(Fandrik Ahmad, Suara Merdeka 22 Maret 2015
Orang pertama yang
memperkenalkan saya dengan kopi adalah kakek. Saya tidak tahu tepatnya berapa
usia saya saat itu, terjadi pada suatu malam.
Kakek membangunkan saya,
mengajak keluar rumah. Tidak biasa ia seperti itu. Kakek memang kerap keluar,
tapi tak pernah mengajak orang. Kebiasaan yang tidak disukai ibu. Tidak hanya
satu atau dua kali ibu mengomel melarang kakek menghentikan—kata ibu—kebiasaan
buruk itu. Namun kakek terlalu bebal tidak pernah ada rasa jera.
“Fafan ikut kakek, ya. Ayah
dan ibumu malam ini merayakan pernikahannya. Mereka tak bisa diganggu,”
tukasnya.
Kakek menarik lengan saya
lantas membopong saya tanpa harus menunggu jawaban iya atau tidak. Entah,
barangkali masih pukul delapan, bisa jadi sudah pukul sebelas. Yang jelas mata
saya sudah sangat berat. Di ruang depan, sayup-sayup suara ibu melengking persis
seperti saat melarang kakek keluar rumah. Suara ayah tak kalah kerasnya.
Seperti itukah cara mereka merayakan ulang tahun pernikahan ke sembilan?
Saya meringkih di
punggung kakek seperti udang usai digoreng. Kulit saya tidak akrab dengan desau
malam. Pakaian yang saya kenakan sepertinya tidak cukup hangat. Saya mengatup
mata malas. Kakek tak banyak bicara. Langkahnya sunyi membelah malam. Lampu jalanan berpendar
suram dan serangga-serangga berputar-putar.
Saya membuka mata
ketika gendang telinga sayup-sayup menangkap sebuah irama tanpa syair. Indah
sekali. Kakek duduk lesehan. Saya cukup takjub dengan suasana yang asing. Saya
perhatikan segala sudut tempat itu. Empat buah bohlam dengan cahaya kuning
redup, pilar-pilar dan pagar dari bambu, atap jerami, deretan meja setingggi
dada orang duduk. Ada asap rokok. Ada aroma kopi.
Orang-orang lesehan
berkelompok-kelompok. Tawa kerap meledak. Obrolan mereka mirip bunyi
segerombolan tawon. Yang duduk sendiri juga ada. Menikmati permainan musiknya
sendiri. Ada yang membaca. Ada yang menulis. Ada yang hanya diam tanpa kata:
minum kopi, menghisap rokok, dan mengentaskannya ke udara.
“Kalau ngantuk, tidur
saja,” tukasnya memberi pahanya untuk saya tiduri. Saya menuruti saja apa kata
kakek kendati mata sudah tidak berat lagi dan sulit terpejam.
Ketika rebah di pahanya,
waktu seperti berhenti. Saya menemukan rahasia-rahasia di bawah kolong-kolong
meja. Selain saya, yang tahu hanyalah si pembuat rahasia. Tentang genggaman
tangan, colekan nakal, dan tindihan paha. Tentang sebuah kartu yang terselip
dan puntung rokok dengan bara yang masih menyala. Tentang kertas-kertas, huruf,
kata, dan kalimat yang berserak. Semua seperti membisikkan rahasia. Saya tidak
tahu persisnya. Barangkali karena pikiran anak-anak sangat pendek untuk menjangkau
rahasia. Saya tatap lekat wajah kakek yang hampir pensiun jadi guru bahasa.
Tangan kirinya mengapit sebatang rokok. Dari sudut mata saya, bara itu tampak
sama besar dengan cahaya bohlam di atas kepala kakek yang asik menulis.
Saya tak paham waktu
itu.
***
Saya heran mengapa kopi
selalu akrab dengan musim. Bila malam datang bersama gerimis, secangkir kopi
dengan uap yang meliuk-liuk akan tampak romantis. Ketika malam jatuh dengan
bintang yang menggoda, secangkir kopi akan membias sebuah bisikan untuk tidak
segera beranjak dari malam. Pada situasi seperti itu, seseorang akan tampak
tergila-gila dengan kopi.
Sampai pada suatu
malam, ketika hujan masih menyisakan rinai di ujungnya, saya tergoda untuk
berhenti sejenak di sebuah persimpangan jalan. Sebuah kedai kopi menghentikan
langkah saya. Memang hampir di setiap jalan di kota ini selalu ada kedai kopi. Kedai
tersebut memang sederhanan dan cukup luas. Tata ruang diatur sedemikian rupa.
