Munculnya novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abdidah El-Khalieqy sekaligus difilmkan dengan judul yang sama yang dibintangi oleh artis cantik Revalina S Temat membuat geger masyarakat pesantren. Pasalnya, tema yang diangkat adalah kesetaraan gender.
Mengapa demikian? Diskursus tentang gender dalam novel itu bertentangan dengan konsep yang diajarkan dalam pesantren yang berpaham Ahlussunnah Wal Jamaah. Kesetaraan gender ataupun emansipasi wanita merupakan salah satu “agenda” yang sering dibahas oleh kaum liberalis semacam John Hick, Wilfred, Cantwell Smith, Charles Kimball, sampai pada Ahmad Wahib, Norcholish Madjid, Ulil Absor Abdallah, dan para antek-anteknya. Banyak kalangan pesantren yang merasa kebakaran “jenggot” setelah novel dan film itu diluncurkan. Nah, munculnya Novel KEMI: Cinta Kebebasan yang Tersesat ini, kata Taufik Ismail, sebagai antitesis dari novel Abidah yang telah dianggap mencoreng-moreng wajah pesantren.
Kemi (Ahmad Sukaimi), pemuda pintar dan cerdas santri Kiyai Aminuddin Rois, pengasuh PP Minhajul Abidin. Dia berhenti mondok dan ingin melanjutkan kuliah ke salah satu perguruan tinggi di Jakarta tanpa alasan yang jelas. Ada kejanggalan di mata kiyai dan Rahmat sahabatnya, setelah tahu yang menjemput Kemi adalah Farsa, jebolan pesantren Minhajul Abidin yang bergabung dalam kelompok aktivis liberal. Mungkinkah motif kepergiannya dari pesantren karena Farsa? Itulah yang menjadi kebimbangan sahabatnya.
Jelang setahun, Rahmat, pemuda yang terkenal pintar, cerdan, sekaligus tampan pergi ke Jakarta membawa misi yang diemban dari kiyainya; mencari tahu alasan Kemi sebenarnya. Di tempat Kos Kemi, Rahmat berbincang santai dengan Kemi. Mulanya, permbincangan itu hanya seputar perkembangan pesantren selama ditinggalkannya. Tetapi kemudian merambat pada persoalan aktivitas Kemi: persoalan Kemi bergabung dalam kelompok aktivis leberal, perbincangan nama “liberal” dalam islam, murta’addin, sampai perbincangan serius tentang hakekat agama serta persoalan teologi; menyoalkan eksistensi Tuhan.
Di Institut Damai-Sentosa, kampus Kemi dan kolompok liberal, Rahmat bertemu Siti, feminis liberal berdarah biru yang getol menyuarakan liberalisasi Islam, kesetaraan gender, dan pluralisme agama, hingga tak lagi membedakan dirinya apakah laki-laki atau perempuan serta menentang RUU Antipornografi dan Pornoaksi.
Pada pertemuan kuliah pertama, Rahmat memukul telak dosen sekaligus rektornya Prof. Malikan ketika menerangkan mata kuliah Metodologi Studi Agama-Agama. Rahmat menyanggah pernyataan-pernyataan profesor itu yang menyatakan bahwa melihat agama dari sudut pandang agamanya sendiri adalah subyektif. Keabsahan agama harus dipandang obyektif dan tidak ideologis sehingga melahirkan pandangan yang adil. (hal.162)
Rahmat mencerca dengan beberapa pertanyaan yang menohok yang pada intinya mengkritik pandangan obyektif dan netral pada agama. Tidak obyektif (juga) jika orang yang mengaku islam memandang persoalan agama di luar agama yang dianutnya, tidak eksklusif. Disinilah celah Rahmat membombardir logika-logika Transenden Unity of Religion Prof. Malikan sebagaimana yang pernah dilakukannya pada Kemi.
Selain kasus Siti, persoalan kesetaraan gender dikupas terpisah—diluar kisah Kemi, Rahmat, dan Siti—oleh pria yang lahir pada tanggal 17 Desember 1965 itu. Yakni wawancara ekslusif Bejo Sagolo, wartawan “nakal” dari majalah wanita PAGINASIA dengan Doktor Demiwan Ita, seorang aktivis gender yang getol menyuarakan emansipasi wanita dengan jargon feminisme. (Bab tujuh)
Tidak hanya itu, penulis yang telah menerbitkan puluhan buku tentang pemikiran dan peradaban islam ini secara gamblang menyajikan praktik “abu-abu” dalam dunia liberalisme. Peta percaturan pemikir global dan LSM-LSM barat yang menyerbu islam secara lugas dipaparkan di buku ini. Meskipun novel termasuk karya fiksi, tetapi tidak mempengaruhi gambaran bagaimana kaum liberalis mempraktikkan dan menjajakan produk-produk “isme-ismenya” ke ranah pendidikan islam.
Adian Husaini sangat lihai mengolah logika dalam wacana pemikiran Islam klasik-kontemporer yang merupakan dua poros berbeda, seperti yang tampak pada karakter tokoh Kemi dan Rahmat. Menyelami novel ini tidak jauh berbeda dengan membaca buku ilmiah. Logika yang dibangun dalam dialognya memang terkesan “provokatif” (utamanya mengenai gender) ketika dihadapkan pada khazanah pemikiran kontemporer, akan tetapi disinilah juga letak kelebihan novel ini karena si penulis juga menyetir pemikiran pembaca untuk tetap berada pada keyakinan islam yang sebenarnya.
Banyak kecacatan yang saya temukan dalam buku ini pada aspek kesalahan ketik dan penempatan titik koma. Meskipun tidak banyak akan tetapi sangat mengganggu karena menyangkut nama atau lembaga. Misalkan: Pak Mailkan (hal. 160), Unternet, serta dalam kalimat “Rahmat itu adalah pesantrennya.” tak sempurna (hal.299). Lebih parah lagi nama Kiyai Amin “tertukar” dengan nama Kiyai Rois (hal.295). Kesalahan-kesalahan semacam ini menunjukkan bahwa penulisan novel ini terkesan tergesa-gesa.
Kendati demikian, Novel ini tetap meneguhkan daya tarik luar biasa! dengan gaya tutur yang khas dan alur cerita yang “fantastik” dapat membawa pembaca ke alam ilmiah dan berimajinasi mengenai kondisi yang benar-benar menjadi tantangan umat Islam—dengan setting kota metropolitan, Jakarta. Pembaca akan memperoleh wawasan tentang otentisitas khazanah keilmuan ulama Islam klasik yang terdapat dalam karya-karyanya, dengan “permainan” logika yang rasional. Novel ini bagus untuk dikoleksi muslimin sebagai “acuan ringan” untuk membentengi iman dari pemikiran-pemikiran yang saat ini banyak menggerogoti identitas dan keabsahan Islam kita. Wallahu a’lam.