beberapa minggu ini akan pulang,” katanya. Napasnya mulai tak teratur karena mencoba memulangkan kesedihan ke dalam hatinya.
Ah, begitu keraskah hidup menjadi nelayan. Bukankah mereka selalu pergi dengan lambaian tangan dan pulang dengan keceriaan? Mendengar nasib Bahri, aku kembali teringat keadaan dan kisah para pemburu matahari. Mungkinkah Bahri masih belum menemukan matahari yang pantas dibawa pulang dan dipersembahkan pada istrinya? Seandainya dia bisa berpikir jernih bahwa matahari itu telah mampir di tubuh istrinya, niscaya dia akan takut dengan kerinduan.
Kampung Cerita 04.36 AM
Mereka adalah para pemburu matahari. Para nelayan akan mengejarnya ke tengah laut jika matahari mulai tenggelam. Tentu, para pemburu itu akan kembali keesokan harinya dengan membawa matahari.
Sampai di kampung nelayan, tempat dimana aku dilahirkan, aku tekagum-kagum. Bukan hanya pantainya yang menebar pesona, tetapi rumah-rumah mereka yang sederhana, berjejel, dan menghadap ke laut turut pula menebarkan kesan yang istimewa. Tentu, pemandanga ini bukanlah sesuatu yang asing bagiku. Tetapi kerinduan tetaplah kerunduan: semakin lama berpisah, semakin mesra saat berjumpa. Ya, begitulah.
Aku teringat akan kisah nenek ketika masih kecil. Bahwa kehidupan para nelayan tak jauh berbeda dengan kehidupan anak-anak ikan di laut. Mereka akan terus bersama, saling melengkapi dan melindungi. Tak ada nelayan melaut berangkat sendirian. Mereka akan membentuk kelompok-kelompok dan hasilnya dibagi rata. Tapi sayang, kisah dari nenek itu tak bisa aku lanjutkan kembali. Cerita itu adalah yang terakhir kalinya aku dengar sebelum nenek terlelap dalam tidur panjangnya.
Pada penghujung musim hujan ini, kusempatkan diri kembali ke kampung halaman setelah hampir lima tahun aku tinggalkan. Kebetulan, proposal skripsiku yang diseminarkan diterima, meskipun ada beberapa catatan-catatan kecil yang harus dibenahi. Sejak lulus SMA dan melanjutkan kuliyah ke Jogjakarta, inilah pertama kalinya aku kembali ke Madura. Sengaja memang aku tak pernah pulang pulang. Disamping ongkos transportasi yang cukup mahal, aku juga ingin ketika melepas kerinduan diwarnai dengan derai haru.
Hari pertama kusempatkan berjalan-jalan di pantai. Kebetulan, siluet senja pada waktu itu cukup indah walaupun dikelilingi awan kelabu. Aku rindu pada mereka, para pemburu matahari. Para peburu itu telah mempersiapkan diri untuk berlayar. Mengejar matahari. Segala kebutuhan dinaikkan ke atas perahu. Aku membayangkan jala yang dipegang mereka, nanti bukanlah berisi ikan-ikan, melainkan matahari. Ah, aku sepertinya telalu terhipnotis dengan cerita itu.
Hanya ada satu dua perahu yang siap berlayar. Meskipun musim hujan akan segera usai, banyak nelayan yang tak berani melakukan pelayaran. Kualihkan pandanganku dari para pemburu itu. Di ujung selatan, sekitar seratus meter dari tempatku berdiri, aku melihat seorang perempuan sedang menatap senja. Ya, aku mengenalinya. Perempuan itu Maemunan, teman sekelasku waktu SMA. Aku sempat jatuh cinta pada perempuan itu, tapi tak ada keberanian untuk medekatinya. Entahlah, apakah saat ini perasaan itu masih ada atau tidak.
Sore itu, aku tak memiliki keberanian untuk menyapanya. Aku ragu apakah ia masih akan bersikap seperti dulu, atau sudah berubah. Butuh beberapa waktu untuk aku menyesuaikan diri, walaupun di sini adalah kampungku sendiri.
Aku pergi. Maemunah tetap menatap matahari yang akan diburu oleh para pemburu itu.
Sungguh miris mendengar nasib para nelayan beberapa bulan ini. Kata emak, beberapa lelaki di kampungku merantau ke kota bahkan sampai ke luar negeri. Anak dan istri terpaksa ditinggalkan. Cuaca yang buruk membuat mereka tak bisa melaut. Akibatnya, mereka harus membanting tulang, mencari pekerjaan lain untuk menafkahi keluarga mereka. Nelayan yang hanya memasrahkan penuh kehidupannya pada laut membuat mereka kelimpungan untuk mencari pekerjaan lain jika cuaca sudah tidak bersahabat. Ah, selalu saja demikian.
