(Dimuat di Tabloid Nova, 21-27 April 2014)
“Bagaimana
mungkin,” desis Laksmi, tak lain berbicara sendiri.
Kifayah hari ketujuh
atas meninggal suaminya baru usai. Rumah kembali sepi. Tidak seperti hari
kemarin yang dipenuhi para pelayat. Beberapa famili menambah hari agar tempat
duka tidak sepi benar.
Laksmi bersimpuh
di atas babut. Air mata jatuh tanpa bisa dipulangkan. Ia bukan tidak tahu
betapa Rasulullah melarang ummatnya meratapi orang yang sudah meninggal. Tetapi
air mata itu bukan semurni kehendaknya. Hanya saja, setiap kali ia mengusap
janin enam bulan di perutnya selalu menjerang lara.
Keluarga almarhum
yang tidak sepenuh percaya atas kematian itu adalah Laksmi. Bukan soal tidak
siap ditinggal
meninggal. Perempuan berperawakan
kalem itu hanya perlu bukti agar hatinya bisa lapang menerima. Bagaimana bisa
dikatakan meninggal sementara jasad almarhum belum ditemukan. Kalaupun benar
meninggal, ia ingin menyimpul tawasul di atas kuburan suaminya.
Penduduk kampung
Bederan tahu kalau suami Laksmi merantau ke negeri tetangga bersama Bahri,
lelaki malang yang kembali ke kampung Bederan dengan raga berpisah dari nyawa.
Kedatangan jenazah Bahri lantas menguak kabar kalau suaminya juga meninggal akibat
bongkahan tebing yang ambruk di tempat penambangan.
“Jenazahnya
tertimbun tanah sangat dalam, sulit dievakuasi.”
“Jadi ditinggal
di situ?”
“Bisa jadi.”
“Tidak digali?”
“Jalannya
sulit.”
Spekulasi
mengalir seperti angin. Keluarga tak bisa berbuat apa-apa selain menggantung
harap jenazah itu segera kembali. Tak ada yang tahu bagaimana caranya bertanya
kabar kepada orang-orang di tempat penambangan. Berbeda kenegaraan dan
terputusnya komunikasi menjadi alasan kuat spekulasi itu berkembang.
“Laksmi ikut
Ibu, ya?”
“Tidak, Bu.
Laksmi tinggal di rumah ini, menunggu Kakang.”
“Tak ada
gunanya menunggu. Ikhlaskan …”
“Jangan paksa
Laksmi, Bu. Kalaupun Kakang tak pulang, Laksmi tetap akan membesarkan anakku di
rumah ini.”
Ia masih terpaku di atas babut. Sebelum
kembali ke Madura, berulangkali familinya menyarankan agar ia turut serta
tinggal bersama mereka. Namun, Laksmi tak tega meninggalkan rumah kayu yang susah payah dibangun dari hasil
empat kali panen.
Pikirannya melambung jauh pada suatu
malam yang mengabarkan malapetaka itu terjadi. Sepulang berjamaah dari masjid, ia
menemukan Supardi duduk di beranda. Air mukanya menyembul panik. Sekonyong-konyong
lelaki berselempang sarung itu bergegas mengabarkan kematian Bahri di tanah
rantau.
“Dulla juga meninggal,” pungkasnya.
Laksmi mendekap erat mukena. Berlari.
Lalu mengunci pintu rapat-rapat. Kabar kehamilan yang ingin segera ia sampaikan
tertahan di palung hati. Kesedihan tambah rumit dibahasakan ketika yang datang
hanya jenazah Bahri.
“Kang,” desisnya.
Perasaan
tengah berirama menjatuhkan air mata. Rambutnya tampak kisut. Ia menaikkan kudung yang
merosot tanpa disadari. Kudung hijan daun itu hadiah setahun pernikahan dari
almarhum.
“Dalam kondisi
apa pun, rambutmu tak boleh tergerai untuk orang lain selain untuk suamimu.”
Laksmi sangat ingat kata-kata itu. “Berhijab akan menjaga kehormatanmu sebagai
seorang istri,” kenang Laksmi. Sorot matanya kosong, pada bingkai foto
pernikahan di dinding kamar.
Ia tak akan
mengubah kondisi apa pun di rumah itu.
