(Tabloid NOVA, Edisi 18-24 November 2013)
Kau beranjak dari tempat tidur, mematung berlama-lama di paras jendela, memandang mawar satu-satunya di taman itu yang bisa dilihat dari jendela kamarmu dan satu satunya mawar di taman itu. Bibirmu mengatup rapat semacam rindu yang menjejal hatimu. Batang daun akasia patah. Lepas. Jatuh. Kering dan pucat. Semilir angin mengantar dengan mengulurnya sampai menemui riwayat akhir, yang entah sampai di mana perjuangannya. Ah, itu hanya selembar daun kering yang sudah takluk pada takdir yang diketok pada usia.
Kau pangkas jendela. Kisinya membelah. Wajahmu disibak angin. Terbukalah hatimu. Terbukalah perasaanmu. Terbukalah gundahmu. Terbukalah sakitmu. Mengangalah rindumu.
Kelopak matamu mengikuti sejurus daun kering itu diulur angin. Kau seakan terbang bersama daun itu, mencari titik pelabuhan terakhir untuk sampai pada ruang yang penuh dengan mawar seperti yang selalu kau tatap.
Sebuah kursi kayu tua menghadirkan sejarah di matamu. Kau pandangi arsitektur kayu itu, garis-garis kecil pada bentangannya, gambar naga di setiap ujung sisi atas tempat punggung bersandar, serta motif bunga berpita pada lekukan tangan untuk berebahan. Kau tak memiliki padanan kata yang searah guna mendeskripsikan kepingan puzzle itu. Setiap kali ingin mengatakan, setiap kali kau menuai suratan yang dalam. Maka, yang keluar hanya patahan jerit yang perasaanmu saja tak bisa menafsirinya.
“Ibu…” selalu, jerit kecilmu.
Kau mempertanyakan dirimu ada di mana. Mengembara mencari kasih sayang yang selalu membalut rindumu. Kursi panjang tua itu—yang kata ibumu akan menjadi surgamu kelak dengannya—tak mengabarkan apa-apa. Kepingan puzzle berbulan-bulan tak menuai jawaban. Sampai menemui tahun dan tahun berikutnya. Begitulah! kursi itu tak pernah menerjemahkan sabda-sabdamu.
Seekor kunang-kunang melintas. Boneka panda erat kau dekap. Matamu berpendar serupa pendar pantat kunang-kunang itu. Ia datang. Kunang-kunang itu terbang berputar-putar membawa satu titik rindu yang melilit dirimu. Pendar cahaya itu menggoda. Tangan kau bentangkan. Tak lupa kau mengalirkan kelembutan mendalam pada bentangan tanganmu agar kunang-kunang itu tak hendak ke mana. Kau yakin, kelembutan yang kau julurkan akan membuatnya tenang hinggap sejenak. Jarimu kau buka satu-satu. Padanyalah kau meminta harapan?
Tetapi, kunang-kunang itu tak jua menjatuhkan diri ke hamparan tanganmu, mengepakkan sayap yang tak mungkin bisa lagi kau pandangi kepakan itu kecuali obor kecil di tubuhnya. Kunang-kunang melintas di bawah kelopak mawar dan hinggap pada kepala naga di kursi panjang itu.
Harapan menggantung. Kisahmu tergambar di sana. Di ruang yang berbeda, sebuah kisah melanjutkan anganmu terbang ke nirwana bersama sayap-sayap peri, seperti yang dikisahkan oleh ibumu.
Tak pernah kau menghiraukan larangan ayahmu untuk berdekatan dengan kunang-kunang itu. Ya, sedikit pun kau tak percaya betapa kunang-kunang jelmaan dari kuku orang-orang yang sudah meninggal, seperti yang dikatakan ayahmu. Keyakinan tertanam kuat lantaran ibumu menyangkal ketidakbenaran dengan menanamkan keyakinan betapa kunang-kunang merupakan representasi serpihan sayap-sayap peri yang tercecer saat menyambangi bumi. Serupa salju yang turun di musim dingin.
Itulah dua cerita beda pandang tentang kunang-kunang yang kau warisi dari kedua orangtuamu. Kau memilih cerita yang terakhir. Tak mungkin jika kunang-kunang adalah jelmaan dari kuku orang-orang yang sudah mati akan memberimu sedikit kelegaan hati saat memandangnya. Kau merasa begitu indah bila menjadi kunang-kunang. Berawal dari serpihan sayap-sayap peri, lalu bermetamorfosis. Jika di langit kau ingin menjadi bintang, maka di bumi kau ingin menjadi kunang-kunang. Redup cahayanya selalu berpendar di matamu. Membentuk sketsa yang telah jauh lama pergi, tapi selalu dekat denganmu. Karena sketsa itu kau ingin menjadi kunang-kunang dan karena kunang-kunang sketsa itu selalu ada. Entah di mana, kau tak bisa meraba, apalagi merasa.
Pernah suatu ketika kau melukis rupa ibumu. Tetapi kemudian, yang tergambar adalah rupa kunang-kunang, bukan rupa ibumu. Kau buat oretan lagi, namun hasilnya tetap sama. Begitulah akhirnya, kau ingin menjadi kunang-kunang.
Maka, tutur riwayat kunang-kunang itu kau wariskan kepada boneka panda yang selalu menemani tidurmu. Matamu cair bersama nyanyian sepi. Kau tak bisa membuat pernyataan sendiri. Setiap ucapan selalu saja kau sandarkan pada “kata ibu…”.
Pada kata itulah kau menemukan kekuatan.
Sungguh, entah malam yang ke berapa kau melewatkannya tanpa belaian ibumu. Dongeng tentang kunang-kunang serta riwayat orang-orang sakti yang tak perlu telepon, SMS, berkirim email, atau sampai chatting hanya untuk bertutur kata dengan orang nun jauh di sana. Cukup hanya dengan memutihkan hati, riwayat itu akan terbukti. Maka, kau pejamkan matamu untuk bercakap-cakap dengan ibumu.
Daun akasia kembali lepas dari rantingnya. Kali ini angin menghempasnya tak berperasaan. Beberapa kali daun itu berguling-gulung di tanah dan menghilang entah di mana riwayat akhir daun itu.
“Anakku.”
Boneka pandamu terjatuh. Matamu terbuka. Suara itu lekas menghampirimu. Kau tahu apa yang mesti kau lakukan: diam berselimut takut. Larangan yang tak dihiraukan selalu berbuah murka. Dan, untuk kali kesekian ayahmu memperingati untuk tidak bermain-main dengan kunang-kunang. Tentu dengan alasan yang sama, yang tak ingin kau dengar.
“Apa yang kau lakukan?”
“Aku rindu ibu!”
“Tidurlah! Besok kau musti sekolah,” ayahmu selalu memotong keluh rindumu.
Jendela itu masih terbuka. Air matamu menetes di pangkal hidung pandamu. Setiap kali kau menutup jendela, kau beryakin diri masih punya kesempatan menemui kunang-kunang malamnya lagi.
***
Pagi baru saja mengecup kening bumi. Kau dikagetkan dengan senyum ayahmu bersama seorang wanita berparas bahagia. Tak biasanya ayahmu menjemputmu sampai kamar. Lumrahnya, yang selalu mengetok pintu kamar adalah si pembantu. Ia juga yang menyiapkanmu makanan, seragam, tas, dan sepatu.
Perempuan itu mendekat. Membelai rambutmu. Tapi kau berlari ke pangkuan ayahmu dan memeluknya erat. Kau ketakutan.
“Bukankah kau ingin memiliki ibu? Dia akan menjadi ibumu,” kata ayahmu.
Kau menggeleng. Kisah Cinderella yang pernah ibumu ceritakan membayangi ketakutanmu. Bagaimana kalau perempuan itu bertindak kejam sebagaimana cerita itu? Lalu ingin memisahkanmu dengan ayahmu?
“Kenapa?”
“Aku mau ibuku. Bukan perempuan itu.” Kau peluk pinggang ayahmu seerat sisa kekuatamu. Lama kau menatap perempuan itu. Dari ujung rambut sampai alas kakinya.
“Jangan takut. Dia baik.” Perempuan itu kembali mendekat. Berjongkok menyejajarkan muka denganmu.
“Namaku Linda. Terserah kau memanggilku apa. Aku ingin menjadi sahabatmu. Bagaimana?” ia menjulurkan tangan.
“Apa kau suka kunang-kunang?” Katamu lirih. Sejenak, Perempuan itu memandang ayahmu.
“Tentu, aku sangat suka kunang-kunang. Aku suka cahayanya. Kerlap-kerlip seperti bintang, seperti sayap peri. Apa kau juga suka?” senyum perempuan itu begitu centil, keluar lesung pipi.
“Ya. Aku juga suka.”
“Jadi, kita bersahabat?” ia mengulurkan tangan.
Karena perempuan itu suka kunang-kunang, kau mau bersahabat. Semakin hari persahabatanmu semakin akrab sehingga kau tak lagi keberatan jika ayahmu menikahinya. Kau bersedia perempuan itu menjadi ibu barumu. Tetapi kau tak mengubah panggilan tante menjadi ibu kendati ayahmu telah menikahinya.
