Sunday, January 16, 2011

Rembulan di atas Celurit

Jika ada seorang yang bertanya tentang apa yang diinginkan dalam hidup ini, jawabnya pasti beragam. Namun, dari keberagaman itu, aku yakin semua akan bermuara pada satu titik simpul; kebahagiaan. Tapi kita hanya bisa menjalani hidup. Tidak punya daya kekuatan untuk mengatur nasib.

Hal itu yang menimpa hidupku, kini. Aku ingin memetik kebahagiaan. Keinginan yang diimpikan banyak orang itu seakan tidak pernah berpijak dalam hidupanku. Kesedihan tak bisa aku sembunyikan ketika harus mengakhiri sekolah hanya sampai kelas 2 MTs. Air mataku mengalir sendiri tanpa aku sadari. Jiwaku merintih. Aku harus menjadi tumbal atas hidup yang begitu sulit ditaklukkan. Aku tidak bisa mengelak dari paksaan ayah untuk menikah dengan ki Jarot, tengkulak ikan yang berkuasa di daerahku, lantaran sudah tidak bisa melunasi hutang keluargaku yang menggunung. Siapa yang akan bahagia jika gadis 14 tahun akan memetik madu dengan pria yang sudah berkepala tiga? Dan aku akan menjadi istri ke empatnya .


Aku berlari ke tepi pantai. Mencoba mengajak ombak bercakap-cakap tentang elegi kehidupan. Siapa tahu dia bisa menghilangkan kesedihanku. Namun, yang aku dapatkan hanyalah kecemasan gemuruh ombak yang menggulung menampar tebing. Angin dan ombak tidak mampu menerjemahkan perasaanku. Padahal, sehari sebelumnya, ombak itu telah menjadi saksi atas pertemuan terakhirku dengan Junaedi, seorang anak nelayan yang sederhana, yang telah dijodohkan denganku sejak aku masih berumur tujuh tahun.

"Keparat! Mentang-mentang tengkulak yang kaya. Seenaknya saja menindas kaum lemah. Dasar Lintah Darat!" kata Junaedi. Berang. kilatan api terpancar di matanya.

“Maaf, Jun. Jangan kau menafsirkan pilihan ini sebagai bentuk kekalahan atau bentuk penghianatan. Besok malam, kita sudah tak mungkin lagi bertemu. Aku minta maaf atas janjiku selama ini. Aku merasa telah menjadi penghianat dan tak dapat mewujudkan mimpi kita. Percayalah! Di hatiku, hanya ada cintamu.”

Hening merayap seperti ular. Tak ada sepatah katapun yang terucap. Sakit sekali meninggalkannya terpaku sendiri menatap deburan kecemasan ombak kecil. Tatapannya kosong saat langkahku semakin menjauh. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Di desaku, seorang perempuan bagaikan boneka, diperlakukan sesuai kehendak pemiliknya. Jika orang tua sudah saling setuju, anak tidak boleh membantah.

Matahari mulai separuh ditelan laut. Warna senja menghiasi sudut-sudut pantai. Malam sebentar lagi berkelebat direrantingan. Melihat senja di bibir pantai, sulit aku tinggalkan. Tapi apalah daya, aku harus pulang karena usai solat isyak nanti ada pertemuan antar keluarga. Ini biasa dilakukan oleh keluarga kedua pasangan untuk mendengar nasehat-nasehat para kiyai sepuh sebelum ijab-qabul benar-benar terucap. Pada persidangan keluarga itu, Ki Jarot datang bersama tiga anak buahnya. Sudah tidak pantas lagi Ki Jarot didampingi orang tuanya.

Batinku menangis. Aku diharuskan duduk di sampingnya.

"Anak yang manis, kau cantik sekali." Dasar lintah darat, Batinku

"Sudah berapa kali kau pergi ketanah suci? Dan apa hasilnya?"

"Manis, bukankah nabi kita juga beristri lebih dari satu? Al-Qur'an juga telah mengajarkan kalau kita boleh beristri lebih dari satu. Kau masih kecil. Tahu apa tentang agama. Beraninya berkata demikian," Ki Jarot marah dengan ucapanku. Biarlah dia sedikit merenungi akan status hajinya, agar tidak terkesan berwisata reliji ke tanah suci.

"Kau salah menafsirkan, tuan. Agama tidak akan mempersulit pengikutnya. Apakah kau bisa berbuat adil? Seperti apa ukurannya? Ingat! Nabi beristri lebih dari satu karena ada alasa lain yang lebih mendasar. Bukan berdasarkan nafsu." ucapku tak mau mengalah.

Ucapanku membuat Ki Jarot naik pitam. Persidangan itu menjadi kacau. Dalam perdebatan itu, aku menemukan kemenangan meskipun pada akhirnya aku harus menanggung ucapan itu. Ayah menyeretku paksa masuk ke dalam kamar. Aku dicaci, anak tak tahu diuntung. Ayah tidak lagi memandangku sebagai seorang anak, melainkan sebagai barang yang akan dibarter dengan uang dan hutang.

Malam yang indah bertabur bintang-gemintang. Cahaya bulan rebah di atas melati-melati yang sudah ditabur di halaman. Di dalam kamar, aku menangis sendiri menatap diriku di cermin yang sudah berhias melati. Keindahan yang dipancarkan bulan dan bintang berbanding terbalik dengan apa yang aku rasakan. Sebentar lagi bunga itu akan layu seumur hidup.

“Sudah siap, Nduk ?” Dari cermin, kupandangi wajah emak yang mulai nampak keriput. Matanya sembab. Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya ketika air matanya menghujani gaun pengantinku. Aku jatuh dipelukannya. Kepasrahan adalah jalan terakhirku. Mengapa emak tak bisa berbuat apa-apa? Begitu rendahkan seorang perempuan di mata lelaki? Ah, aku tak ingin menyalahkannya. Perempuan memang terlalu rendah di mata lelaki.

“Ki Jarot, keluar kau!” tiba-tiba ada suara lantang dari luar mengagetkan kami. Aku mengenalinya. Oh…tidak. Itu suara Junaedi. Dia mengenakan kaos putih, celana hitam komprang, dan sarung yang diikat di pingangnya. Anak hasil didikan alam itu telah menampakkan keberingasannya sebagai putra Sagoro . Kengerian terpancar dari sebilah celurit yang diangkatnya tinggi-tinggi.

“Hai, bocah ikan teri, bosan hidup ya?” Di tengah kumpulan para anak buahnya, Ki Jarot berdiri di atas kesombongannya.

“Aku ingin membuat perhitungan denganmu, Lintah Darat!” suara kekasihku begitu lantang. Membuat dadaku semakin sesak. Semoga tidak akan terjadi apa-apa dengannya.

“Apa? Anak bau kencur sepertimu ingin buat perhitungan. Memangnya mau belajar Matematika?” Tawanya pecah, lantas diikuti oleh semua anak buahnya.

“Katembheng pote mata, bengo’ pote tolang. ” Sesumbar Junaedi.

Hanya dengan mengangkat kedua tangan Ki Jarot, seluruh anak buahnya telah mengepung Junaedi. Malam itu menjadi persaksian manusia yang disulut emosi. Kelebatan bayangan nafsu manusia yang bermain-main dengan nyawa. Celurit berayun-ayun tak tentu arah memamerkan kilatan singkat yang sempat tergores. Teriakan-teriakan lantang menggema. Melati-melati itu terinjak oleh kaki-kaki liar. Aku menititkkan airmata dan menjerit sejadi-jadinya dipelukan emak.

“Mati kau, bocah!!!”

“Tidak…!" Teriakku lantang.

Seperti angin yang membawa kabar duka, seperti itu pula aku terbang mendekatinya. Menyisir luka yang kesekian kalinya. Hidupku hancur berkeping-keping saat ujung celurit menggores bagian perut kiri Junaedi. Mereka tak segan-segan membacok inci demi inci kulitnya. Darah adalah tetesan perjuangan yang berakhir dengan kematian.
Aku menyentuh luka yang menganga di perutnya, berusaha merapatkan kembali kulit yang usus-ususnya hampir keluar. Aku meraih celurit yang masih melekat genggamannya. Tawaku pecah. Aku merasa celurit itu adalah maskawin yang akan diberikan Junaedi bila saatnya nanti. Saat melati-melati kembali bermekaran hingga ketajaman celurit berkisah tentang kematian.

Annuqayah, 2009

0 comments: