Gerakan feminisme sampai saat ini tidak pernah habis diperbincangkan. Era globalisasi menjadi justifikasi atas maraknya diskursus tentang kesetaraan gender. Sains dan teknologi menyuguhkan dimensi baru bahwa sudah selayaknya perempuan keluar dari nilai dan norma yang selama ini hanya terbatas pada ranah domestik, melayani suami dan mengurus anak; sudah selayaknya dikotomi antara laki-laki dan perempuan dalam ranah publik harus segara diakhiri. Demikian sublimasi pemikiran yang dibingkai dengan gerakan oleh kaum femenisme.
Namun begitu, terdapat paradigma yang kurang etis tatkala para “pejuang” perempuan menggembar-gemborkan emansipasi wanita dengan menjunjung tinggi kesetaraan gender. Gerakan feminisme sebenarnya hanyalah semakin menampakkan kelemahan perempuan dari segala sisi. Hak dan kewajiban mereka di bawah kasta laki-laki.
Kelemahan yang selama ini menjadi stigma negatif perempuan memojokkannya dalam ranah ketidakadilan. Padahal, dibalik “kelemahan” itu tersimpan kelembutan yang tidak pernah dimiliki oleh laki-laki mana pun. Kelemah-lembutan (lemah dan lembut) perempuan itulah yang menunjukkan eksistensi dirinya.
Laki-laki amat membutuhkan pada kelembutan seorang perempuan sebagai tempat untuk menuangkan segala rasa. Kebutuhan inilah yang membuat Adam memerlukan kehadiran manusia lain selain dirinya untuk bisa diajak berbagi. Lalu, Adam memohon kepada Allah agar membuatkannya pendamping hidup. Allah mengabulkan permintaan itu dan terciptalah perempuan pertama kali yang diambil dari tulang rusuk Adam sendiri, yakni Hawa. Bagi saya, tulang rusuk merupakan ilustrasi bahwa laki-laki dan perempuan tidak dapat dilepaspisahkan dalam menapaki terjalnya kehidupan.
Peran dan fungsi perempuan tidaklah bisa dihapus oleh bayangan laki-laki. Berada dalam ruang domestik bukanlah hal yang mudah. Perempuan membutuhkan ketajaman pikiran, tenaga, serta emosi untuk mengatur stabilitas dan keharmonisan rumah tangga. Dalam pandangan filsafat, perempuan dianalogikakan sebagai ruh, sedangkan laki-laki adalah jiwanya.
Peran yang seringkali disepelekan oleh perempuan (feminisme) sendiri adalah mengurus dan mendidik anak. Mereka menganggap mendidik anak adalah urusan sepele. Semua bisa mengurusnya. Padahal tidak. Laki-laki tidak akan bisa mengantikan peran perempuan karena laki-laki tak pernah memiliki kelembutan seperti yang dimiliki olehnya.
Aristoteles mengatakan bahwa perempuan bersikap pasif dan representatif, sementara pria aktif dan produktif. Karenanya, Aristoteles yakin bahwa semua sifat anak terkumpul lengkap dalam sperma laki-laki. Laki-laki menyediakan “bentuk” sedangkan peempuan menyediakan “substansi”. Demikian juga sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 223, Allah berfirman: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki…”. Jika laki-laki memiliki otoritas penuh atas perempuan, maka perempuan memiliki otoritas penuh untuk mengatur pertumbuhan sifat-sifat laki-laki yang akan diturunkan pada anaknya; mengatur perkembangan fisik, otak, dan karakter anak. Disinilah peran dan fungsinya tak pernah bisa tergantikan karena laki-laki tidak pernah bisa menandingi kelembutan yang dimiliki oleh perempuan.
Perempun harusnya berpikir lebih etis lagi bahwa peran dan fungsinya amat signifikan untuk melahirkan manusia yang khairu ummah, sebaik-baiknya manusia. Menjadi ibu rumah tangga lebih mulia dari kedudukan apa pun. Kelembutan yang dimiliki oleh perempuan telah mendudukkannya pada singgasana kemuliyaan. Itu sebabnya mengapa Rasulullah ketika ditanya oleh seorang sahabat tentang orang yang harus dimuliakan, beliau menyebutkan nama “ibumu” sampai tiga kali, kemudian “ayahmu”. Dan, surga itu bukan berada di kaki ayah, tetapi berada di bawah kaki ibu.
Jadi, “kelemahan” perempuan bukanlah cela, melainkan sebuah mahkota. Rumah tangga yang dibina dengan baik adalah embrio lahirnya bangsa yang baik pula. Yang paling dibutuhkan adalah pemberdayan kualitas diri untuk menjadi orang yang paling berarti dalam hidup ini. Domestik bukanlah penghalang untuk mewujudkan semua itu. Saya sempat berpikir, sendainya perempuan sadar akan ruang dan geraknya pasti tidak akan pernah merasakan keterbelakangan dan terbuang dari publik. Ah, seandainya bukan seandainya.
0 comments:
Post a Comment