Cerpen; Fandrik HS Putra*
Ayahku seorang kepala suku yang amat bijak. Setiap kata yang diucapkan mengandung nilai-nilai yang sangat berarti. Pribadi sederhana berwujud dalam diri seorang pemimpin. Yang seluruh cintanya selalu mengalir untuk keluarga dan para rakyatnya. Pahlawan di masa kanak-kanakku. Mengajarkan aku menggenggam busur dan menenteng panah. Menjelajah hutan, berburu iwak1 dan membawanya untuk ibu. Tentu saja, untuk di makan bersama, sambil nengelilingi api unggun. Ayah selalu memberiku kesempatan pertama kali untuk membidik buruannya. Tak lupa ia mengintruksiku dari belakang, bagaimana cara membidik dan melesatkan anak panah pada binatang yang terbidik di mataku.
Wus…s… Anak panah itu lepas dari busur. Sorot mataku terus membuntuti kemana anak panah itu melesat, sambil menggenggam busur yang selesai terenggang. Orang-orang yang ikut berburu bersorak. Anak panahku tepat mengenai bidikan. Seekor Rusa yang tambun!
Kami menggotong Rusa itu. Ayah selalu tersenyum padaku. Ada rasa bangga di hatinya. Tentu saja kepada aku. Lalu, Rusa itu diserahkan pada ibu. Ibuku pandai sekali memasak. Lihai dalam mengolah rempah-rempah yang diambil dari hutan, sebagai bumbu masak. Lezat sekali.
Ibuku juga sosok orang yang lembut luar-dalam. Konon, ia bukan asli keturunan suku kami. Ibu adalah orang Meru2. Ayah menemukan ibu ketika berburu di hutan, mendapatkan ibu bersandar di sebuah pohon beringin besar. Terkapar dengan bekas patukan ular di kakinya. Ayah membawa ibu ke kampung. Awalnya, penduduk kampung tak sudi menerima kedatangannya. Mereka tidak suka orang Meru, yang sering merusak hutan. Namun, setelah mendengar penjelasan panjang-lebar dari ayah, penduduk kampung akhirnya menerima.
Ayah mengeluarkan racun berbahaya itu dari tubuh ibu. Sadar. Ibu sembuh. Ia ketakutan ketika pertama kali membuka mata. Mungkin, karena ayah berkulit hitam. Mayoritas suku kami berkulit hitam: ibu sendiri berkulit putih.
Ibu tak tenang bersama ayah, serta dengan suku kami. Tapi, ibu selalu mencoba bersikap sadar. Ibu tak punya siapa-siapa lagi. Tak ingat apa-apa. Sedikit demi sedikit ibu mulai bisa beradaptasi. Mulai mampu menerima ayah apa adanya. Kebijaksanaan ayah mampu memengaruhi sikap ibu.
Suatu hari, ayah meminang ibu kepada para sesepuh kampung. Kontan semua warga suku banyak yang menolak. Bagaimana tidak, ayah sebagai satu-satunya pewaris kepala suku, harus menikah dengan orang Meru. Itu tidak boleh terjadi, begitulah kata mereka. Ayah harus menikah dengan asli keturunan kami, kata mereka. Tentu, mereka tidak mau nanti pada generasi berikutnya ada campuran dari suku lain.
Setelah berdebat panjang-lebar dengan sesepuh, akhirnya, para sesepuh lunak dan merestui pernikahan ayah. Beberapa perlengkapan adat, seperti: kemenyan, kembang dan beberapa bacaan mantera, pernikahan dilangsungkan. Melalui penyembahan kepada ruh Nenek Moyang. Ibu resmi milik ayah seutuhnya. Ibu bahagia, begitu pula dengan ayah.
Jika ayah mendidik dari luar: menenteng busur dan berburu. Maka, ibu mendidik dari dalam. Kelembutan kasih sayangnya membuat hatiku lembut pula. Mengajariku untuk tidak sombong, angkuh dan manindas kaum lemah. Ia selalu mencontohkan sikap ayah. Banyak hal yang masih aku belum ketahui dari sosok ibu. Semakin aku mendalami kebaikannya, semakin pula aku bingung terhadap diriku sendiri. Sebab kebaikan hidupku terlalu jauh dengan kebaikan ibu.
