(Dimuat di Tribun Jabar, 11 Mei 2014)
Perkenalkan,
namaku Rustini. Janda dua anak yang terobsesi dengan cinta yang tak biasa, jika
tidak kukatakan luar biasa. Sebagian menganggapku sudah gila karena porsi ‘ketidakbiasaan’
itu. Tentu yang menganggapku demikian tidak salah. Secara matematis dan nalar
pikir, persepsi gila memang pantas disematkan kepadaku.
Selalu kukatakan
pada mereka, justru cinta yang tak biasa itu yang menegakkan langkahku sampai hari
ini. Memberikan semangat hidup, semacam
pelita di gelapnya malam.
Ia lelaki
terpercaya. Lelaki paling istimewa. Keistimewaannya melebihi kedua anakku, Siti
dan Ahmad. Melebihi suami, yang sejak tujuh tahun rutin kukirimi Yasin dan simpul-simpul
tawasul. Aku punya porsi cinta tersendiri untuk orang-orang yang kuanggap berharga
dalam hidupku. Termasuk memilah porsi cinta antara lelaki itu dengan
keluargaku.
Sebagai perempuan
yang telah memiliki keluarga, tak sekalipun terbesit bahwa aku telah melakukan
perselingkuhan, lebih-lebih menerobos hukum keluarga. Tak ada kata hianat. Tak
ada. Malah aku yakin, anak dan suami merestui serta menerima dengan sangat
ikhlas aku mencintainya, sebagaimana keyakinan bahwa lelaki itu juga mencintai anak
dan suamiku.
Ia yang mengajari
menjadi orang baik. Mengajari bagaimana menjaga kehormatan perempuan. Menunjukkan
kepada yang hak dan yang batil. Tanpa kusebut namanya, semua orang sudah tahu.
Hanya saja tidak semua orang punya cinta yang sama, sehingga mereka hanya
sebatas tahu dengan sikap tak mau tahu.
Maka, pagi-pagi
sekali langkahku sudah tegak berayun. Aku harus mendapatkan banyak uang agar
segera bisa menemuinya. Tubuh lelah karena setiap pagi dan sore harus naik
turun bukit akan terobati hanya cukup membayanginya dalam setiap ayunan langkah.
“Ibu, nasinya
belum matang. Ibu sudah mau pergi?” Tanya Siti, si sulung.
“Tidak apa-apa. Tanpa
sarapan, Ibu pasti kuat.” Jawabku. Siti mematung memerhatikanku.
“Sudahlah, Bu.
Ibu jangan lagi bermimpi ke Mekah. Mana cukup uang yang Ibu kumpulkan,” Ahmad,
anak bungsu tiba-tiba berdiri di samping Siti. Nadanya selalu datar. Tetapi
kutahu, ada rasa iba pada nada itu.
Aku diam. Menatap
kosong. Tak kupedulikan komentar Ahmad. Suatu saat nanti mereka pasti mengerti,
semua bisa melakukan perubahan sekalipun tampak muskil. Mereka masih perlu
banyak belajar bagaimana tangan Tuhan sungguhlah lebar bagi orang yang
bersungguh-sungguh. Mereka juga akan mengerti betapa lelaki yang ingin kutemui
memiliki kasih sayang melebihi kasih sayang kepada dirinya sendiri. Suatu saat.
Ya, suatu saat.
Semua orang,
termasuk anakku, menganggap mimpiku tak mungkin berbuah nyata. Mereka seakan
menganggapku sudah gila. Memimpikan sesuatu yang mustahil terwujud di saat
sekarang; kehidupan yang serba rasional dan penuh perhitungan.
Setiap kali ada
kesempatan, aku selalu bercerita tentang kesempurnaan mimpiku. Berharap anakku
menaruh mimpi yang sama. Namun justru malah ungkapan seperti pungguk merindukan
bulan yang kudapat. Siti yang kuanggap paling mengerti, menjadi orang pertama yang
menyebutku seorang pemimpi.
“Seharusnya Ibu tidak
seperti ini. Pergi Subuh, pulang Magrib. Kami semua membutuhkan Ibu. Kalau
bukan Ibu siapa lagi,” kata itu meluncur dari mulut Ahmad, bocah yang tak
kebagian kasih sayang seorang ayah. Ia sudah ditinggalkan saat masih mendekam dalam
rahim. Bocah yang dibaiat zaman sebagai anak yatim itu menatap tanpa ekspresi.
“Ibu tidak gila, Nak.
Ibu masih waras. Ibu masih ingat kalian. Jangan pernah berpikir Ibu sudah gila
dan telah melupakan kalian. Kalian tetap anakku. Tak akan menjadi orang lain,”
tukasku.
“Siapa yang mengatakan
Ibu gila. Aku hanya ingin Ibu tidak lagi berpikir tentang sesuatu yang sulit
diwujudkan. Penghasilan Ibu tak seberapa. Ketika Ibu bilang bahwa mimpi yang
paling indah adalah mengunjungi makamnya, ada rasa sakit yang tak tertahankan
tersebab Ibu tampak diburu risau.”
“Kurang bijak
rasanya bila Ibu menghapus mimpi itu. Mimpi yang sejak kecil sudah ditanam oleh
kakekmu kuat-kuat ke ulu hati Ibu.”
“Tidakkah ada
banyak cara untuk menemuinya? Ibu bisa bertemu tanpa harus jauh-jauh mengarungi
jalan panjang. Tanpa harus menguras keringat naik turun bukit. Bukankah Ibu pernah
mengatakan, cinta adalah kekuatan dan rindu adalah sarana komunikasi. Ibu bisa
menemuinya di dalam mimpi. Itu tidak mustahil. Bukankah Ibu seorang pemimpi?
Ibu juga pernah mengatakan bahwa setan tidak bisa menyerupainya. Guru ngajiku
pernah pula memberitahu, jika ingin menemuinya, perbanyaklah membaca salawat,” tukasnya.
Ia sudah menusukku dengan kata-kataku sendiri.
Siti bergegas. Menumbuhkan
kesendirian yang senyap. Meninggalkan semua mimpiku.
Waktu memasuki
sepertiga malam. Aku terbangun. Ada suatu bisikan yang membuatku terjaga.
Entah, kurasa aku tak sedang bermimpi menerima bisikan itu. Sadar sesadar-sadarnya
bisikan itu terdengar sangat jelas sampai membangunkan tidurku.
Jika kamu
mengharapkan pertemuan dengannya, perbanyak membaca salawat sebelum tidur, dan
janganlah sampai kamu membatal wudu sampai terlelap. Aku ingat bisikan itu.
Sangat jelas.
Tangis pecah.
Hadir tanpa kusadari. Tak bisa kupungkiri, rindu yang mencairkannya. Barangkali
Tuhan punya rencana yang sangat indah dengan kemiskinanku. Rencana indah atas ketidakmampuan
mengumpulkan uang untuk mengunjungi rumah Tuhan dan menemui kekasih-Nya. Selama
ini aku berusaha untuk tetap suci lahir dan batin. Baik semasa gadis, sebagai istri,
sampai kini seorang janda. Segalanya akan tembus pandang apabila benar-benar
menjadi bening.
Aku lelah. Tangisku
masih menitik. Tak ada upaya melupakan mimpi itu. Mimpi yang ada sejak aku
mendengar cerita-cerita keteladanannya semasa masih kecil, semasa masih suka tiduran
di surau. Mimpi itu tampak sempurna. Sampai sekarang.
Setiap kali akan
tidur aku selalu membaca salawat sebanyak mungkin. Aku sangat merindukannya.
Ajaib. Aku berada
di sebuah majlis taklim. Ornamen-ornamen masjid sangat tak kukenali. Suasana
yang sangat asing. Tidak hanya aku yang berada di situ. Orang-orang bersila
membentuk lingkaran. Di tengah lingkaran, berdiri sesosok yang begitu sempurna.
Penyampaiannya bagus dan santun. Semua orang berdecak kagum.
Wajahnya memancarkan
cahaya. Belum pernah kulihat cahaya seterang itu, kalau bukan sekarang. Tak
jelas lekuk di wajahnya, tetapi pancaran itu menghilangkan pikiran seperti apa
rupa di balik cahaya itu.
“Bagaimana seharusnya
aku bisa menemuinya?” seorang jamaah pengajian bertanya. Kendati tak disebut,
aku paham dan seperti ada dorongan bahwa ‘nya’ yang dimaksud adalah lelaki yang
selama ini kurindukan.
“Fakir miskin.
Kasihilah fakir miskin di sekitar kalian,” jawabnya.
“Bagaimana bisa
mengasihi, sementara kami termasuk salah satu dari golongan mereka,” ucapku
tanpa sadar.
“Anak yatim.
Santunilah anak-anak yatim.” Jawabnya.
Mendengar jawaban
itu, hatiku berkesimpulan betapa orang yang berdiri di depanku adalah lelaki
yang selama ini kurindukan. Ini bukan mimpi. Tak menyangka aku akan berkumpul
dengannya dalam satu majlis. Aku merasa hidup ini begitu sempurna. Bukankah
hidup akan terasa sempurna apabila suatu keinginan terkabulkan?
Perlahan aku
beranjak. Aku ingin selalu berada di dekatnya. Aku ingin memasrahkan segala
hidupku untuknya. Tetapi, entah hendak berarah maju ataukah bergerak mundur, langkah
menjadi limbung. Tubuhku terguncang.
“Ibu. Ibu. Sudah azan,”
samar kudengar suara Siti. Aku mengerjap. Mataku terawang. Hampir saja marah.
“Siti membangunkan
Ibu. Pertemuan Ibu belum selesai.” ucapku tak bisa menyembunyikan kekesalan dan
kegembiraanku.
“Maaf, Siti tidak
bermaksud begitu. Azan Subuh sudah sejak tadi, tapi Ibu belum juga bangun.”
Jelasnya parau.
Aku diam. Tetap
di ranjang. Menekuri kesalahan. Masih sulit untuk kuterima bahwa aku bermimpi
bertemu dengan lelaki yang kurindukan.
“Semoga suatu
saat nanti Ibu bisa mengunjungi makamnya,” katanya pelan dengan nada yang lebih
serupa permohonan untuk berhenti bermimpi. Matanya berkabut. menyiratkan cemas pada
sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.
Secercah cahaya
membuka langit. Astaga! Belum solat.
Aku bergegas ke
perigi. Membasuh muka, tangan, rambut, telinga, dan kaki. Aku ingin
menceritakan semuanya pada pemilik langit. Tentang kerinduan seorang perindu. Tak
ada yang bisa mendengar pengaduanku selain kepada-Nya.
Terimakasih,
Engkau telah mengijinkanku melihatnya meski hanya di alam mimpi. Aku yakin,
Engkau akan memberiku kesempatan mengunjunginya di alam nyata. Aku yakin Engkau
akan memberiku kesempatan menyempurnakan rukun Islam yang kelima. Amien.
Kedua tanganku
mengatup. Lelaki yang kurindukan pasti merindukanku melebihi kerinduanku. Mengasihiku
melebihi kasihku. Sebagaimana keyakinan doaku akan terkabulkan. Aku percaya,
tangan yang satu tidak mungkin bertepuk tanpa tangan yang lain.
Dan itu terbukti
sekarang!
Bagaimana kulukis
perasaan ini? Setelah melalui perjalanan panjang nan berliku, akhirnya sampai juga
pada puncak yang ingin kutuju. Sejak awal perjalanan, aku sudah yakin bisa
menemui lelaki itu. Tidak mungkin ia tidak merindukanku. Hanya saja ia masih menunggu
waktu yang tepat untuk menemuiku.
Fakir miskin? Ya,
fakir miskin. Ia menyuruh mengasihi fakir miskin, bahkan mengatakan selalu
bersama mereka. Tetapi, tunggu dulu. Bukankah aku termasuk dari golongan itu?
Berarti ia selalu bersamaku. Ah, betapa bodohnya diriku tak pernah menyadari.
Anak yatim? Ya,
anak yatim. Ia menyuruhku menyantuni anak yatim. Kuyakin itu adalah petunjuk untuk
betemu dengannya tanpa harus jauh melangkahkan kaki berziarah ke makamnya.
Pagi ini juga aku
akan mengajak kedua anakku. Mencari tahu kebenaran alamat mimpi itu. Di luar, Siti
dan Ahmad menatap semringah. Kutahu mata mereka menatap bangga. Sesosok yang
ingin kutemui berada diantara Siti dan Ahmad. Kedua tangannya memegangi pundak
anakku.
Rupanya, lelaki
yang kurindukan selalu bersamaku dan kedua anakku.
Jember, 20 Januari 2014