Setiap kali aku pergi ke pantai, setiap kali itu juga aku melihat Maemunah mematung di sana. Wajahnya kaku. Tatapannya sendu. Mengapa ia selalu di sana? Seperti yang aku kenal ia bukan penikmat senja. Ataukah Maemunah sedang menunggu sesuatu? Atau barangkali dia merasa kesepian? Sore itu, kusempatkan diri untuk menyapanya. Siapa tahu dia masih mengenaliku. Seperti dulu. Apa adanya.
“Maemunah, kau ingat aku,” kataku sedikit gerogi. Dadaku sedikit bergelombang. Mungkin karena perasaan itu masih ada.
Dia menatapku. Lama. Beradu mata. Tanpa kata. Kuperhatikan seluruh tubuhnya. Ternyata dia tetap seperti dulu: cantik dan mempesona. Aku kembali terkenang masa-masa SMA lagi. Bersama dalam tawa. Namun, sepertinya dia sedikit gemuk. Perutnya buncit. Itulah mengapa aku sedikit kaget saat melihatnya.
“Slamet, kaukah itu?” kata Maemunah menarik kedua alisnya.
“Ya, aku Slamet. Aku kira kau sudah lupa pada diriku.”
“Ah, mana mungkin aku lupa dengan orang yang paling menjenggelkan di kelas,” katanya renyah. Lantas, kita saling beradu tawa. Tanpa sadar, waktu telah menyeret aku dan Maemunah pada masa lalu.
“Aku perhatikan, setiap pagi dan sore kau selalu berada di sini. Apa kau suka fajar atau senja?” kataku manja. Lepas kata itu, Memunah kembali menatap senja.
“Aku sedang menunggu Kang Bahris pulang,” katanya sendu. Tangan kanannya memengang perutnya yang buncit. Aku mulai mengerti, meski masih belum tahu pasti.
Mendengar nama itu disebut, aku teringat pada teman SMAku lagi. Ya! Bahris. Ternyata lelaki tambun berkulit hitam itu berhasil mempersunting Maemunah, perempuan yang diincarnya sejak masih duduk di Sekolah Dasar. Aku sedikit cemburu. Ah, betapa beruntungnya kau kawan! Begitulah kilahku.
“Oh, selamat ya! Saya baru tahu sekarang kalau kawanku itu amat beruntung sekali memiliki seorang istri secantik kamu,” kataku menggoda. ”Kapan kau menikah dengannya?”
“Sudah hampir setahun. Tapi, setelah berjalan empat bulan, saat jabang bayi ini masih berusia tiga bulan, dia pergi meninggalkanku sendiri,” katanya pelan. Aku mulai menangkap ada kesedihan di matanya.
“Pergi? Maksudmu ia menghianatimu?”
“Jika ia menghianatiku tidak mungkin aku berdiri disini menunggunya pulang. Kang Bahris pergi karena aku dan calon bayinya ini,” raut mukanya nampak tenang. Tetapi, air mata tak bisa ditolaknya, mengalir membelah pipinya. Beberapa kali dia mengusap-usap perutnya.
“Lantas mengapa Bahris tega meninggalkanmu dengan keadaan seperti ini?” kataku memburu. Aku pun larut dalam kesedihannya.
“Dia hanya mencoba menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami, yakni menafkahi istri. Saat awal musim hujan, Kang Bahris masih bisa bertahan meskipun beberapa minggu itu dia sudah tidak melaut karena cuaca tak menentu. Seiring dengan jatah makanan yang mulai hampir habis, Kang Bahris merasa tepanggil: sudah selayaknya dia kembali mencari nafkah. Sulit di sini mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan selain menjadi nelayan.”
“Kau tahu di mana tempat suamimu bekerja?”
“Entahlah, aku tidak tahu dia berada di mana. Tapi yang jelas Kang Bahris pergi, diajak Ki Urat, bekerja sebagai tenaga serabutan. Sebulan yang lalu dia mengirimiku banyak uang. Katanya uang itu adalah hasilnya yang bekerja sebagai kuli bangunan. Dia juga mengatakan bahwa dalam beberapa minggu ini akan pulang,” katanya. Napasnya mulai tak teratur karena mencoba memulangkan kesedihan ke dalam hatinya.
Ah, begitu keraskah hidup menjadi nelayan. Bukankah mereka selalu pergi dengan lambaian tangan dan pulang dengan keceriaan? Mendengar nasib Bahri, aku kembali teringat keadaan dan kisah para pemburu matahari. Mungkinkah Bahri masih belum menemukan matahari yang pantas dibawa pulang dan dipersembahkan pada istrinya? Seandainya dia bisa berpikir jernih bahwa matahari itu telah mampir di tubuh istrinya, niscaya dia akan takut dengan kerinduan.
Kampung Cerita 04.36 AM