Beratap jerami dan berpilar bambu. Bohlam-bohlam menggantung dengan sinar
kuning redup. Asap tipis membubung ditenggarai obrolan-obrolan renyah. Sulit membedakan
mana asap rokok dan uap kopi. Kesulitan membedakan dua hal yang saling
bersentuhan itu sepintas menghadirkan bayangan kakek. Sejak kakek pergi tiga
belas tahun lalu, aroma kopi sedikit menjauh dari kehidupan saya.
“Pahit atau manis?”
tukas seorang pelayan. Perempuan. Saya memandangnya cukup lama. Rasanya ada
yang berdesir.
“Manis,” tak adakah
selain pahit dan manis?
Tak lama kemudian perempuan
berkemeja putih dengan lengan yang digulung itu datang lagi. Jeans pesil
membuat jalannya tampak menggoda. Uap kopi meliuk-liuk di atas nampan. Sambil
bersenyum manis, ia meletakkan dengan cepat dan tangkas. Ia menyilakan. Sebagai
pelanggan yang baik segera saya respon dengan ucapan terima kasih.
“Oh, ya. Maaf, hampir
lupa. Mohon untuk mengisi daftar pengunjung.”
“Untuk apa?”
“Kami menyediakan kopi
gratis bagi pelanggan yang beruntung. Setiap bulan. Barangkali nanti Anda yang
beruntung.”
Saya harus menulis nama
lengkap, bukan nama panggilan, nama pena, apalagi nama samaran. Begitulah
petunjuk di dalam daftar pengunjung itu. Saya lakukan saja. Kupikir setelah
menulis ‘daftar hadir’ saya akan mendapat kupon atau sejenisnya. Tidak. Pelayan
itu langsung menjauh. Pikiran saya mereka-reka seperti apa nanti konsep pengundiannya.
Hujan masih mericis
perlahan. Dalam kondisi seperti itu pikiran dengan sangat mudah dikuasai
kenangan, mendadak di depan mata.
Ah, kenangan.
Terbuat dari apakah kenangan? Saya melihat bayangan kakek tengah menulis. Bara
ujung rokok dan uap kopi mengembang kenangan betapa penyair yang tergila-gila
dengan kopi itu kini tengah menulis puisi.
***
Semasa hidup, kakek
penyuka puisi: menulis puisi, membaca puisi dan menerbitkannya. Dilihat dari
beberapa komentar penyair di bukunya, puisi kakek adalah puisi nyentrik.
Puisinya ladang dari segala perasaaan yang dimiliki manusia. Satu hal dari
kenyentrikan puisinya selalu memandang dunia dengan tawa.
Buku-buku sastra
tersusun rapi di salah satu ruangan rumah. Di situlah kakek bermeditasi
melahirkan puisi. Diantara silsilah keluarga, hanya saya yang paling akrab.
Tetapi saya tak pernah membaca buku-buku sastra, apalagi menulis puisi,
sehingga tumpukan buku itu hanya menjadi dinding berdebu. Saya akrab dengan
kakek bukan karena puisi-puisinya.
Anak kakek tiga. Satu
perempuan, dua laki-laki. Saya cucu dari anak perempuan. Tak ada dintara ketiga
anak kakek yang mewarisi—ibu menyebutnya—hobi gila itu, nongkrong sepanjang
malam. Ibu cukuplah menjadi ibu rumah tangga yang baik: sumur, dapur, dan kasur.
Paman Ben menjadi pegawai yang rajin. Sementara paman Ari sukses dengan
usahanya.
Beberapa kali ibu
mengingatkan saya, jangan terlalu dekat dengan kakek. Ibu takut saya tertular
hobi gilanya. Apakah menulis puisi itu gila? Apakah penyair itu gila? Ah, seperti
apa nikmatnya menulis puisi? Bukan. Bukan. Maksud ibu kegilaan tongkrongnya.
Saya terperangkap
dengan puisi-puisi nyentrik itu seperti lalat yang mengambang di atas permukaan
kopi. Bepuluh tahun kakek melarung malam demi membuat mahakarya bernama puisi. Kakek
berbicara dengan puisi-puisinya betapa menjadi penyair itu pekerjaan mulia. Tak
pernah ada seorang penyair yang berbicara bohong dengan puisinya—kecuali
penyair-penyairan. Sastra selalu berbicara kebenaran, nurani manusia dan suara
Tuhan, tulis kakek di salah satu pengantar bukunya.