***
Sewindu terpangkas
sudah. Janin di rahim Laksmi kini menjelma malaikat mungil yang memberikan
senyum rekah. Tujuh tahun bukan perjuangan mudah. Sepetak tanah, harta
peninggalan almarhum, mana cukup menyambung hidup setiap hari dengan hasil
panen tiga bulanan. Berbagai peruntungan mencari nafkah pernah dicoba: menjual gorengan,
menjalankan bendring miliki ibu Kades, sampai dipercaya sebagai bendahara PKK di
kampungnya.
Tak ada yang
berubah di rumah itu. Kayu jati sebagai tiang utama terpancang kokoh. Dinding sirap lembab berlumut tipis. Beberapa plafon sudah tampak melepuh. Apabila ada yang berubah,
barangkali hanya perasaannya yang berubah; tak menampik dirinya terbungkus status janda.
Tak ada kabar selama sewindu seperti sudah menjawab keraguannya.
“Kenapa Bapak mau
bekerja di luar negeri? Apa tanah kita kurang subur?” tanya Sri.
“Tanah kita
sangat subur. Malah tak ada tandingannya.”
“Kok
Ayah ke luar negeri?”
“Nah, itu. Jika
nanti sudah bersekolah, banyak ilmu, Sri akan tahu jawabannya.” Laksmi tak menemukan
jawaban sepadan agar anaknya mau mengerti.
“Sekolah apa?”
“Ya, sekolah.
Sekolah untuk mencari ilmu.”
Sri tampak
bingung.
“Sudah. Ayo
tidur, katanya mau ikut tahajjud,” potongnya memegangi kedua bahu dan mencubit
gemas pipi tembam anaknya.
Sri memiliki
kebiasaan hampir sama dengan almarhum; rajin mengunjungi sawah dan gemar bermain
di pancuran. Ia sungguh riang menghalau segerombolan burung pipit yang menyerbu
kemuning padi, mengumpuli pakis muda di sepanjang selokan, atau mengusili
ikan-ikan kecil di bawah pancuran.
Laksmi melongok pada kosen jendela. Sri tengah
bersama Supardi, pemilik sawah
yang bersebelahan dengan sawahnya. Keduanya sedang mengerjakan sesuatu di pancuran. Laksmi
menatap panjang. Sejurus kemudian menjangkau semu kenangan yang tertambat kaku
di palung hatinya; saat bersama almarhum memeras cucian di pancuran itu. Supardi
menjelma sesosok yang diinginkannya. Terbayang wajah almarhum yang teduh, yang
selalu bersih seperti baru saja mandi; terngiang bicaranya yang lembut dan
suaranya yang merdu bila membaca ayat-ayat Alquran atau membaca kasidah
Barzanji.
“Sri
pulang dulu. Solat,” teriak Laksmi.
“Sebentar,
Bu. Man Pardi masih membuatkankan kincir air,” jawabnya.
Sejak
kincir air itu jadi, Supardi semakin dekat dengan Sri. Ia mengajak Sri memasang
urang-urangan, memetik sayuran, membantu mengairi sawah. Banyolan konyol
Supardi yang ditingkahi gelak tawa Sri mulai pecah di beranda rumah.
Kedekatan
Sri dengan Supardi membuat Laksmi merasa tak nyaman. Apalagi tersiar kabar kalau
lelaki yang suka menyelempangkan sarung itu baru bercerai dengan istrinya. Soal
perselingkuhan, hukum adat tak kenal kompromi. Laksmi mulai mencurigai
jangan-jangan kedekatan Supardi dengan Sri cuma sekedar modus. Ia cemas akan
terjadi fitnah. Apalagi gelegat ketidaksukaan Suriya, istri Supardi, sudah
tercium sejak sama-sama menjalani bendring milik ibu Kades karena kalah jumlah pelanggan.
Suriya terlalu memaksa, kerap marah bila setoran pelanggannya macet, begitu penilaian
ibu-ibu kampung.
Rerimbunan
pelepah nyiur di perbukitan sebelah barat memaksa matahari redup sebelum
waktunya. Ketika Laksmi mengambil pakaian di lemari, ia menemukan kudung lama
terlipat dengan pakaian almarhum. Barangkali cocok dipakai anakku, batinnya.
“Coba
pakai.”
“Apa
itu?”
“Kudung.
Barangkali cocok untukmu.”
“Aku
tak mau memakai kudung. Kata teman-teman, orang yang masih mengenakan kudung itu
kuno. Ketinggalan zaman,” tukasnya polos.
“Sri
tahu bukan, jika malu itu adalah sebagian dari iman?” tanyanya pelan.
Sri
mengangguk.
“Nah,
kudung itu salah satu hijab untuk menutupi kemaluan seorang perempuan. Seorang
muslimah sejati harus berhijab agar terhindar dari godaan dan segala fitnah
yang menyangkut dirinya. Aurat perempuan adalah seluruh anggota badan, kecuali
muka dan telapak tangan. Jadi kalau Sri mengaku seorang muslimah, Sri harus mengenakan
kudung.”
Sri
pasang muka cemberut.
“Coba
perhatikan. Apakah Sri menganggap Ibu ketinggalan zaman karena selalu memakai
kudung?”
Sri
menggeleng. “Ibu cantik. Sri ingin seperti Ibu.”
Laksmi
mencubiti pipi malaikat mungilnya.
“Bapakmu
pernah berpesan, sekali-kali Ibu tidak boleh membuka hijab untuk orang lain,
kecuali untuk dirinya. Kelak jika sudah besar, Sri juga harus mengikuti pesan Bapak;
boleh membuka hijab hanya untuk suamimu.”
***
Penduduk
kampung mulai membuat spekulasi kedekatan Sri dengan Supardi. Ada yang menghubungkan
kedekatan itu dengan rusaknya keluarga Supardi. Bahkan ada yang langsung
memvonis kedekatan itu memang musababnya. Sri terlalu kecil untuk mengerti duduk
perkara orang dewasa. Laksmi tersudut. Ibu-ibu muslimatan majlis taklim mulai
memandang sinis. Menerima tawaran ibunya untuk pulang ke Madura dipikir sebagai
solusi jitu untuk menjauh dari Supardi.
Angin berdesir
pelan. Suara jangkrik saling pagut. Sebuah krocok jatuh. Malam tak lagi hening
oleh penduduk kampung, yang didominasi kaum perempuan, menyemut menuju rumah Laksmi.
Umpatan penduduk mengalahkan suara serangga malam macam apa pun. Di tangan mereka
memegang satu benda yang sama: obor.
“Perempuan
jalang! Keluar! Aku tahu kau diam di dalam!”
Teriakan itu
seperti gema. Laksmi ketakutan melihat kobaran obor. Sri menangis di
dekapannya. Laksmi harus keluar karena merasa tak bersalah.
“Lihat! Si
perempuan jalang ini yang menggoda Kang Supardi,” umpat Suriya. Geram. Berdiri
paling depan.
“Maaf, itu
tidak benar. Demi Allah saya tidak mempunyai hubungan apa-apa. Sungguh,”
jelasnya parau.
“Alah,
banyak alasan! Penampilan saja sok alim. Kelakuannya bejat! Tukang goda suami
orang.”
“Astagfirullah,
ini fitnah.”
“Mari kita beri
pelajaran!”
Pasukan obor
tambah merapat. Siaga menghanguskan rumah kayu itu. Sementara Suriya menyeret
Laksmi dan anaknya menjauh dari rumah. Ia melepas kudung Laksmi. Laksmi berontak,
hanya berteriak. Kudung itu ditudungkan ke obor. Seketika api obor mati. Tak
puas, Suriya mengambil salah satu obor yang lain. Ujung kudung dibakar, namun api
tetap enggan melahap kain itu. Penduduk kampung melongo. Wajah-wajah beringas seketika
saling menoleh. Tak sadar sepasang kaki mereka berjalan mundur. Sedikitpun
mereka percaya betapa api dapat membuktikan kebenaran. Dari kisah Nabi Ibrahim
yang kebal api ketika dibakar hidup-hidup, sampai keselamatan pembakaran diri
yang dilakukan Dewi Shinta untuk membuktikan kesuciannya, mereka semua
mengetahui. Sementara Suriya terbakar atas kedongkolannya.
Seorang ibu,
yang tak satupun dari mereka yang kenal, memapah Laksmi dan anaknya. Laksmi bersyukur
betapa dalam lautan amarah manusia, cahaya kebenaran tetap menyala.
Jember, 25 Desember 2013