Sepulang dari tanah suci, Haji Kamil kerap terlihat di
Masjid. Tak sulit mencarinya bila tidak ada di rumah. Cari saja di masjid,
pasti ketemu!
Usai menyempurnakan rukun Islam, Haji Kamil tampak berbeda.
Setiap azan solat berkumandang, ia sudah berada masjid mendahului Sohib, takmir
yang bertugas sebagai muadzin. Kalau Sohib terlambat, Haji Kamil bisa menjadi
muazin sehingga keberadaannya di masjid cukup meringankan pekerjaan muazin.
Selain Haji Kamil, tak ada orang yang datang lebih
awal daripada muazin. Orang-orang yang ingin solat berjemaah baru datang ketika
ikamah berkumandang. Itupun yang datang dapat dihitung dengan jari. Masjid itu
mendapat jemaah paling banyak dua saf pada waktu Magrib. Isya, saf sudah
berkurang. Bila ingin melihat saf sampai ke belakang, harus menunggu tanggal
biru alias jumatan.
Haji Kamil menjelma sebagai sosok haji teladan.
Namanya kerap dibawa ketika penduduk kampung tengah bersilaturrahiem ke
tetangga yang baru datang berhaji. Saat berjabat tangan dan saling rangkul,
mereka kerap mengatakan, “Semoga menjadi haji mambur seperti Haji Kamil.”
Sebelum mendapat gelar “pak haji”, di masjid, Haji
Kamil hanya tampak pada waktu solat Magrib dan Isya. Kini, berjemaah solat lima
waktu benar-benar dijaganya.
Selesai ikamah, tanpa banyak pertimbangan, ia akan
maju ke depan. Membaca takbiratul ihram[1]
yang kemudian diikuti saf di belakangnya. Sejatinya, ilmu tajwid tak begitu
dikuasainya. Tetapi, kehajiannya merupakan putusan yang tak dapat
ditawar-tawar.
Dalam sebuah obrolan kecil, Haji Kamil kerap
mengatakan baru sadar—bukan baru tahu—kalau solat berjemaah itu memang lebih
baik daripada solat sendirian. Pahala
solat berjemaah itu lebih tinggi dua puluh tujuh derajat dari pada shalat
sendiri.
Dengan terus menjaga solat berjemaah, jalan menuju surga akan terhampar luas,
katanya. Tak ada yang lebih indah di hari tua kecuali memohon pertaubatan dan mengharapkan
surga.
Bukan hanya itu, Haji Kamil kerap bercerita perihal
pengalamannya ketika berada di tanah suci. Dengan nada sumpah, Haji Kamil
melihat betapa umat Islam dari seluruh penjuru dunia yang datang ke tempat itu menitikkan
air mata dalam kubangan dosa memohon pertaubatan. Kendati tubuh mereka dililit
oleh selembar kain putih, lambang kesucian, mereka tetap merasa diri seorang
hamba yang kotor. Lebih kotor dari kain ihram yang membungkus tubuh mereka yang
mungkin tak ada sebercak noda yang menempel.
“Mereka menangis. Memohon ampun. Mengharapkan
pertaubatan agar mendapat hidayah dan masuk surga,” cerita Haji Kamil menggebu-gebu.
Sebagai seorang yang pernah naik haji, Haji Kamil
tak lepas dari peci putih. Jarang sekali penduduk kampung mendapati dirinya
mengenakan peci warna lain, apalagi hitam. Gamis selalu dikenakannya saat
melaksanakan solat, ditambah dengan janggut yang sengaja dibiarkan memanjang
membuat dirinya tampak ke arab-araban.
“Sunnah nabi,” katanya.
Kepada anak-anak yang mengaji di masjid itu, Haji
Kamil juga menjadi juru cerita yang baik. Cerita-cerita tentang kehidupan abadi
setelah dunia: akhirat, surga, dan neraka, selalu didengung-dengungkan.
***
Ramadan tinggal menunggu waktu. Hampir setahun lebih
Haji Kamil berstatus haji. Hampir setahun pula Ridho, anak semata wayang, menimba
ilmu di sebuah pesantren tersohor di Jawa Timur. Kini, anak yang kerap disebut
lebih mirip istrinya ketimbang Haji Kamil, pulang kampung karena libur panjang
bulan Ramadhan.
Sebagai kepala keluarga, Haji Kamil menjaga betul solat
anak dan istrinya dan diusahakan untuk selalu solat berjemaah. Urusan solat
menjadi perhatian utamanya.
“Ramadan adalah bulan yang penuh berkah,” kata Haji Kamil
kepada Ridho di perjalanan pulan usai solat Isya. “Sudah kau jalankan pesanku,
Nak?”