***
Hujan hampir mericis
setiap malam. Dingin udara tampak membanyol betapa titik air yang menyentuh
tanah sungguh nikmat apabila ditingkahi aroma kopi yang menguap. Pada malam-malam
berikutnya, setelah terkurung seorang diri di kamar kakek, saya tak ingin
melewati malam dengan secangkir kopi di kedai ini.
Jika keluar hanya
sebuah alasan secangkir kopi, istri saya siap setiap waktu memanjakan saya
dengan aroma kopi buatannya. Tetapi, menikmati kopi di ruang tertutup dengan
ruang terbuka sungguhlah berbeda. Itulah yang membuatnya mencurigai saya
bermain asmara dengan perempuan lain. Ia kerap marah-marah dan mengumpat
seenaknya.
“Jangan pulang
sekalian!” umpatnya.
Pssst... ia hanya
cemburu pada secangkir kopi.
Beberapa hari kemudian,
istri saya berdamai dengan amarahnya. Ia lebih memilih diam dalam tangis. Lalu,
pergi entah kemana. Saya jadi punya banyak waktu mematut bayangan saya di atas
permukaan air kopi yang tenang. Saya sudah tak memiliki alasan untuk pulang
meninggalkan kedai ini.
Desir angin pelan-pelan
menggesek atap kedai. Seorang pemuda memainkan harmonika. Di depan semua pengunjung,
ia menyatakan cinta pada kekasihnya.
***
Setiapkali pelayan—yang
saya tahu pada perkenalan suatu malam bernama Taris—menuliskan nama saya pada
selembar kertas, manik matanya rebah cukup lama. Mungkinkah pemilik tahi lalat
tipis di pipinya itu tengah menaruh hati?
Ia mempertanyakan nama
Rahardjo di akhir nama saya. Saya terakan nama Rahardjo susur galur keluarga
saya.
“Anda kenal dengan Jafar
Rahardjo?” pertanyaannya yang datar sedikit membuat perasaan terhenyak.
“Dia kakek saya.”
“Oh, jadi Anda titisan
penyair.”
“Saya memang cucunya,
tapi saya tidak suka menulis, termasuk puisi. Saya tidak akrab dengan puisi.”
“Apapun itu, Anda orang
yang beruntung.”
“Beruntung?”
“Ya, beruntung. Karena puisi-puisi
kakek Anda, kedai ini kami tak pernah alpa melahirkan para penyair.”
Saya terjebak bingung. Matanya
berkilauan. Setiap rona di wajah Taris coba saya artikan dalam-dalam. Sebagian
pengunjung mencuri pandang pada percakapan kami.
“Baiklah... baiklah.
Anda sekarang boleh bingung, tapi nanti paham sendiri. Salam kenal titisan
penyair,” tukasnya sembari pergi melayani pengunjung lain.
Titisan penyair? Saya
menggeleng-geleng kepala. Tertawa sendiri.
Beberapa hari kemudian,
Taris meminta waktu khusus, lebih dari sekedar waktu untuk seorang pelayan
kepada pelanggan. Ia membawa tumpukan manuskrip puisi dan menyerahkan kepada
saya.
“Ini milik Anda.
Puisi-puisi yang ditulis oleh kakek Anda. Barangkali sebagian belum sempat
diterbitkan.”
“Saya tidak suka puisi.
Saya cuma suka aroma kopi.”
“Kopi? Hahaha...” Taris
tertawa keras. “Begini, biji kopi terbaik tetap saja tak akan enak bila tangan
penyaji kopi itu tak mengenali jiwa kopi.[1]
Begitu juga dengan puisi.” Ia tersenyum dan mendekatkan bibirnya yang seksi,” banyak
penyair yang lahir dari puisi ini. Anda pun bisa menjadi penyair.”
Perempuan itu
meninggalkan manuskrip bersama kesunyian yang larut bersama ampas kopi.
***
Kakek adalah orang
pertama yang memperkenalkan saya dengan aroma kopi. Saya tidak tahu tepatnya
berapa usia saya saat itu, terjadi pada suatu malam. Sekarang, aroma kopi memperkenalkan
saya dengan puisi. Mungkinkah perkenalan kakek dengan puisi juga disebabkan
oleh aroma kopi? Ah, sudahlah. Jika ingin menjadi penyair, datanglah kemari.
Setiap malam saya menunggu anda. Mari sama-sama menulis puisi dan menyeruput
secangkir kopi. Pahit atau manis, terserah anda.
Jember 10 November 2014
[bersama
ampas kopi di bibir cangkir]
[1]. Agus
Noor, Kopi dan Cinta yang Tak Pernah Mati