Tiba suatu ketika, ayahmu pamit ke luar kota untuk mengembangkan usahanya. Kau tak paham istilah-istilah yang dikatakan ayahmu: saham, properti, investasi, dan sasi-sasi yang lain. Yang kau pahami hanya ayahmu akan meninggalkanmu cukup lama. Kau akan ditinggalkan bersama pembantu dan ibu tirimu. Terbayang sikap ibu tiri Cinderella yang menyiksanya saat sang ayah tak ada di rumah dalam waktu yang cukup lama. Kau takut tante Linda akan berbuat demikian, kendati selama ini tak pernah ada tanda-tanda itu.
Hari demi hari, ternyata anganmu tak menjadi nyata. Ketakutan hanya sekedar hantu. Tante Linda benar-benar menjadi ibu yang sesungguhnya. Ia setia menemanimu tidur, mendongengkan cerita-cerita lucu, meninabobokan, dan mengantarmu pergi ke sekolah esok harinya.
Kau tak canggung lagi menyebutnya ibu.
***
Suatu malam, kau temui lagi binatang yang pantatnya memancarkan cahaya kuning itu. Kau menarik tangan ibumu kuat-kuat hingga sampai di ambang jendela kamarmu. Kau memperlihatkan kunang-kunang itu.
“Kata ibu, kunang-kunang itu adalah serpihan sayap peri,” katamu polos.
“Benar, sayang. Kunang-kunang itu adalah serpihan sayap peri,” timpalnya seraya mengalirkan kelembutan pada tubuhmu yang lelah termakan kantuk. ”Indah bukan?”
“Tapi ayah mengatakan kunang-kunang itu adalah kuku orang orang mati.”
“Sayang. Kalau kunang-kunang itu dari kuku orang yang sudah mati, tentu tak akan seindah itu. Pasti akan menyeramkan. Mungkin juga menakutkan.” Kau menyandarkan pundakmu pada ibumu. “Kenapa? Kau mau jadi kunang-kunang?”
“Ya,” katamu mantap.
“Kalau begitu, tidurlah agar kamu cepat terbang seperti kunang-kunang itu.”
Kalau aku menjadi kunang-kunang, aku pasti bertemu ibu, begitulah bisikan rindumu. Ibumu sudah tidur. Keinginan untuk segera menjadi kunang-kunang membuatmu tak bisa tidur malam itu. Padahal ibumu sudah mengatakan, jika ingin cepat-cepat menjadi kunang-kunang, kau harus segera tidur.
Maka, kau terus memikirkan itu, selalu menoleh ke belakang, ke punggungmu. Berharap di sana akan tumbuh sepasang sayap emas. Pada kamar yang remang, tumbuhlah sayap pada kedua punggungmu. Jelas kau takjub. Mimpimu terkabulkan. Ibumu disampingmu. Mengajakmu terbang mengitari taman, mengitari sesosok tubuh yang terlelap dalam tidurnya.
Pagi sekali, jendela kamarmu sudah terbuka lebar. Udara begitu leluasa masuk dari jendela itu. Ibumu bingung tak lagi mendapatimu di sisinya. Ia berdiri di ambang jendela menatap cericit burung di pohon akasia. Lalu, bergeliat manja.
Ibumu terkejut setengah mati. Histeris dan tangis pecah mendapatimu terlentang di taman. Ia mengatup bibir serapat mungkin dan menutup dengan kedua tangannya. Gerangan apa yang ingin kau katakan dari darah yang mengucur dari kepalamu?
Buru-buru ibumu menelpon ayahmu. “Mas, melompat dari jendela!” histerisnya lagi.
“Apa yang kau lakukan?” bentakan ayahmu di seberang.
“Aku tidak melakukan apa-apa, mas. Semalam, aku dengannya bercerita tentang kunang-kunang.”
“Apa yang kau katakan?!” bentakan itu semakin hebat.
“Aku tak mengatakan apa-apa. Aku hanya membenarkan perkataannya kalau kunang-kunang itu adalah serpihan sayap peri.” Telponnya langsung putus.
Betapa pilihan yang kau pilih serasa belum sepenuhnya tepat. Kau mendapatkan keinginan yang kau impikan; selalu bersama ibumu. Sementara kau cuma berkesempatan memiliki waktu menemui ayahmu—terkadang ibu tirimu—saat gelap merajai. Tetapi kau selalu merasa puas karena setiap kali kau terbang ke arah jendela, ayahmu selalu menunggumu. Memperhatikanmu.
***
Sumenep, November 2011 – Jember, 2012