Serasa jantung Ridho berdegup lain. “Sudah,”
pungkasnya singkat.
“Alhamdulillah, Baguslah. Abah memondokkanmu
supaya kamu menjadi orang yang benar. Solat dengan benar, karena solat itu
mencegah manusia dari perbuatan keji dan mungkar,” sesungging senyum beraroma bangga
lepas pada anaknya.
Ridho tak bermaksud berbohong. Akan tetapi
pertanyaan Haji Kamil yang datang tiba-tiba membuat dirinya reflek mengatakan
sudah. Tak apalah, ini urusan sepele. Bagaimana mungkin bisa menjaga solat lima
waktu berjemaah, sedangkan kegiatan pondok sangat padat. Lagipula program
pesantren hanya mewajibkan santrinya solat berjemaah hanya waktu Magrib, Isya,
dan Subuh. Sedangkan Zuhur dan Asar dihukumi mubah, pikirnya.
Berjemaah Solat Zuhur, tak mungkin. Sekolah pulang
jam satu siang, sedangkan Kiai Sholeh mengimami di masjid 30 menit lebih awal.
Berjamaah solat Asar sering alpa tersebab tidur siang. Kalau sudah bangun kerap
tergesa-gesa karena usai Jemaah Asar, pengurus pesantren langsung memburu para
santri untuk mengikuti ajian kitab turats[2].
Alasan nakal itulah yang termaktub di pikirannya, kendati solat berjemaah tidak
harus di masjid atau bermakmum pada kiai.
Pertanyaan Haji Kamil menjebaknya pada solat berjemaah
yang dihukumi wajib dengan yang dihukumi mubah oleh program pesantren. Sejatinya
solat lima waktu semua hukumnya wajib. Tetapi pembagian dua hukum itu
membuatnya merasa lebih enteng menunaikan solat yang dihukumi mubah daripada
yang dihukumi wajib.
Seandainya solat tidak wajib, apakah manusia masih
menunaikan solat? Cepat-cepat hati Ridho berseru istigfar.
Bohlam di pelataran rumah sudah tampak. Serangga
malam yang kecil-kecil mengerubungi cahaya 5 watt itu. Haji Kamil menyapa Parman
yang kebetulan lewat tepat ketika pagar rumah disentuhnya. Akunya, Parman baru
datang kondangan. Sementara Ridho tengah terjebak pada pertanyaannya sendiri.
Ia berusaha tak memikirkan pertanyaan konyol itu.
“Ada apa, Nak?”
“Ah, tidak apa-apa, Bah.”
Gamitan hangat mendarat di bahu Ridho.
***
Hanya berumur sehari, betapa pertanyaan itu
menghimpit kepala Ridho. Usai tasyakuran kecil menyambut hari pertama Bulan
Ramadan, Ridho tak tahan ingin mengutarakan keingintahuannya. Apakah Abah akan
marah, lalu memarahiku atau bisa saja menamparku? Ketakutan mengurungkan
niatnya.
Ketika ia coba menjawab sendiri pertanyaan itu,
malah yang muncul adalah pertanyaan turunan: kalau solat hukumnya wajib,
berarti ada paksaan untuk melaksanakan solat. Ah, kenapa ketika
berurusan dengan yang wajib serasa menjadi seorang pemberontak?
Bulan tampak separuh. Desir angin melengkungkan
tubuh lelaki tua yang kepalanya dililit sorban. Sebuah tepukan keras di udara
menyiratkan kegalakan nyamuk-nyamuk di musim hujan. Gemeretak gigi berpacu
dengan denyit lincak yang menyangga tubuhnya. Ia tengah menyaksikan panggung
rakyat di televisi.
Ridho berusahan mendekat. Perasaan bimbang
menggetarkan bibirnya.
“Belum tidur?”
“Belum ngantuk.”
“Sini. Duduk. Ada tayangan seru.”
Ridho berusaha bersikap tenang. Kedua matanya terus
disorongkan kepada Haji Kamil. Mencari celah kecil untuk kesempatan besar.
“Abah.”
“Ya,” jawab Haji Kamil tanpa menoleh. Tayangan di
televisi sepertinya lebih menarik ketimbang menatap wajah anaknya. Nafas Ridho
tambah berat.
“Kenapa kita harus melakukan solat?” tanyanya pelan.
Secara reflek punggung Haji Kamil bergerak sedikit ke belakang sebelum berganti
memalingkan muka. Membaca kening abahnya yang mengerut, bara ketakutan mengelabui pikirannya.
“Kenapa bertanya seperti itu?”
“Kita ini ‘abdun, Nak. Abdi. Hamba. Budak. Sudah
seharusnya menjalankan apa yang diperintah oleh tuannya dan menjauhi apa yang
dilarangan oleh tuannya. Solat adalah salah satu bentuk ketundukan seorang
hamba kepada tuan-Nya.”
“Cuma itu, Bah?” tanyanya datar.
Haji Kamil tak mengerti isi kepala anaknya. Apakah
aku memondokkan anakku di tempat yang salah, pikirnya. Tidak mungkin. Pesantren
Kiai Sholeh adalah pesantren salaf, mana mungkin anakku diajarkan hal yang
bukan-bukan. Dua pikiran membingungkan Haji Kamil. Pikiran anaknya dan pikiran
dirinya sendiri.
Kiai Sholeh sendiri dikenalnya sebagai sosok ulama
yang hati-hati dalam pesoalan fikih dan akidah. Sebagai alumni, Haji Kamil masih
ingat, Kiyai Sholeh muda kerap terlibat diskusi dengan pakar-pakar agama yang
bercorak liberal. Argumentasi yang dikeluarkan sudah cukup menjadi penilaian
bahwa Kiai Sholeh memang pentolan shalafus shaleh.
“Allah sudah berjanji, barangsiapa yang selalu
menegakkan solat, maka ia akan diselamatkan dari siksaan akhirat dan akan
berada di tempat yang layak, yakni surga. Solat itu tak bisa ditawar-tawar
lagi. Hukumnya wajib. Orang yang sakit sekarat saja tidak boleh tidak harus tetap
solat.”
“Itu dia, Bah.” Haji Kamil mengernyitkan dahi.
“Seandainya solat itu tidak wajib, apakah kita tetap melakukan solat?”
“Astaghfirullah! Istigfar, Nak. Istigfar!” Hampir
saja Haji Kamil melayangkan tangannya ke muka Ridho jika saja tak segera
mengontrol emosinya. Ridho ketakutan, air mukanya berubah keruh.
“Maafkan aku, Bah. Aku bukan bermaksud mempertanyakan
perkara solat itu wajib atau tidak. Cuma, sebagai manusia, aku merasa melaksanakan
solat karena perkara kewajibannya, semacam ada tuntutan melakukan solat,” serak
suara Ridho dari sisa keberaniannya.
“Kau tahu apa urusan solat?”
“Ada semacam ketidakikhlasan tersebab harapan ketika
melakukan solat, apalagi tidak melakukannya. Termasuk aku. Harapan masuk surga,
ketakutan masuk neraka. Padahal, surga dan neraka itu kekal karena dikekalkan.
Bagaimana bila nanti Allah, dengan sifat kuasa-Nya meniadakan Surga dan neraka.
Kun fayakun[3].”
“Kau terlalu berandai-andai, Nak. Jangan menuhankan
akal.”
“Aku tidak menuhankan akal. Aku merasa solatku masih
sekedar kewajiban, bukan menjadi kebutuhan. Seandainya solat itu tak wajib, aku
tak menjamin terus menjaga keutuhan solat. Aku ingin menjadikan solat sebagai
kebutuhan, bukan kewajiban.”
Haji Kamil terpaku. Bagaimana mungkin anaknya
berpikir sejauh itu. Dirinya saja, yang sudah sampai ke Baitullah tak
bisa menjangkau terlampau jauh.
“Sudah larut malam. Tidurlah. Nanti kau terlambat untuk
sahur,” tukas Haji Kamil.
Ridho menghilang di balik pintu dengan kepala
menunduk.
Senyap ruangan membuat jam dinding yang tepat di
atas Haji Kamil seperti lebih nyaring berdetak. Televisi bercakap-cakap tanpa
suara. Haji Kamil menatap kosong. Air jatuh dari sorot matanya yang mulai
memudar, tak disadari.
Betapa perkataan Ridho sebelum menyelot pintu kamar menyayat
hatinya.
“Aku ingin solat seperti solatnya Abah.”
Jember,
27 Mei 2013
[1] Takbiratul ihrom: takbir pertama
saat melaksanakan shalat. Ihram berasal dari kata haram, yang berarti
takbir haram. Artinya takbir yang mengharamkan segala yang halal sebelum
shalat.
[2] Kitab Turats: kitab yang dikaji
di berbagai pesantren. Mengacu pada ciri fisik disebut kitab kuning atau kitab
gundul. Dikatakan kitab kuning karena kertasnya berwarna kuning, sedangkan
kitab gundul karena tulisan arab di dalam kitab tersebut tak berharkat.
[3] Surat Yasin ayat 82. Ayat ini
menjadi simbol atas Maha Kehendak Allah terhadap alam semesta, baik alam nyata
maupun alam gaib.