Pagi itu, masih buta. Namun, kicauan burung di hutan sudah saling bertaluan. Bahkan tidur di pagi hari pun, rasanya seperti kehilangan panorama hutan yang sesungguhnya.
Hari itu musim kemarau. Kabut tebal memenuhi seisi hutan. Pandangan kelabu. Perlahan kabut tebal itu hilang dianulir sinar matahari yang mulai menitipkan cahayanya pada kening bumi. Aku, ayah, dan pemburu lain sudah siap dengan busur di tangan, panah di punggung. Kami akan berburu sebanyak-banyaknya. Apa saja. Rusa, Kancil, Babi, bahkan Ular sekalipun. Malam nanti adalah malam bulan purnama kesepuluh kalinya. Suku kami menganggap purnama kesepuluh adalah sebagai penutup dari purnama sebelumnya. Dalam tradisi suku kami, purnama kesepuluh selalu disambut dengan meriah dan pesta besar-besaran. Di hibur dengan tari-tarian adat sebagai bentuk rasa syukur kami kepada hutan yang telah melindungi dan menghidupi kami. Sebagai ibu dari kepala suku, ibulah yang selalu menyanyikan tembang-tembang itu. Pada saat sempurnanya bulan purnama.
Hari itu, nampak beda. Hutan sepi. Tak ada seekor binatang yang berkeliaran. Hingga matahari di atas kepala, kami hanya dapat seekor babi hutan. Ayah mulai cemas. Padahal, kebutuhan kami hari ini sangat banyak. Ya! Minimal dapat empat atau lima ekor. Tidak biasanya, kami berburu sampai siang hari hanya mendapat satu ekor. Apakah karena hari ini musim kemarau? Rasanya tidak.
Kami terus berburu. Setidaknya, ayah yang memberi motivasi kepada kami yang mulai tak bernafsu untuk berburu. Kami terus menyusuri hutan, melewati lembah, mengarungi sungai, dan rawa-rawa. Ketika sampai di pinggir sungai, aku melihat seekor burung Elang di dahan pohon besar. Aku ragu memanahnya. Hanya seekor burung, gumamku. Tapi tak apa, dari pada tidak sama sekali. Aku ambil anak panah. Sekali bidik, wus…s… anak panahku tepat mengenai jantung. Burung Elang itu jatuh. Sayang, jatuh ke sungai. Dengan tangkas buaya penghuni sungai itu melahapnya. Aku kecewa.
Hingga menjelang sore, yang kami dapat hanya seekor babi hutan dan seekor anak Rusa. Kami terus menyusuri hutan, hingga sampai pada perbatasan yang membatasi wilayah suku kami dengan penduduk Meru. Sebenarnya, batas itu adalah buatan kami yang tidak ingin berdekatan dengan mereka, apalagi bersentuhan. Hutan semakin habis di tebang mereka. Kehidupan orang rimba semakin terhimpit. Digunduli dan disulap menjadi kebun karet dan kelapa sawit maha luas.
Demi melestarikan hutan yang telah dititipkan Nenek Moyang kami secara turun temurun, maka perlu kami bertindak cepat agar hutan tetap hidup. Seperti memberi batas dan mengusir orang Meru yang mencoba merusak hutan. Mereka tak tahu, kami membuat batasan dengan mereka. Jika mereka melanggar, kami akan menyerang habis-habisan tanpa ampun.
Kami kembali lagi ke dalam hutan. Ada rasa kecewa di mata ayah. Sebagai kepala suku, ia harus bertanggung jawab. Nanti malam adalah perayaan bulan purnam yang ke sepuluh, sebagai bulan penutup pada bulan-bulan lalu. Bagaiman mungkin, perayaan yang sangat besar itu hanya dihias dengan seekor babi hutan dan anak Rusa. Mereka pasti kecewa.
“Paduka, lihat..lihat,” salah satu pengikut yang paling muda melihat sesuatu dari semak belukar. Ada dua ekor bintang. Saling menyalurkan nafsu. Yang betina sedang nungging dan yang jantan setengah berdiri di belakang betina itu.
“Itu iwak,” katanya kemudian.
Ayah dan yang lainnya merasa sangat senang. Dua sekaligus, pikirnya. Seandainya dapat, hasil buruan sudah lebih dari cukup. Upacara akan berlangsung meriah. Ayah menyuruhku membidik yang betina, sementara ia mengarhkan bidikannya pada yang jantan. Aku ragu, baru kali ini aku melihat binatang bentuknya seperti itu. Apakah itu binatang dari hutan seberang? Ataukah orang Meru?
