Tuesday, January 26, 2010

Ruang Sunyi



Aku tahu. Tak mudah mengucapkan perasaan ini. Tak seperti menghadirkan kenangan-kenangan masa lalu itu. Berbeda saat aku yang tanpa beban mengajakmu berbicara dan berbagi pengalaman; tentang impian, cita, dan cinta. Bahkan tentang kriteria lelaki yang kau idamkan. Mulutku terkunci saat aku memasuki ruang dalam jiwa. Urung aku utarakan saat senyum dan tawamu pecah.
Sikapku seperti pembohong, pecundang, dan pembual. Sulit aku pasrah di atas takdir Tuhan. Tapi, aku punya cita dan cinta, bukan pula Tuhan yang merangkainya. Tuhan hanya memberiku cinta. Jadi, jangan salahkan aku bila aku menentang takdir-Nya. Apakah aku termasuk orang kafir? Aku rasa tidak demikian.
Aku bisa merangkai sendiri jalan hidupku. Tentang istri dan anak-anakku yang akan menungguku pulang dari tempat kerja, bila saatnya nanti. Yang akan menghiasi istana kecil dengan tawa renyah mereka.
Tak sekalipun Aku meragukan perasaanmu. Hanya saja, mungkin kau masih menunggu ucapan dariku—perempuan kan, memang seperti itu, pemalu. Sejak dahulu, aku tak ragu untuk mengatakan “cintamu adalah imanku, tapi imammu tetap adalah aku.”
Dari bening matamu yang tenang, tersulut cinta yang menyejukkan hati. Tubuhku berguncang saat kau mulai menarik secarik senyum. Ada getar hebat yang kurasakan. Lebih hebat dari rayuan Siti Zulaikha kepada Nabi Sulaiman. Aku bersaksi atas debur ombak di pantai Aeng Panas dan para nelayan yang telah mengibarkan layarnya. Aku ingin mengajakmu menari di atas angin yang berhembus. Di ruang bebas dan tersunyi. Berselendang sutera dan berhias melati.
Sebenarnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa kau dan aku sudah dijodohkan di tangan Tuhan. bahkan jika ingin jujur, tautan cinta pertamaku adalah kau, Vita Agustin. Rasa itu sudah tumbuh sebelum aku mengembara. Mencari kepingan-kepingan jati diri di pulau Madura ini. Lucu sekali jika aku mengenang kisah itu kembali. Tak pernah menyangka dan disangka. Terkadang aku tertawa sendiri mengenang masa lalu itu. Seperti kisah Surti dan Tejo dalam lagu Grup Band Jamrud. Benih cinta itu—menurutku—muncul dan dimulai saat kita masih memakai sepatu, berseragam putih, dan memakai celana pendek berwarna merah, saat menginjak kelas empat SD. Bermula dari gurauan teman-teman yang mengolok-olok kalau aku suka padamu. Lalu merambat pada guru kita, tetangga kita, bahkan orang tuaku––entah dengan orang tuamu. Hingga aku malu dan canggung untuk bertutur sapa denganmu, meski hanya sebatas berucap kata “Hay.”
Kita selalu diam dalam kebisuan. Hingga perpisahan datang menitikkan air mata; aku berangkat ke Madura, orang tuaku menitipkan aku di sebuah pesantren yang bernama Annuqayah. Dan kau pergi juga ke “penjara suci” yang bernama Asri. Tanpa sapa dan kata perpisahan. Sungguh, sakit jika mengenang peristiwa itu. Tapi itu sudah berlalu, termakan oleh waktu. Sejarah datang bukan untuk diadili dan dihukumi, tapi sebagai cermin untuk introspeksi diri.
Pada suatu masa, dimana aku mulai ragu mengambil sebuah keputusan. Meski sudah aku pikirkan selama tujuh tahun, dalam renungan sunyi. Dan kini, aku sudah menapaki usia 20 tahun. Kini aku kembali dalam perasaan ragu. Bukan pada cintamu, tetapi lebih pada sebuah harapan dan kehilangan dirimu.
Saat libur bulan Ramadhan, ketika aku kembali ke kampung halaman, masih terdengar celetuk kabarmu dari teman-teman dekatku. Pasti, kabar tentangmu yang telah dibumbui dengan gurauan cinta. Namun begitulah, aku harus memilih antara harapan dan kehilangan dirimu.
Kini, kau menjelma seorang Hafidzah, penghapal Al-Qur’an. Aku pun tak pernah ragu memilihmu sebagai pendamping hidupku. Bahkan, aku sempat membayangkan bagaimana nanti saat-saat kita mempunyai buah hati. Kau menyusui bayi mungil itu sambil melantunkan ayat-ayat suci-Nya. Imanku semakin kuat. Aku tambah yakin, kau adalah nafasku. Tulang rusukku yang kembali.
Sunyi menjadi pelangi. Ada yang masih tersisa setelah aku kembali ke Madura; ingin melamarmu. Namun, jika itu terjadi, aku harus memupus cita-cita yang telah aku rangkai sedemikian rupa. Aku takut, jika kita nantinya punya ikatan, hal itu akan mempercepat perjalananku menuju pelaminan. Itu yang aku takutkan, mengingat usiamu yang tak seberapa jauh dari usiaku. Aku takut didesak orang tua yang sudah ingin memunyai seorang cucu.
Perjalananku masih panjang. Aku masih ingin mengarungi dunia dalam kata, sebebas burung merpati yang terbang di udara. Tapi di sisi lain, aku takut kau akan menjadi milik orang lain. Jika itu terjadi, berarti separuh dari hidupku akan hilang. Tak mudah mencari wanita sepertimu, sesolehah imanmu.
Seperti malam yang baru saja sunyi. Aku menghela nafas atas dilema yang kuhadapi. Dalam dekapan malam, aku mencoba berbisik pada Ilahi. Hatiku semakin mengaduh. Semua bercampur baur menjadi air mata yang tiada mengalir. Hanya berpalung di kelopak mataku. Sujud dalam Istikharah.
Prenduan, 2010

Sudah dimuat di Radar Madura
Tanggal 3 Januari 2010

0 comments: