Film Laskar Pelangi yang diangkat dari novel inspiratif karya penulis muda Andrea Hirata berhasil menyita perhatian publik. Sejumlah media cetak maupun elektronik mengekpose besar-besaran film yang berlatar belakang pendidikan itu. Belitong dijadikan latar belakang terpinggirkannya pendidikan berhasil menggambarkan potret buram wajah pendidikan di Indonesia.
Ada tiga hal yang dapat kita amati dari film itu, pertama, kurangnya perhatian pemerintah terhadap fasilitas pendidikan, terutama sekolah-sekolah yang ada di pedalaman (desa), sehingga merasa terpinggirkan. Anggaran 20 persen dari pemerintah untuk pendidikan lebih cenderung diorientasikan pada sekolah di perkotaan yang berstatus Negeri (jawa pos, 25 November 2008).
Kedua, mahalnya biaya pendidikan membuat Lintang dkk harus merasakan sekolah yang tidak kondusif; atap bocor, sekolah hampir roboh, dan dinding-dinding berlobang.
Ketiga, perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan guru honorer (Non-PNS) kurang begitu diperhatikan. Itulah yang melatarbelakangi guru SD Muhammmadiyah banyak yang mengundurkan diri, hingga yang tersisa hanya ibu Muslimah dan pak Harfan, selaku kepala sekolah.
Kurang diperhatikan
Banyak media-media—baik Lokal maupun Nasional—mengekpose potret wajah pendidikan di Indonesia yang masih perlu di benahi dari segala sisi. Seperti yang terjadi di Kediri, catatan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Kediri, sedikitnya ada 182 gedung SD, 49 gedung SMP, dan 6 gedung SMA rusak parah. Gedung yang direhabilitasi tahun ini hanya 61 sekolah, disebabkan anggaran yang tersedia terbatas. Beberapa guru yang mengajar diluar bidang keahlian mereka. (Kompas Jatim, 14 Mei 2009) Dan nasib guru honorer yang masih terkatung-katung. Fenomena tersebut menggambarkan betapa rendahnya citra pendidikan kita yang terkikis oleh “materi” sehingga terabaikan.
Menanti nasib
Guru adalah sosok sentral dalam lembaga pendidikan. Kualitas lembaga tidak bisa dipandang dari segi materi; gedung megah, fasilitas lengkap, maupun status sekolah (Negeri atau Swasta). Akan tetapi, out-put (Alumni) lembaga yang akan menjawabnya. Sejauh mana, mereka, setelah lulus, terampil dengan disiplin ilmu yang telah diperoleh selama menempuh jenjang pendidikan.
Kunci utama untuk bisa mewujudkan out-put yang berkualitas adalah tergantung sejauh mana peran seorang guru. Karena ia adalah “kemudi arah pendidikan”. Berkualitas atau tidaknya, tidak lepas dari peran dan fungsi seorang guru dalam melakukan aktivitas pembelajaran.
Namun, pemerintah sampai sekarang masih menganaktirikan antara guru honorer (Non-PNS) atau wiyaya bakti dengan guru Negeri (PNS). Nasib sekitar 922.000 guru honorer di sekolah Negeri atau Swasta masih belum jelas, disebabkan sebagian besar sekolah tidak sanggup menaikkan pendapatan mereka. Sedangkan bantuan dari pemerintah masih terbatas dan tidak merata (Kompas, 14 Mei 2009).
Pada hakikatnya, kedua guru tersebut adalah sama-sama menyandang gelar pahlawan tanpa tanda jasa. Bedanya, hanya nasib dan lokasinya saja; guru PNS beruntung karena sebagian besar mengajar di sekolah Negeri dan kesejahteraanya sudah dijamin oleh pemerintah, sedangkan guru honorer—selain mempunyai tugas mengajar—yang sebagian besar mengajar di sekolah Swasta masih harus mencari kesejahteraan dari pemerintah. Guru Negeri lebih santai mengajar karena mereka sudah dijamin, sedangkan guru honorer harus jatuh bangun mencari jaminannya yang hilang.
Tidak sedikit dari kisah guru honorer yang terlilit hutang sangat banyak, gaji bulanan yang pas-pasan tidak sanggup “mencukupi” kebutuhan keluarga. Bahkan, ada sebagian mereka yang tidak sanggup melanjutkan pendidikan anaknya sendiri sampai ke Perguruan Tinggi (PT). Sangat ironis sekali, seorang guru yang mempunyai tugas mendidik, tidak sanggup mengantarkan pendidikan anaknya sendiri sampai ke PT.
Banyak guru honorer yang berpuluhan tahun mengabdi di sebuah lembaga pendidikan, tetap nasibnya masih tidak diperhitungkan. Tunjangan profesi guru masih tidak merata. Perlu kiranya pemerintah mempertimbangkan kembali sistematika peningkatan tunjangan profesi guru agar bisa merata, sehingga secara ekonomi cukup menjamin keluarga dan pendidikan anaknya sendiri.
Guru sebagai salah satu unsur utama dalam dunia pendikan, kemudi (driver) arah pendidikan guna meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang lebih baik, haruslah ditangani sungguh-sungguh kesejahteraannya mengingat peran guru yang begitu penting. Mereka perlu mendapatkan penghidupan yang layak. Sebab, kemajuan negara berangkat dari genggamannya.
Cukuplah mereka mendapat gelar “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” tanpa harus mendapat gelar “Pahlawan Tanpa Tanda Sejahtera”.