“Ayah, apa benar itu iwak? Mirip kita dan orang Meru,” aku mengungkapkan keraguanku.
“Ya! Itu iwak.”
“Mirip manusia, sepeti orang Meru.”
“Bukan, itu iwak, bukan orang Meru.”
Aku masih ragu. sekali lagi, baru kali ini aku melihat binatang seperti itu. Mirip manusia, berkulit putih. Namun, pandangan ayah tetap berbeda. Ia sangat yakin jika itu iwak. Ayah menjelaskan, tak mungkin itu orang Meru atau pun suku kami. Orang Meru tak mungkin bertelanjang di tempat terbuka. Begitu pula dengan suku kami. Meski hanya nenggunakan koteka3 sebagai penutup dari alat kemaluannya. Sementara binatang itu tak memakai apa-apa. Tak ada balutan sedikit pun yang menutupi. Seperti iwak. Memang itu iwak, kata ayah
Aku meyakinkan diri—tepatnya memaksa untuk yakin. Ayah menepuk pundakku pertanda aku harus siap. Aku mengangguk. Aku dan ayah mendekatinya, menyelinap di antara semak belukar. Iwak itu asyik mengumbar nafsunya, sehingga aku dan ayah lebih leluasa semakin mendekat.
Kedua orang itu—aku tetap ragu menyebutnya binatang—sedang asyik bermain-main dengan kemaluannya. Yang jantan mengeluar-masukkan alat kelaminnya, sedang yang betina tetap nungging dan terus mendesah nikmat.
Jarak, aku rasa sudah dekat. Aku menarik anak panah dan mulai membidik. Anak panah lepas. Busur merenggang. Dua anak panah itu––punyaku dan punya ayah––melaju cepat. Seperti di arena balap. Mengenai sasaran. Kedua binatang itu mencoba kabur. Berjalan dengan dua kaki—aku heran. Namun, panah yang tertancap terlalu menghabiskan tenaga mereka dan akhirnya terkapar.
Para pemburu berlarian, menangkap, dan menggotong bersama-sama. Kami pulang. Empat ekor sudah cukup untuk upacara nanti. Aku tidak bisa membayangkan seperi apa nantinya upacara purnama kesepuluh itu. Pasti sangat meriah. Apalagi kami di hadiahkan binatang aneh. Semoga saja iwak ini nantinya enak, gumamku.
Malam itu, purnama kembali datang. Cahaya yang sempurna menerobos dari celah-celah pohon. Para suku berpesta pora. Ada yang terus minum, ada pula yang menari sampai teler. Semuanya menyambut datangnya bulan kesepuluh itu. Ayah dan ibu merasa gembira dan bangga karena telah memenuhi tugasnya sebagai seorang pemimpin, membahagiakan rakyatnya. Di bawah terpaan cahaya purnama, ayah dan ibu tersenyum puas melihat para penduduknya bahagia.
Bulan sudah di atas kepala. Saatnya memulai. Para sesepuh memberi aba-aba untuk memulai upacara. Dengan mengacungkan kedua tangannya. Kami lalu melingkar dan mengelilingi api unggun. Membaca beberapa mantra yang biasa kami ucap. Dipimpin oleh sesepuh suku.
Setelah selesai upacara, saatnya berpesta lagi. Makan sepuasnya. Kedua binatang itu di panggang secara utuh. Aku mengambil dua buah benjolan besar di dada betina itu. Empuk, kenyal, dan lezat. Aku tak percaya, belum pernah aku makan danging binatang seenak ini. Begitu pula para suku kami merasa heran, enak sekali. Mereka dengan rakus mengambil daging-dagingnya. Mencomot telinga, mencabik tangan dan paha. Begitu pula aku yang tak kalah rakusnya memakan kemaluan si jantan. Upacara kali ini begitu berbeda dengan upacara-upacara sebelumnya. Aku berharap saat berburu lagi, akan bertemu dengan binatang yang seperti ini. Enak sekali
Aku sangat bersyukur pada hutan.
