Berapa kian kali, aku mendapat surat yang sama. Surat pengakuan sebuah perasaan. Tapi kenapa dia tak terus terang saja. Siapa namanya. Juga alamatnya. Malah katanya tak penting bagiku untuk membalas surat-suratnya.
Jujur, aku senang sekali. Dan itu harus aku hargai dan harus aku jaga. Prinsip hidupku mengatakan: menjaga agar orang-orang yang mencintaiku tak kehilangan kembali. Aku harus mencari tahu siap orangnya!
@@@
Tok…tok…!
Ketukan dari balik pintu mengagetkanku yang masih tidur pulas. Mau tidak mau aku harus merelakan mimpi indahku lenyap karena suara itu.
“Dani, bangun, dah jam berapa nich!”suara kakak terdengar jelas di balik pintu.
"Ya! Kak," jawabku malas.
Aku sangat kesal dengap perlakuan kakak. Betapa tidak, di saat aku berdiri tegar di ujung kapal TITANIC, berdiri kokoh sebagai Jack yang sedang memeluk Rose dari belakang. Merentangkan tangan dan memandang hamparan samudera luas. Menikmati indahnya laut. Membiarkan desauan angin samudera membelai kita—aku dan Rose. Tiba-tiba kapal yang kami tumpangi menabrak sebuah gunung es. Benturannya sangat keras. Sekeras tangan kakak mengetuk pintu.
Langkahku gontai membuka puntu. Aku buka pintu kamar. Di sana, kakak sudah menatap tajam. Aku yang belum sepenuhnya menyatu dengan ‘roh’ku menggaruk kepala, meski sebenarnya tak ada gatal.
“Ah, kakak apa-apan sih, ganggu tidurku saja.” Ucapku kesal.
“Coba lihat! dah jam berapa sekarang” celotehnya.
Akau menatap jam dinding yang bergelantung di belakang kakak. Astaga! Mataku terbelalak. Mulutku terbuka lebar menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 07.35 WIB. Rasa kantuk yang dari tadi bergelantungan, kini buyar entah ke mana. Secepat kilat aku melangkah ke kamar mandi. Tak peduli dengan kakak yang tetap berkacak pinggang menatapku.
Setelah semua siap, aku sempatkan menghampiri kakak di meja makan. Meraih tangannya dan mencium dengan penuh hormat. Tangan dinginnyalah yang selama ini membesarkanku tanpa aku merasakan sebuah kasih sayang orang tua seperti yang sempat kakak rasakan. Katanya: ibuku meninggal setelah melahirkan aku, sedangkan ayah meninggal pada waktu aku berumur sembilan bulan. Ayahku meninggal dalam tragedi tabrakan di senja hari sepulang dari tempat kerjanya.
Aku benar-benar banyak kehilangan di masa laluku. Banyak kehilangan orang yang mencintaiku. Maka dari itu, aku sangat tak ingin kehilangan kakakku. Aku akan berusaha menjaga orang-orang yang selalu memahamiku, menganggap aku ada dan memberiku cinta dan kasih sayang.
“Kak, aku berangkat,” pamitku memburu.
“Hati-hati di jalan,“ kata kakak.
Aku terus melangkah. Keterlambatan membuatku tergesa-gesa. Saking tergesa-gesanya, sampai di teras, aku hampir terjatuh karena menginjak sesuatu. Sepucuk surat. Aku langsung memasukkan ke dalam tas tanpa berpikir apa isi di dalamnya. Aku harus mengejar waktu.
Matahari terus meninggi. Aku berlari melewati gang-gang perumahan yang agak kumuh. Jalan pintas yang sering aku pakai bila terdesak.
Tiba di sekolah, gerbang utama ditutup. Tak seorang pun siswa yang berkeliaran. Semua sudah berada di kelas masing-masing. Kecuali satu orang, yang selalu setia menjaga pintu gerbang. Security alias Hansip!
Aku terpaksa menunggu jam pertama usai. Seperti biasa, nongkrong di kedai bu Tijah.
“Kamu tidak masuk? Terlambat ya?” tanya Bu Tijah. Ada nada sindiran dari ucapannya. Aku hanya mengangguk.
Setelah meneguk minuman Frestea sebatas menghilangkan dahaga, aku teringat pada surat yang aku injak tadi. Masih lengkap dengan bekas sepatuku. Kubuka surat itu. Ah! Ternyata isi dan bahasanya sudah klise!
@ @ @
Minggu melipat hari. Kini, hari-hariku disibukkan dengan Ujian Akhir Nasinal (UAN) yang tinggal beberapa hari lagi. Persiapan harus di matangkan. Standart kelulusan tahun ini terbilang tinggi. Sehingga memaksaku untuk mengikuti kegiatan ekstra kurikuler semacam lest, kursus dan kegiatan lain yang sekiranya mendongkrak nilaiku nanti.
Hari itu, senja kian mendekat. Matahari mulai mendekati garis cakrawala. Semua orang kembali keperaduan. Memenuhi panggilan suci. Aku baru pulang dari sekolah, usai mengikuti pelajaran Ektra Kurikuler. Tubuhku lelah. Begitu pun pikiran dan semangat juangku yang beberapa hari terakhir selali diforsir.
Aku ingin cepat sampai di rumah. Ingin segera istirahat.
Seperti biasa, jika dalam keadaan tidak memungkinkan, aku lewat jalan pintas. Aku takut sampai di rumah, gelam sudah mencekam. Di jalan, di gang kecil, aku sempat berpapasan dengan gadis. Di pundaknya tersandang tas. Beberapa buku terselip di pelukannya. Dia berjalan menunduk.
Dia terus berjalan menunduk menapaki jalan yang remang itu. Entah mengapa, aku merasakan sesuatu bahwa dia seakan sangat dekat denganku. Ada perasaan yang berbeda. Setelah dekat, aku berusaha mencuri pandang. Namun aku gagal mendapatkan sketsa wajahnya. Dia selalu menunduk. Seakan ada beban perasaan yang menyelimutinya.
Sempat terlintas dibenak untuk menyapa. Namun aku ragu. Takut gadis itu memberikan persepsi lain terhadap niat baikku. Lagipula hari mulai gelap. Takut dia akan berprasangka yang bukan-bukan. Akhirnya aku tak mempedulikannya. Membiarkannya berlalu begitu saja tanpa aku pedulikan, seperti angin yang membawa kabar sunyi.
Sesaat kemudian, telingaku mendengar suara aneh yang disusul dengan hantaman keras. Ya! Itu suara denyit ban mobil. Tepat di persimpangan jalan, aku melihat gadis tadi sudah tergolek di tengah jalan. Darahnya nengalir. aku cepat-cepat ke sana.
Oh…betapa naifnya. Gadis yang malang. Dia tertabrak mobil. Darahnya bercucuran ke mana-mana. Mukanya yang cantik, kini berhias darah yang terus keluar dari hidung dan pelipisnya. Aku pegang pergelangan tangannya dan menekan urat nadi, ternyata sudah bernyawa. Aku bingung, apalagi malam terus membuntuti.
Aku mengambil tas yang masih berselendang di dadanya. Mengotak-atik isinya. Berharap mendapatkan sebuah titik terang. Namun aku tak mendapat keterangan apapun. Yang aku temukan hanya buku-buku pelajaran dan sebuah catatan harian kacil berwarna biru.
Aku kaget. Tak percaya. Di dalam catatan itu, namaku bertaburan dalam pahatan penanya. Catatan harian itu memberiku sebuah kesimpulan bahwa dialah yang selalu menulis surat untukku. Dia menumpahkan semua isi hatinya di diary itu. Kepadaku.
Dia mencintaiku? Aku tetap tak percaya. Aku terus berusaha mencari identitasnya. setidaknya, tahu siapa nama gadis itu. Namun sia-sia belaka, aku tak mendapatkan apa-apa.
Air mataku berjatuhan. Tak tahu harus berbuat apa. Ada penyesalan yang mendalam. Aku kembali tak bisa menjaga dan memelihara orang yang mencintaiku. Kenapa aku selalu kehilangan orang yang selalu mencintaiku? Kenapa…?
Aku hanya bisa merangkul gadis yang sudah tak bernyawa. Aku peluk erat-erat. Aku tak peduli meski tubuhku harus bersimbah darah. Di malam yang sunyi aku lebur bersama kepedihan. Hanya kepedihan. Meratapi penyesalan.
