Judul : Asmara Anak Asrama
Penulis : Fandrik Ahmad
Penerbit : Surya Pustaka Ilmu
Cetakan : November, 2019
Tebal : 208 halaman
ISBN : 978-623-92188-2-9
Peresensi : Muhtadi ZL
Ditinjau dari segi historisnya, tujuan santri
yaitu untuk mendapatkan ilmu yang barokah. Karena berpatokan pada kalimat yang
mashur di kalangan kaum sarungan. “Percuma punya ilmu, tapi tidak barokah.
Lebih baik punya ilmu sedikit tapi barokah”. Secara gamblang adagium ini
menuntun seseorang (santri khususnya) untuk mencari ilmu yang barokah.
Untuk mengetahui cara mendapat ilmu
barokah, tertuang jelas dalam novel religi karya penulis muda dan alumnus
pesantren, Fandrik Ahmad, Asmara Anak
Asrama. Buku ini menceritakan seorang santri (sebagai pelaku utama) yang
nyantri di salah satu pesantren tersohor di Madura. Santri tersebut bernama
Haris yang menapaki jalan akhirat sebagai tujuan awal dirinya mondok. Semua
kepentingan yang berbau materi tidak ia singgahi sedikit pun.
Dari segi perilaku, Haris sangat mengedepankan etika atau adhap asor, utamanya pada keluarga
pesantren. Sebab lumrah kita ketahui bersama, pesantren yang terkenal dengan
moral atau aturan yang membuat santri paham konteks, antara boleh dilakukan
atau tidak boleh dilakukan. Apalagi hal tersebut merujuk pada santri putri
(non-muhrim). Pesantren mempunyai norma yang sangat ketat (hal. 154). Maksud
hal ini adalah bagaimana seseorang memiliki perbedaan antara pesantren dengan
yang bukan pesantren.
Seperti banyak kisah-kisah yang beredar
di kalangan santri, untuk mendapat barokah, santri harus patuh pada peraturan
pesantren. Karena menurut keyakinan kaum sarungan, patuh pada peraturan
pesantren adalah modal awal untuk mendapatkan barokah. Makna patuh pada
pesantren tidak hanya ditafsiri satu makna, tetapi kata ini mempunyai konotasi
yang lain, seperti patuh pada dawuh kiai, serta ada jalan lain yang bisa
ditempuh untuk mendapatkan barokah, yaitu mengabdikan diri pada dalem (rumah kiai).
Hal inilah yang dilakukan Haris selama
menjadi santri. Dia menyapu halaman dalem
setiap pagi sampai menggantikan lora atau anak kiai yang tidak bisa mengajar sebab
menempuh pendidikan yang lebih tinggi di luar pesantrennya. Semua kegiatan yang
bersangkut-paut dengan pesantren dilakukan dan dijalaninya dengan ikhlas dan
sabar.
Kehadiran novel religi ini bisa menjadi
renungan dan memberikan paradigma baru bagi santri yang lahir di 2000-an.
Sebab, santri yang terdiskriminasi dalam ruang lingkup generasi Z sangat
kontradiktif dengan santri sebelumnya. Santri sekarang seolah hanya
mementingkan hal-hal yang berbau sekuler.
Pemahaman baru ini menjadi penghalang untuk mendapatkan barokah di
pesantren. Sebab barokah diyakini bisa timbul melalui keridaan kiai atau guru,
bisa kita dapat melalui spiritual dan moral yang baik (hal.186).
Padahal, seandainya mereka tahu (santri
sekarang) bahwa tujuan prioritas santri adalah mencari ilmu yang barokah—jika
ditelisik dari esensi seorang santri mondok—bukan hanya mencari ilmu
pengetahuan belaka. Seorang santri yang benar-benar ingin menjadikan dirinya
seorang santri, ia akan patuh pada peraturan pesantren meski santri tersebut
tergolong zaman now. Hal ini menjadi
orientasi inti dari perjuangan santri yang rela jauh dari orangtua. Namun,
penuturan berbanding terbalik dengan santri yang masuk dalam lingkaran Gen-Z.
Sebelum benar-benar menyelami hal
spiritual atau barokah, perlu kiranya santri membersihkan diri dari segala
dosa, yaitu dengan cara pendekatan vertikal kepada Allah swt. Karena kalau
sudah mendapat rida dari kiai dan guru, tidaklah boleh lupa meminta
syafaat-Nya. Barokah didapat ketika hati dan jiwa santri bersih dari segala
dosa (hal.164). Jika hal ini berjalan linear, kaidah santri akan kokoh meski
dihantam atau diterjang kemajuan zaman sekalipun.
Buku ini penting dibaca oleh santri zaman sekarang, karena dalam buku 208 halaman ini memberikan pemahaman yang sangat mudah dicerna. Jika buku ini hendak direvisi perbaikan mengenai penulisan kata lebih diperhatikan. Namun yang jelas, kehadiran buku menjadi kebanggaan bagi santri untuk lebih mementingkan tujuan awalnya dan bahan introspeksi diri demi kebaikan di masa yang akan datang.[]