Keterangan
1. binatang yang dapat di makan
2. panggilan bagi suku anak dalam (SAD) kepada orang luar yang berinteraksi dengan mereka
3. buah labu yang di keringkan sebagai penutup kemaluan
Ayahku seorang kepala suku yang amat bijak. Setiap kata yang diucapkan mengandung nilai-nilai yang sangat berarti. Pribadi sederhana berwujud dalam diri seorang pemimpin. Yang seluruh cintanya selalu mengalir untuk keluarga dan para rakyatnya. Pahlawan di masa kanak-kanakku. Mengajarkan aku menggenggam busur dan menenteng panah. Menjelajah hutan, berburu iwak1 dan membawanya untuk ibu. Tentu saja, untuk di makan bersama, sambil nengelilingi api unggun. Ayah selalu memberiku kesempatan pertama kali untuk membidik buruannya. Tak lupa ia mengintruksiku dari belakang, bagaimana cara membidik dan melesatkan anak panah pada binatang yang terbidik di mataku.
Wus…s… Anak panah itu lepas dari busur. Sorot mataku terus membuntuti kemana anak panah itu melesat, sambil menggenggam busur yang selesai terenggang. Orang-orang yang ikut berburu bersorak. Anak panahku tepat mengenai bidikan. Seekor Rusa yang tambun!
Kami menggotong Rusa itu. Ayah selalu tersenyum padaku. Ada rasa bangga di hatinya. Tentu saja kepada aku. Lalu, Rusa itu diserahkan pada ibu. Ibuku pandai sekali memasak. Lihai dalam mengolah rempah-rempah yang diambil dari hutan, sebagai bumbu masak. Lezat sekali.
Ibuku juga sosok orang yang lembut luar-dalam. Konon, ia bukan asli keturunan suku kami. Ibu adalah orang Meru2. Ayah menemukan ibu ketika berburu di hutan, mendapatkan ibu bersandar di sebuah pohon beringin besar. Terkapar dengan bekas patukan ular di kakinya. Ayah membawa ibu ke kampung. Awalnya, penduduk kampung tak sudi menerima kedatangannya. Mereka tidak suka orang Meru, yang sering merusak hutan. Namun, setelah mendengar penjelasan panjang-lebar dari ayah, penduduk kampung akhirnya menerima.
Ayah mengeluarkan racun berbahaya itu dari tubuh ibu. Sadar. Ibu sembuh. Ia ketakutan ketika pertama kali membuka mata. Mungkin, karena ayah berkulit hitam. Mayoritas suku kami berkulit hitam: ibu sendiri berkulit putih.
Ibu tak tenang bersama ayah, serta dengan suku kami. Tapi, ibu selalu mencoba bersikap sadar. Ibu tak punya siapa-siapa lagi. Tak ingat apa-apa. Sedikit demi sedikit ibu mulai bisa beradaptasi. Mulai mampu menerima ayah apa adanya. Kebijaksanaan ayah mampu memengaruhi sikap ibu.
Suatu hari, ayah meminang ibu kepada para sesepuh kampung. Kontan semua warga suku banyak yang menolak. Bagaimana tidak, ayah sebagai satu-satunya pewaris kepala suku, harus menikah dengan orang Meru. Itu tidak boleh terjadi, begitulah kata mereka. Ayah harus menikah dengan asli keturunan kami, kata mereka. Tentu, mereka tidak mau nanti pada generasi berikutnya ada campuran dari suku lain.
Setelah berdebat panjang-lebar dengan sesepuh, akhirnya, para sesepuh lunak dan merestui pernikahan ayah. Beberapa perlengkapan adat, seperti: kemenyan, kembang dan beberapa bacaan mantera, pernikahan dilangsungkan. Melalui penyembahan kepada ruh Nenek Moyang. Ibu resmi milik ayah seutuhnya. Ibu bahagia, begitu pula dengan ayah.
Jika ayah mendidik dari luar: menenteng busur dan berburu. Maka, ibu mendidik dari dalam. Kelembutan kasih sayangnya membuat hatiku lembut pula. Mengajariku untuk tidak sombong, angkuh dan manindas kaum lemah. Ia selalu mencontohkan sikap ayah. Banyak hal yang masih aku belum ketahui dari sosok ibu. Semakin aku mendalami kebaikannya, semakin pula aku bingung terhadap diriku sendiri. Sebab kebaikan hidupku terlalu jauh dengan kebaikan ibu.
Pagi itu, masih buta. Namun, kicauan burung di hutan sudah saling bertaluan. Bahkan tidur di pagi hari pun, rasanya seperti kehilangan panorama hutan yang sesungguhnya.