Bumi Al-Sael (C/11), 2010
Dimuat di Majalah Infitah
Jujur, aku senang sekali. Dan itu harus aku hargai dan harus aku jaga. Prinsip hidupku mengatakan: menjaga agar orang-orang yang mencintaiku tak kehilangan kembali. Aku harus mencari tahu siap orangnya!
@@@
Tok…tok…!
Ketukan dari balik pintu mengagetkanku yang masih tidur pulas. Mau tidak mau aku harus merelakan mimpi indahku lenyap karena suara itu.
“Dani, bangun, dah jam berapa nich!”suara kakak terdengar jelas di balik pintu.
"Ya! Kak," jawabku malas.
Aku sangat kesal dengap perlakuan kakak. Betapa tidak, di saat aku berdiri tegar di ujung kapal TITANIC, berdiri kokoh sebagai Jack yang sedang memeluk Rose dari belakang. Merentangkan tangan dan memandang hamparan samudera luas. Menikmati indahnya laut. Membiarkan desauan angin samudera membelai kita—aku dan Rose. Tiba-tiba kapal yang kami tumpangi menabrak sebuah gunung es. Benturannya sangat keras. Sekeras tangan kakak mengetuk pintu.
Langkahku gontai membuka puntu. Aku buka pintu kamar. Di sana, kakak sudah menatap tajam. Aku yang belum sepenuhnya menyatu dengan ‘roh’ku menggaruk kepala, meski sebenarnya tak ada gatal.
“Ah, kakak apa-apan sih, ganggu tidurku saja.” Ucapku kesal.
“Coba lihat! dah jam berapa sekarang” celotehnya.
Akau menatap jam dinding yang bergelantung di belakang kakak. Astaga! Mataku terbelalak. Mulutku terbuka lebar menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 07.35 WIB. Rasa kantuk yang dari tadi bergelantungan, kini buyar entah ke mana. Secepat kilat aku melangkah ke kamar mandi. Tak peduli dengan kakak yang tetap berkacak pinggang menatapku.
Setelah semua siap, aku sempatkan menghampiri kakak di meja makan. Meraih tangannya dan mencium dengan penuh hormat. Tangan dinginnyalah yang selama ini membesarkanku tanpa aku merasakan sebuah kasih sayang orang tua seperti yang sempat kakak rasakan. Katanya: ibuku meninggal setelah melahirkan aku, sedangkan ayah meninggal pada waktu aku berumur sembilan bulan. Ayahku meninggal dalam tragedi tabrakan di senja hari sepulang dari tempat kerjanya.
Aku benar-benar banyak kehilangan di masa laluku. Banyak kehilangan orang yang mencintaiku. Maka dari itu, aku sangat tak ingin kehilangan kakakku. Aku akan berusaha menjaga orang-orang yang selalu memahamiku, menganggap aku ada dan memberiku cinta dan kasih sayang.
“Kak, aku berangkat,” pamitku memburu.
“Hati-hati di jalan,“ kata kakak.
Aku terus melangkah. Keterlambatan membuatku tergesa-gesa. Saking tergesa-gesanya, sampai di teras, aku hampir terjatuh karena menginjak sesuatu. Sepucuk surat. Aku langsung memasukkan ke dalam tas tanpa berpikir apa isi di dalamnya. Aku harus mengejar waktu.
Matahari terus meninggi. Aku berlari melewati gang-gang perumahan yang agak kumuh. Jalan pintas yang sering aku pakai bila terdesak.
Tiba di sekolah, gerbang utama ditutup. Tak seorang pun siswa yang berkeliaran. Semua sudah berada di kelas masing-masing. Kecuali satu orang, yang selalu setia menjaga pintu gerbang. Security alias Hansip!
Aku terpaksa menunggu jam pertama usai. Seperti biasa, nongkrong di kedai bu Tijah.
“Kamu tidak masuk? Terlambat ya?” tanya Bu Tijah. Ada nada sindiran dari ucapannya. Aku hanya mengangguk.
Setelah meneguk minuman Frestea sebatas menghilangkan dahaga, aku teringat pada surat yang aku injak tadi. Masih lengkap dengan bekas sepatuku. Kubuka surat itu. Ah! Ternyata isi dan bahasanya sudah klise!
