Bayanganmu selalu menghadirkan keindahan pada setiap jejak langkah menapaki jalan kelabu. Dimana ilustrasi itu selalu muncul tatkala sunyi merenggut nyawaku. Ya! Sunyi merayap mendahului bahasa jiwa tak terjewantahkan. Aib pun tak bisa menjalar saat desiran angin mengabarkan berita hati. Dan, perasaan menyatu dengan aliran darah. Kaku tak terangkai pada muara pengaduan.
Kau sinari hati ini dengan seberkas cahaya dari kilau matamu. Aku lelah manakala harus melewati titik-titik terjal, mencari kepastian tanpa seorang yang memapahku di gelapnya dunia. Aku ingin sekali tidur dari mimpi-mimpi yang kau hadirkan. Dalam tembang syahdu, bersama mimpi-mimpimu, aku menemukan sesuatu yang sagat janggal.
Sungging senyum manis yang kau lukis dari bibirmu yang ranum menghadirkan abjad-abjad cinta, yang harus aku eja satu persatu. Melantunkan syair-syair asmara, yang harus aku hafalkan bersama iramanya. Bersamaku kau harus berdendang.
Aku menoleh ke kanan atas. Terniat dibenakku mengukur seberapa jauh Ratu malam menggantikan Raja siang. Detak-detak jam dinding membahana, jelas sekali detakan itu. Aku keget ketika aku peroleh jawabannya. 01:15 WIB. Tengah malam kulewati lagi dengan puing-puing kenistaan.
Di saat semua makhluk terlelap bersama bungan tidur mereka, aku malah menyongsong malam sendiri, menemani suara binatang malam yang selalu mengisi aktivitasnya di malam sunyi. Sebaliknya, ketika manusia terbangun dari tidurnya, eh, malah aku yang bergelut dengan bantal dan selimut.
Aku terlempar bersama angan, Bola mataku menghujam hampa ke arah jendela. Aku menemukan sesuatu yang aneh, memikatku untuk menghampirinya. Aku buka jendela. Rembulan tersenyum di balik pohon. Di antara kejaran awan, bulan menyapaku lembut.
Bulan semakin meninggi. Mendendangkan tembang untuk melengkapi nikmat lelapnya para mahluk dalam tidur. Bulan tersenyum. Ia mengajakku terbang bersamanya. Mengarungi malam yang sarat akan teka-teki dunia.
Aku merasa tubuhku menjadi ringan. Lalu, terbang mendekati bulan. Ia mengajakku menari-nari seperti tarian para ahli sufi. Berputar tak tentu arah. Aku menikmatinya. Aku berkhayal, seandainya ada kekasih yang selama ini aku puja, aku pasti bertambah bahagia.
Aku berputar.
Merentangkan tangan.
Memejamkan mata.
Terus berputar.
Tiba-tiba aku berada di sebuah rumah yang mirip sebuah kastil pada jaman yunani kuno. Rumah itu bertiang delapan. Atapnya terbuat dari emas dan alasnya dari kaca. Oh, dimana aku sekarang? Ini bukan duniaku. Tempat ini terlalu indah bagu orang sepertiku. Aku ingin dunia yang layak untuk aku huni, yang tak ada penyesalan jika aku merusaknya.
Lalu, seorang dengan suara menggema datang padaku. Aku tak tahu apakah ia laki-kali atau perempuan. Pakaiannya aneh. Tubuhnya hanya ditutup dengan kain putih yang sangat tranparan. Membuat lekuk tubuhnya terpahat abadi.
“Selamat datang, wahai pemuda. Selamat datang di dunia yang penuh kedamaian,” suaranya mengggaung. Menggetarkan tempat itu.
“Siapa kau?”
“Aku adalah penjaga Surga Cinta. Aku tahu kau sedang jatuh hati. Menjadi pemuja rahasia pada seorang yang membuatmu gelisah melewati malam-malammu. Hari ini aku datang untukmu. Untuk membantumu.”
Mengapa dia bisa tahu kalau aku sedang menjadi pemuja rahasia. Apakah ia juga tahu kalau aku hanya mengenal wanita itu hanya melalui sketsa wajahnya, tanpa sekali pun berucap dan bertutur sapa?
“Hai, pemuda, jangan hanya berbisik dengan hatimu sendiri, karena kau tak akan pernah menemukan kepastian.”
“Baiklah, aku ingin kau menaklukkan hatunya padaku. Kabarkan kalau aku menjadi mengagumnya. Kabarkan pula kalau aku inngin mengarungi hidup bersamanya. Aku ingin pulang bersamanya,” aku menantangnya.
Mahluk itu merentangkan tangan. Dengan segala kekuasaanya, ia menatap langit. Kain putih yang melilit di tubuhnya seketika koyak menjadi kepingan-kepingan bidadari. Membentuk lingkaran. Mengelilingiku. Mereka menari. Berputar. Mengajakku manari dan memanjatkan doa-doa. Semakin aku berdo’a, tubuhku semakin ringan mengawang.
Tuhan, pertemukanlah cintaku dengannya. aku ingin mengajaknya menari. Merasakah getar cinta yang aku rasakan. Setelah itu, izinkan Aku pulang bersamanya.
Bidadari-bidadari itu seketika berhenti menari. Mereka menertawaiku. Mengejekku, kalau yang aku lakukan ini adalah paling tololnya perbuatan manusia. Mereka lenyap seketika. Hanya gaung yang kudengar.
Aku tersungkur ke atas lantai. Kepalaku pening. Lho, mengapa bulan menjadi matahari? Aku ingin pulang bersamanya.
.
Kosambhi, 2010
sudah dipublikasikan di Radar Madura
pada tanggal 14 Maret 2010
Kau sinari hati ini dengan seberkas cahaya dari kilau matamu. Aku lelah manakala harus melewati titik-titik terjal, mencari kepastian tanpa seorang yang memapahku di gelapnya dunia. Aku ingin sekali tidur dari mimpi-mimpi yang kau hadirkan. Dalam tembang syahdu, bersama mimpi-mimpimu, aku menemukan sesuatu yang sagat janggal.
Sungging senyum manis yang kau lukis dari bibirmu yang ranum menghadirkan abjad-abjad cinta, yang harus aku eja satu persatu. Melantunkan syair-syair asmara, yang harus aku hafalkan bersama iramanya. Bersamaku kau harus berdendang.
Aku menoleh ke kanan atas. Terniat dibenakku mengukur seberapa jauh Ratu malam menggantikan Raja siang. Detak-detak jam dinding membahana, jelas sekali detakan itu. Aku keget ketika aku peroleh jawabannya. 01:15 WIB. Tengah malam kulewati lagi dengan puing-puing kenistaan.
Di saat semua makhluk terlelap bersama bungan tidur mereka, aku malah menyongsong malam sendiri, menemani suara binatang malam yang selalu mengisi aktivitasnya di malam sunyi. Sebaliknya, ketika manusia terbangun dari tidurnya, eh, malah aku yang bergelut dengan bantal dan selimut.
Aku terlempar bersama angan, Bola mataku menghujam hampa ke arah jendela. Aku menemukan sesuatu yang aneh, memikatku untuk menghampirinya. Aku buka jendela. Rembulan tersenyum di balik pohon. Di antara kejaran awan, bulan menyapaku lembut.
Bulan semakin meninggi. Mendendangkan tembang untuk melengkapi nikmat lelapnya para mahluk dalam tidur. Bulan tersenyum. Ia mengajakku terbang bersamanya. Mengarungi malam yang sarat akan teka-teki dunia.
Aku merasa tubuhku menjadi ringan. Lalu, terbang mendekati bulan. Ia mengajakku menari-nari seperti tarian para ahli sufi. Berputar tak tentu arah. Aku menikmatinya. Aku berkhayal, seandainya ada kekasih yang selama ini aku puja, aku pasti bertambah bahagia.
Aku berputar.
Merentangkan tangan.
Memejamkan mata.
Terus berputar.
Tiba-tiba aku berada di sebuah rumah yang mirip sebuah kastil pada jaman yunani kuno. Rumah itu bertiang delapan. Atapnya terbuat dari emas dan alasnya dari kaca. Oh, dimana aku sekarang? Ini bukan duniaku. Tempat ini terlalu indah bagu orang sepertiku. Aku ingin dunia yang layak untuk aku huni, yang tak ada penyesalan jika aku merusaknya.
Lalu, seorang dengan suara menggema datang padaku. Aku tak tahu apakah ia laki-kali atau perempuan. Pakaiannya aneh. Tubuhnya hanya ditutup dengan kain putih yang sangat tranparan. Membuat lekuk tubuhnya terpahat abadi.
“Selamat datang, wahai pemuda. Selamat datang di dunia yang penuh kedamaian,” suaranya mengggaung. Menggetarkan tempat itu.
“Siapa kau?”
“Aku adalah penjaga Surga Cinta. Aku tahu kau sedang jatuh hati. Menjadi pemuja rahasia pada seorang yang membuatmu gelisah melewati malam-malammu. Hari ini aku datang untukmu. Untuk membantumu.”
Mengapa dia bisa tahu kalau aku sedang menjadi pemuja rahasia. Apakah ia juga tahu kalau aku hanya mengenal wanita itu hanya melalui sketsa wajahnya, tanpa sekali pun berucap dan bertutur sapa?
“Hai, pemuda, jangan hanya berbisik dengan hatimu sendiri, karena kau tak akan pernah menemukan kepastian.”
“Baiklah, aku ingin kau menaklukkan hatunya padaku. Kabarkan kalau aku menjadi mengagumnya. Kabarkan pula kalau aku inngin mengarungi hidup bersamanya. Aku ingin pulang bersamanya,” aku menantangnya.
Mahluk itu merentangkan tangan. Dengan segala kekuasaanya, ia menatap langit. Kain putih yang melilit di tubuhnya seketika koyak menjadi kepingan-kepingan bidadari. Membentuk lingkaran. Mengelilingiku. Mereka menari. Berputar. Mengajakku manari dan memanjatkan doa-doa. Semakin aku berdo’a, tubuhku semakin ringan mengawang.
Tuhan, pertemukanlah cintaku dengannya. aku ingin mengajaknya menari. Merasakah getar cinta yang aku rasakan. Setelah itu, izinkan Aku pulang bersamanya.
Bidadari-bidadari itu seketika berhenti menari. Mereka menertawaiku. Mengejekku, kalau yang aku lakukan ini adalah paling tololnya perbuatan manusia. Mereka lenyap seketika. Hanya gaung yang kudengar.
Aku tersungkur ke atas lantai. Kepalaku pening. Lho, mengapa bulan menjadi matahari? Aku ingin pulang bersamanya.
.
Kosambhi, 2010
sudah dipublikasikan di Radar Madura
pada tanggal 14 Maret 2010