Hari itu musim kemarau. Kabut tebal memenuhi seisi hutan. Pandangan kelabu. Perlahan kabut tebal itu hilang dianulir sinar matahari yang mulai menitipkan cahayanya pada kening bumi. Aku, ayah, dan pemburu lain sudah siap dengan busur di tangan, panah di punggung. Kami akan berburu sebanyak-banyaknya. Apa saja. Rusa, Kancil, Babi, bahkan Ular sekalipun. Malam nanti adalah malam bulan purnama kesepuluh kalinya. Suku kami menganggap purnama kesepuluh adalah sebagai penutup dari purnama sebelumnya. Dalam tradisi suku kami, purnama kesepuluh selalu disambut dengan meriah dan pesta besar-besaran. Di hibur dengan tari-tarian adat sebagai bentuk rasa syukur kami kepada hutan yang telah melindungi dan menghidupi kami. Sebagai ibu dari kepala suku, ibulah yang selalu menyanyikan tembang-tembang itu. Pada saat sempurnanya bulan purnama.
Hari itu, nampak beda. Hutan sepi. Tak ada seekor binatang yang berkeliaran. Hingga matahari di atas kepala, kami hanya dapat seekor babi hutan. Ayah mulai cemas. Padahal, kebutuhan kami hari ini sangat banyak. Ya! Minimal dapat empat atau lima ekor. Tidak biasanya, kami berburu sampai siang hari hanya mendapat satu ekor. Apakah karena hari ini musim kemarau? Rasanya tidak.
Kami terus berburu. Setidaknya, ayah yang memberi motivasi kepada kami yang mulai tak bernafsu untuk berburu. Kami terus menyusuri hutan, melewati lembah, mengarungi sungai, dan rawa-rawa. Ketika sampai di pinggir sungai, aku melihat seekor burung Elang di dahan pohon besar. Aku ragu memanahnya. Hanya seekor burung, gumamku. Tapi tak apa, dari pada tidak sama sekali. Aku ambil anak panah. Sekali bidik, wus…s… anak panahku tepat mengenai jantung. Burung Elang itu jatuh. Sayang, jatuh ke sungai. Dengan tangkas buaya penghuni sungai itu melahapnya. Aku kecewa.
Hingga menjelang sore, yang kami dapat hanya seekor babi hutan dan seekor anak Rusa. Kami terus menyusuri hutan, hingga sampai pada perbatasan yang membatasi wilayah suku kami dengan penduduk Meru. Sebenarnya, batas itu adalah buatan kami yang tidak ingin berdekatan dengan mereka, apalagi bersentuhan. Hutan semakin habis di tebang mereka. Kehidupan orang rimba semakin terhimpit. Digunduli dan disulap menjadi kebun karet dan kelapa sawit maha luas.
Demi melestarikan hutan yang telah dititipkan Nenek Moyang kami secara turun temurun, maka perlu kami bertindak cepat agar hutan tetap hidup. Seperti memberi batas dan mengusir orang Meru yang mencoba merusak hutan. Mereka tak tahu, kami membuat batasan dengan mereka. Jika mereka melanggar, kami akan menyerang habis-habisan tanpa ampun.
Kami kembali lagi ke dalam hutan. Ada rasa kecewa di mata ayah. Sebagai kepala suku, ia harus bertanggung jawab. Nanti malam adalah perayaan bulan purnam yang ke sepuluh, sebagai bulan penutup pada bulan-bulan lalu. Bagaiman mungkin, perayaan yang sangat besar itu hanya dihias dengan seekor babi hutan dan anak Rusa. Mereka pasti kecewa.
“Paduka, lihat..lihat,” salah satu pengikut yang paling muda melihat sesuatu dari semak belukar. Ada dua ekor bintang. Saling menyalurkan nafsu. Yang betina sedang nungging dan yang jantan setengah berdiri di belakang betina itu.
“Itu iwak,” katanya kemudian.
Ayah dan yang lainnya merasa sangat senang. Dua sekaligus, pikirnya. Seandainya dapat, hasil buruan sudah lebih dari cukup. Upacara akan berlangsung meriah. Ayah menyuruhku membidik yang betina, sementara ia mengarhkan bidikannya pada yang jantan. Aku ragu, baru kali ini aku melihat binatang bentuknya seperti itu. Apakah itu binatang dari hutan seberang? Ataukah orang Meru?
“Ayah, apa benar itu iwak? Mirip kita dan orang Meru,” aku mengungkapkan keraguanku.
“Ya! Itu iwak.”
“Mirip manusia, sepeti orang Meru.”
“Bukan, itu iwak, bukan orang Meru.”
Aku masih ragu. sekali lagi, baru kali ini aku melihat binatang seperti itu. Mirip manusia, berkulit putih. Namun, pandangan ayah tetap berbeda. Ia sangat yakin jika itu iwak. Ayah menjelaskan, tak mungkin itu orang Meru atau pun suku kami. Orang Meru tak mungkin bertelanjang di tempat terbuka. Begitu pula dengan suku kami. Meski hanya nenggunakan koteka3 sebagai penutup dari alat kemaluannya. Sementara binatang itu tak memakai apa-apa. Tak ada balutan sedikit pun yang menutupi. Seperti iwak. Memang itu iwak, kata ayah
Aku meyakinkan diri—tepatnya memaksa untuk yakin. Ayah menepuk pundakku pertanda aku harus siap. Aku mengangguk. Aku dan ayah mendekatinya, menyelinap di antara semak belukar. Iwak itu asyik mengumbar nafsunya, sehingga aku dan ayah lebih leluasa semakin mendekat.
Kedua orang itu—aku tetap ragu menyebutnya binatang—sedang asyik bermain-main dengan kemaluannya. Yang jantan mengeluar-masukkan alat kelaminnya, sedang yang betina tetap nungging dan terus mendesah nikmat.
Jarak, aku rasa sudah dekat. Aku menarik anak panah dan mulai membidik. Anak panah lepas. Busur merenggang. Dua anak panah itu––punyaku dan punya ayah––melaju cepat. Seperti di arena balap. Mengenai sasaran. Kedua binatang itu mencoba kabur. Berjalan dengan dua kaki—aku heran. Namun, panah yang tertancap terlalu menghabiskan tenaga mereka dan akhirnya terkapar.
Para pemburu berlarian, menangkap, dan menggotong bersama-sama. Kami pulang. Empat ekor sudah cukup untuk upacara nanti. Aku tidak bisa membayangkan seperi apa nantinya upacara purnama kesepuluh itu. Pasti sangat meriah. Apalagi kami di hadiahkan binatang aneh. Semoga saja iwak ini nantinya enak, gumamku.
Malam itu, purnama kembali datang. Cahaya yang sempurna menerobos dari celah-celah pohon. Para suku berpesta pora. Ada yang terus minum, ada pula yang menari sampai teler. Semuanya menyambut datangnya bulan kesepuluh itu. Ayah dan ibu merasa gembira dan bangga karena telah memenuhi tugasnya sebagai seorang pemimpin, membahagiakan rakyatnya. Di bawah terpaan cahaya purnama, ayah dan ibu tersenyum puas melihat para penduduknya bahagia.
Bulan sudah di atas kepala. Saatnya memulai. Para sesepuh memberi aba-aba untuk memulai upacara. Dengan mengacungkan kedua tangannya. Kami lalu melingkar dan mengelilingi api unggun. Membaca beberapa mantra yang biasa kami ucap. Dipimpin oleh sesepuh suku.
Setelah selesai upacara, saatnya berpesta lagi. Makan sepuasnya. Kedua binatang itu di panggang secara utuh. Aku mengambil dua buah benjolan besar di dada betina itu. Empuk, kenyal, dan lezat. Aku tak percaya, belum pernah aku makan danging binatang seenak ini. Begitu pula para suku kami merasa heran, enak sekali. Mereka dengan rakus mengambil daging-dagingnya. Mencomot telinga, mencabik tangan dan paha. Begitu pula aku yang tak kalah rakusnya memakan kemaluan si jantan. Upacara kali ini begitu berbeda dengan upacara-upacara sebelumnya. Aku berharap saat berburu lagi, akan bertemu dengan binatang yang seperti ini. Enak sekali
Aku sangat bersyukur pada hutan.
Keterangan
1. binatang yang dapat di makan
2. panggilan bagi suku anak dalam (SAD) kepada orang luar yang berinteraksi dengan mereka
3. buah labu yang di keringkan sebagai penutup kemaluan