@ @ @
Minggu melipat hari. Kini, hari-hariku disibukkan dengan Ujian Akhir Nasinal (UAN) yang tinggal beberapa hari lagi. Persiapan harus di matangkan. Standart kelulusan tahun ini terbilang tinggi. Sehingga memaksaku untuk mengikuti kegiatan ekstra kurikuler semacam lest, kursus dan kegiatan lain yang sekiranya mendongkrak nilaiku nanti.
Hari itu, senja kian mendekat. Matahari mulai mendekati garis cakrawala. Semua orang kembali keperaduan. Memenuhi panggilan suci. Aku baru pulang dari sekolah, usai mengikuti pelajaran Ektra Kurikuler. Tubuhku lelah. Begitu pun pikiran dan semangat juangku yang beberapa hari terakhir selali diforsir.
Aku ingin cepat sampai di rumah. Ingin segera istirahat.
Seperti biasa, jika dalam keadaan tidak memungkinkan, aku lewat jalan pintas. Aku takut sampai di rumah, gelam sudah mencekam. Di jalan, di gang kecil, aku sempat berpapasan dengan gadis. Di pundaknya tersandang tas. Beberapa buku terselip di pelukannya. Dia berjalan menunduk.
Dia terus berjalan menunduk menapaki jalan yang remang itu. Entah mengapa, aku merasakan sesuatu bahwa dia seakan sangat dekat denganku. Ada perasaan yang berbeda. Setelah dekat, aku berusaha mencuri pandang. Namun aku gagal mendapatkan sketsa wajahnya. Dia selalu menunduk. Seakan ada beban perasaan yang menyelimutinya.
Sempat terlintas dibenak untuk menyapa. Namun aku ragu. Takut gadis itu memberikan persepsi lain terhadap niat baikku. Lagipula hari mulai gelap. Takut dia akan berprasangka yang bukan-bukan. Akhirnya aku tak mempedulikannya. Membiarkannya berlalu begitu saja tanpa aku pedulikan, seperti angin yang membawa kabar sunyi.
Sesaat kemudian, telingaku mendengar suara aneh yang disusul dengan hantaman keras. Ya! Itu suara denyit ban mobil. Tepat di persimpangan jalan, aku melihat gadis tadi sudah tergolek di tengah jalan. Darahnya nengalir. aku cepat-cepat ke sana.
Oh…betapa naifnya. Gadis yang malang. Dia tertabrak mobil. Darahnya bercucuran ke mana-mana. Mukanya yang cantik, kini berhias darah yang terus keluar dari hidung dan pelipisnya. Aku pegang pergelangan tangannya dan menekan urat nadi, ternyata sudah bernyawa. Aku bingung, apalagi malam terus membuntuti.
Aku mengambil tas yang masih berselendang di dadanya. Mengotak-atik isinya. Berharap mendapatkan sebuah titik terang. Namun aku tak mendapat keterangan apapun. Yang aku temukan hanya buku-buku pelajaran dan sebuah catatan harian kacil berwarna biru.
Aku kaget. Tak percaya. Di dalam catatan itu, namaku bertaburan dalam pahatan penanya. Catatan harian itu memberiku sebuah kesimpulan bahwa dialah yang selalu menulis surat untukku. Dia menumpahkan semua isi hatinya di diary itu. Kepadaku.
Dia mencintaiku? Aku tetap tak percaya. Aku terus berusaha mencari identitasnya. setidaknya, tahu siapa nama gadis itu. Namun sia-sia belaka, aku tak mendapatkan apa-apa.
Air mataku berjatuhan. Tak tahu harus berbuat apa. Ada penyesalan yang mendalam. Aku kembali tak bisa menjaga dan memelihara orang yang mencintaiku. Kenapa aku selalu kehilangan orang yang selalu mencintaiku? Kenapa…?
Aku hanya bisa merangkul gadis yang sudah tak bernyawa. Aku peluk erat-erat. Aku tak peduli meski tubuhku harus bersimbah darah. Di malam yang sunyi aku lebur bersama kepedihan. Hanya kepedihan. Meratapi penyesalan.
Bumi Al-Sael (C/11), 2010
Dimuat di Majalah Infitah