Tuesday, March 2, 2010

Dermaga Penantian


Ole olang…
Paraona alajere
Ole olang…
Alajere ka Madhure
Sungguh indah pemandangan di tepi laut. Saat senja mengukir cakrawala. Dan matahari mulai tenggelam. Di tepian pasir basah itu, seorang gadis menatap kecemasan deburan ombak. Seakan ia ingin mengajak ombak ikut menuai kepedihannya. Ingin mengajak anak-anak ikan menghibur hatinya yang kelam oleh penderitaan.
Ia tak dapat mengelak paksaan ayahnya untuk menikah dengan Ki Kusno. Tengkulak ikan yang berkuasa di daerah itu. Di usianya yang masih menginjak 14 tahun dan masih duduk di kelas 3 SMP, Mona harus menikah dengan Ki Kusno yang telah berkepala tiga. Sebagai jaminan atas hutang keluarganya.
Mona akan menjadi istrinya yang ke empat. Dalam hatinya ingin berontak. Namun, tak punya kekuatan untuk melawan. Jika menolak, maka ia akan melihat orang tuanya teraniaya dan harus menanggung hutang segunung yang sulit dilunasi. Apalagi bunganya selalu bertambah.
Apabila orang tua sudah saling setuju, maka anak tidak boleh membantah. Apapun alasannya, jika tidak ingin disebut anak durhaka. Begitulah norma dikampungnya. Memang, kebanyakan dari teman-teman seusianya sudah banyak yang menikah dan punya anak. Tapi, Mona tidak ingin mengikuti kebiasaan penduduk kampung. Ia masih ingin merasakan pendidikan sampai akhir kuliah. Meski ia sadar hanya seorang anak nelayan yang miskin.
Lagipula Mona sudah punya prinsip hidup sendiri. Kekasih yang amat ia cinta dan sayangi. Ia tidak ingin menghianati pertunangannya yang sudah terjalin sejak ia masih berusian 9 tahun.
"Aku dengar kau akan menikah? Kemarin orang tuamu datang ke rumah dan membatalkan pertunangan kita. Mengapa orang tuamu begitu cepat berubah?" ucap Togal dibibir pantai.
"Aku tidak tahu harus berbuat apa. apa yang harus akan lakukan? Hidupku kini seperti perahu oleng. Entah, kemana harus menepi. Kamu kan tau sendiri seperti apa Ki Kasno dan seperti apa hutang ayahku padanya," Mona tak mampu membendung hujan kesedihan hingga tumpah dipangkuan Togal.
"Mestinya ayahmu tidak harus berbuat demikian. Bisa kan hutang dibayar dengan hutang?"
"Ayahku tak sanggup lagi menanggung hutang itu. Bunganya selalu bertambah membuat hutang ayah tambah banyak. Apalagi Ki Kusno hanya memberi jangka seminggu untuk melunasi semua hutangnya. Jika tidak, aku harus menikah dengannya."
"Keparat! Mentang-mentang ia tengkulak yang kaya. Seenaknya saja menindas kaum lemah. Dasar Lintah Darat!" Ujar Togal. Berang.
"Besok malam, kita sudah tak mungkin lagi bertemu. Aku sudah tidak diizinkan masuk sekolah. Aku minta maaf atas janjiku selama ini. Aku merasa telah menjadi penghianat dan tidak dapat mewujudkan mimpi kita. Percayalah! Di hatiku, hanya ada cintamu. Tak ada lelaki lain yang berlabuh."
"Kalau begitu, besok kita tinggalkan tempat ini. Aku akan siapkan perahu di ujung pantai menjelang maghrib, agar malam bisa menjadi tabir kita dari kejaran kaki tangan Ki Kusno. Kita pergi sejauh mungkin ke seberang pulau. Kita cari pulau yang terjauh dari sini agar tak seorang pun yang mengganggu."
Matahari mulai separuh ditelan laut. Warna senja mulai menghiasi sudut-sudut pantai. Malam sebentar lagi berkelebat direrantingan. Togal dan Mona pulang kerumah masing-masing. Rencana mereka sudah matang. PERGI. Mona akan memperjuangkan cintanya sekuat tenaga. Tak boleh ada orang yang mengusiknya. Cintanya kepada Togal, tak akan pernah goyah oleh sebuah paksaan untuk menyerahakan tubuhnya pada orang lain.
Setelah selesai sholat Isya', ada pertemuan antar keluarga. Ini biasa dilakukan oleh keluarga kedua pasangan untuk mendengar nasehat-nasehat para sesepuh. Namun, yang hadir hanya keluarga Mona. Sedangkan keluarga Ki Kusno tidak ada. Ia datang bersama tiga brewok gondrong. Sudah tidak pantas lagi Ki Kusno didampingi orang tuanya.
Mona dipanggil Ayahnya dan dihadapkan langsung kepada calon suaminya. Ia diharuskan duduk disamping Ki Kusno.
"Anak yang manis, kau cantik sekali," bisiknya begitu Mona didekatnya.
"Sudah berapa kali kau pergi ketanah suci? Dan apa hasilnya?"
"Manis, bukankah nabi kita juga beristri lebih dari satu? Al-Qur'an juga telah mengajarkan kalau kita boleh beristri lebih dari satu. Kau masih kecil. Tahu apa tentang agama. Beraninya berkata demikian," Ki Kusno menyindir mona yang mulai mengguruinya.
"Kau salah menafsirkan, tuan. Agama tidak akan mempersulit pengikutnya. Apakah kau bisa berbuat adil? Seperti apa ukurannya? Ingat! Nabi beristri lebih dari satu karena ada alasa lain yang lebih mendasar. Bukan berdasarkan nafsu." Ucap Mona penuh kemenangan.
Ki Kusno merasa tersakiti dengan ucapan Mona. Marah. Hajinya merasa disepelekan oleh gadis yang masih bau kencur, anak kemarin sore. Ia tak mampu mengontrol emosinya.
"Sarwi! Bagaimana cara kau mendidik anak. Lihatlah anakmu. Berani-beraninya berdebat denganku. Ingat! Jika besok kau masih belum bisa mendidik anakmu dengan benar, aku tak sudi menikahinya. Dan kau harus menanggung dua kali lipat jika pernikahan ini sampai gagal."
"Maafkan kami ki," ayah Mona seloroh.
Ki Kusno tak terima atas perlakuan Mona. Ia pergi dengan muka merah padam. Sedangkan Mona di seret paksa oleh ayahnya ke dalam kamar. Di kamar, Mona dilempar ke kasur hingga ia hampir terjungkal.
"Apa maumu? Kau ingin membuat kami hidup susah. Kau harus sadar, kita ini hanya ikan teri. Kita ini hanya nelayan miskin." Ayahnya mengumbar amarah.
"Tapi aku tak mau menikah dengannya," suara Mona serak.
"Kau jangan macam-macam. Janur kuning sudah terpasang di ambang pintu. Undangan sudah tersebar. Kalau pernikahan ini sampai batal, kau akan melihat orang tuamu celaka. Lupakah Togal. Dia tidak akan mampu membahagiakan kau."
Mona hanya bisa melewati malam bertabur bintang dan berhias rembulan itu dengan isak tangis yang begitu pilu. Menyanyat hati. Ia hanya bisa menyisir luka. Keindahan yang dipancarkan bulan dan bintang berbanding terbalik dengan apa yang ia rasakan.
Esoknya, ketika orang-orang sibuk dengan tugas masing-masing, tiba-tiba tuan rumah digegerkan dengan hilangnya pengantin perempuan. Orang tuanya kalut. Bingung. Begitu juga juga para brewok yang ditugaskan menjaga Mona kalang kabut.
Imbasnya, ibu Mona menjadi bulan-bulanan atas musibah ini. Umpatan-umpatan kotor dan kasar terus mengalir tak terkendali. Perempuan itu hanya menangis meratapi kemalangan nasib keluarganya.
Ini adalah sebuah petaka besar bagi mereka jika tidak cepat menemukan Mona. Mereka cepat bergerak, karena sebentar lagi senja akan tiba. Semua berpencar dan tetap menjaga suasana agar seakan tak terjadi sesuatu.
"Dimana rumah Togal?" Tanya si brewok sambil memegang gagang golok yang diikat dipinggangnya.
"Di ujung pantai, dekat sungai seruk," kata ayah Mona.
Para brewok secepatnya menuju rumah Togal. Takut semua akan terlambat. Karena acara pernikahan akan dimulai sehabis maghrib. Tepatnya setelah mega merah dimakan malam.
Senja sudah datang. Menabur kidung kecemasan.
Di perempatan jalan, para brewok melihat kelebatan bayangan Togal yang berlari kencang. Para brewok mengatur strategi. Berpencar ke segala arah. Tak lama kemudian Togal terkepung.
"Ha…ha…ha… bocah ingusan, dimana Mona kau sembunyikan?" bentak brewok.
"Aku tidak tahu. Sekali pun aku tau, buat apa aku memberi tahu pada kalian. Cuih…!" Jawab Togal sengit sambil memegang erat golok yang terselip dipinggangnya.
"Anak kadal! mau mati rupanya."
Di senjakala yang indah. Golok-golok berayun-ayun tak tentu arah. Memamerkan kilatan singkat yang sempat tergores. Diselingi teriakan-teriakan lantang keangkuhan. Debu-debu mengepul di udara bengis. Hingga yang nampak hanya sekelebatan bayangan nafsu manusia yang hampir tuntas.
Di ujung penantian, nampak bayangan seorang gadis yang hatinya cemas dan pilu di atas pasir basah. Sebelum matahari kembali ke peraduan, Mona bergegas menaiki perahu. Ia tak punya waktu lagi. Di matanya selalu terbayang Ki Kusno dan para brewoknya terus membuntuti. Tapi, dimana togal? Apakah ia mengingkari janjinya? Atau…
Tak lama berselang, para brewok berdatangan. Mona mengayuh sekuat tenaga agar mereka semakin jauh. Diantara brewok ada yang mencari perahu di sekitar. Namun, perahu yang ada semuanya sudah bocor. Jelas, ini perbuatan Togal.
Ketika kelam hadir merenggut. Ia beranikan diri memandang pantai yang sebentar lagi disapu malam. Udara terasa begitu menyelaksa. Angin seperti membeku. Mona menggigit bibir rapat-rapat. Terbayang olehnya kampung halaman di seberang laut. Juga wajah orang-orang yang di cintai.
Beberapa menit yang lalu, ia masih berada di tempat itu. Tempat mengukir pahit manisnya kehidupan. Apakah ia sanggup melupakan semuanya? Inilah yang mula-mula memembuat dirinya menyesal. Apalagi ketika sampai di dermaga, ia tidak menemukan Togal. Yang ada hanya perahu kosong dan kecemasan ombak bergulung meninggalkan pantai. Seakan berucap: selamat datang dilautan luas tak bertepi, kecuali dirimu menepi bila waktunya nanti.
Untuk menutupi kegelisahan hatinya, ia selalu membaca surat dari Togal yang ditinggalkan di perahu:
Bila aku tak datang
Berangkatlah duluan
Tunggulah di pulau seberang
Pasti aku datang
Percayalah!
Luk-ghuluk,2010
sudah dipublikasikan di Majalah Muara
edisi ke-32, 2010

0 comments: