Friday, February 20, 2009

Lembaran yang hilang


“Selama jari–jemariku tetap lihai menari di atas tuts mesin tik ini. Aku tidak akan pernah berhenti menulis,” gumamnya sembari memainkan jarinya di atas abjad demi abjad.
Di tengah malam yang sunyi. Di bawah terpaan nur rembulan. Ia terus mengetik. Desauan angin malam telah menghilangkan rasa kantuknya. Dia tidak pernah putus asa meski pada kenyataannya, dunia tidak pernah berpihak kepadanya. Karyanya tidak pernah satu pun yang dimuat di media massa. Setiap kali ia mengirim, saat itu pula karyanya bagai hilang di telan bumi. Tidak pernah ada kabar. Padahal ia menulis dengan sepenuh hati dan penuh penjiwaan sosial.
Namun, tekadnya tidak pernah patah arang. Adalah cita-citanya menjadi seorang Cerpenis sejati. Setiap malam, ia selalu bermain-main dengan mesin tik yang sudah tua itu. Bunyinya yang selalu membuat para tetangga terpaksa memberi umpatan yang memekikkan telinga, karena terganggu oleh suara bising itu. Walau hasilnya hanya ditumpuk di bawah meja kerja. Menurutnya, membuat cerpen adalah jalan untuk berkreasi. Bukankah di dalam setiap cerpen itu mengandung unsur-unsur yang akan disampaikan kepada para pembaca. Bukankah berda’wah tidak hanya dengan bil-lisan? Melainkan bil-qalam-pun kita juga bisa.
Malam itu. Sunyi semakin merayap. Yang terdengar hanya detakan mesin kuno yang menjadi instrumentalia malam. Rembulan kian meninggi. Cahaya yang semburat keemasan menjadikan malam itu malam yang sempurna. Di atas kanvas langit, tidak ada awan hitan maupun kabut putih yang menghalangi. Pendar cahayanya begitu dekat dengan relung hati. Sejuk memandikan jiwa yang sepi. Dia membuat sebuah cerpen yang mengutarakan tentang rembulan sebagai salah satu tanda-tanda kebesaran-Nya. Malam itu, rembulan bersinar penuh kebanggaan. Senyum centilnya membuat kata-kata semakin mudah untuk dimuntahkan.
Di tangannya, terselip sebatang rokok. Menghirup dan mengeluarkan kembali tanpa beban sekali pun. Ia khusuk bersama lingkaran abjad-abjadnya. Sesekali mata sipit itu melirik bulan dari balik tirai jendela. Cahaya bulan sangat membantu membuat inspirasi. Samar-samar ia mendengar derap langkah seseorang dari arah belakang.
“Bang! Belum selesai?”
“Belum,” ucapnya datar tanpa menoleh sedikit pun. Karena ia dapat menerka siapa yang berbicara di sana. Istrinya.
“Belum tidur?” Tanyanya balik sambil menghisap rokok yang masih terjepit di tangannya.
“Habis salat lail,” ia membuka mukena yang masih di pakai.
“Abang nggak capek?”
Tak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara detakan tuts yang tak beraturan Dan kepulan asap yang dientaskan menghiasi sudut-sudut ruangan. Ia tak memperdulikan kata-kata istrinya.
“Sudahlah bang, jangan di paksakan. Ini sudah larut malam. Lagian nggak enak sama tetengga. Buat apa cerpen-cerpen abang yang segunung itu?” Pinta istrinya dengan nada memelas.
Detakan itu berhenti. Ia menoleh. Agaknya sedikit tersinggung dengan perkataan istrinya. Namun, ia masih bisa menjaga emosi. Sementara istrinya merasa takut melihat tatapan suami yang begitu tajam seperti elang yang siap menerkam mangsanya. Takut kalau tersinggung dan marah atas perkataan itu.
“Memang, ini adalah kertas yang tak berharga. Namun, bagiku ini adalah jauh dari keberhargaan. Aku mengerjakannya dengan susah payah. Bukankah kamu sendiri yang bilang bahwa kita harus bersikap sabar.”
“Tapi bang …….”
“Kamu juga penyelamat hidupku yang mulai putus asa atas segala cerpenku yang hanya bisa ditumpuk di bawah meja kerja saja. Aku masih ingat ketika kau mewanti-wantiku untuk bersikap sabar dengan merujuk kepada kitab suci kita, Al-Qur’an. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar. Dan kamu juga pernah bilang bahwa berda’wah bukan hanya dengan Bil-Lisan. Bil-qalam kita juga bisa. Itu kan yang kamu katakan ketika semangatku mulai meredup karena tak ada satu pun cerpenku yang dimuat,” Kata-kata itumuntah begitu saja seperti pelor yang baru keluar dari ujung laras, membuatnya terguncang melihat tatapan suaminya yang tajam.
“Meski tidak diakui publik?”
“Jangan bilang begitu.”
“Bang, jika memang berniat seperti itu. Berikan saja semuanya kepada masyarakat tanpa melalui media massa. Aku yakin Allah akan memberikan balasan yang setimpal kepada hambanya. Ingat! Allah maha adil.”
“Besok, besok aku akan datang sendiri ke redaksi dan berbicara langsung dengan pimpinan redaksinya,” ia memegang kadua bahu istrinya
Istrinya diam. Seakan mencerna apa yang telah dikatakan suaminya. Meski dia tidak tega berucap seperti itu. Dan dia juga tidak tega melihat suaminya hampir setiap malam selalu dihabiskan untuk mengetik. Ada cahaya bening di matanya ketika rasa iba menyelimuti perasaan.
Dan pagi itu. Ia telah siap bersama setumpuk cerpennya untuk di promosikan langsung ke redaksi. Ia telah capek mendengar umpatan halus dari istrinya dan gangguan para tetangga yang tidak senang dengan kebiasaannya. Ia ingin menemukan titik kepastian mengenai cerpennya dengan mendatangi langsung ke tempat redaksi. Ia mendatangi salah satu redaksi ternama di kota itu dan menemui salah satu staf redaksi.
“Bisa saya bantu pak?” Tanyanya ramah.
”Aku ingin bertemu dengan pimpinan kalian.“
“Ada janji sebelumnya?”
“Tidak.”
“Maaf pak, hari ini beliau sangat sibuk. Bapak bisa datang lain waktu saja.”
“Maaf, ini mendesak sekali. Aku harus menemuinya sekarang.”
“Tapi beliau hari ini tidak bisa di ganggu.”
“Maaf!”
Staf redaksi itu tidak mampu mencegahnya. Dengan leluasa ia mencari pimpinan redaksi di ruangan itu.
“Maaf pak, orang ini terlalu memaksa.” Lapornya.
“Pak, saya ingin menerbitkan cerpen saya. Silahkan anda boleh memilih yang mana yang anda sukai,” Katanya penuh semangat sambil mengeluarkan lembaran itu dari tas kulitnya.
Mereka berdua diam. Sorot matanya tertuju pada bapak pimpinan redaksi yang sedang membolak balikkan cerpen. Ia harap-harap cemas. Kepala redaksi yang setengah botak itu menggangguk-angguk, menggeleng-geleng, mengeryitkan dahi, dan ekspresi lain. Ia bertambah penasaran.
“Gimana pak?”
“Maaf, kami tidak bisa menerima cerpen bapak.”
“Kenapa dengan cerpen saya, bagus kok!. Nih lihat yang ini,” ia menunjukkan sebuah cerpen yang berjudul Kebenaran sejati.
“Maksud kami, cerpen bapak terlalu menggurui dan terlalu menyudutkan pihak lain.”
“Tapi aku menulisnya dengan apa yang saya ketahui dan saya saksikan.”
“Maaf, cerpen seperti ini bukan termasuk kriteria redaksi kami,” pimpinan redaksi menyerahkan kembali cerpennya.
“Kalau begitu coba yang lain,” ia mengacak-acak mencari cerpen yang pas untuk di perlihatkan.
“Maaf, kami sibuk, kami tidak bisa lama-lama melayani anda. Banyak pekerjaan lain yang harus di selesaikan.”
Ia tertunduk lesu keluar dari ruangan itu. Ia tidak putus asa. Semangat terus berkobar asalkan masih tetap ada kesempatan. Ia kemudian mencoba mengunjungi redaksi lain di kota itu. Namun, kalimat terakhir yang ia dengar selalu sama, “Maaf pak, cerpen bapak bukan termasuk kriteria redaksi kami.”
Keringat telah memandikan tubuhnya. Ia menyeka keringat yang ada di dahi. Rasa penat menusuk tulang-belulang. Kerongkongan mulai terasa gatal dan berkarat. Ia duduk di pinggir trotoar mulai putus asa dengan segala perjuangan yang tidak membuahkan hasil. Ia bingung dengan cerpen-cerpennya harus dibagaimanakan. Haruskah di bawa pulang kembali? Rasanya tidak mungkin. Ia malu kepada istri serta para tetangga. Dalam kebingungan ia teringat kepada perkataan istrinya. Perkataan yang sangat melekat pada ingatannya.
“Bang, jika memang abang berniat seperti itu. Berikan saja semuanya kepada masyarakat tanpa melalui media massa.”
“Apakah aku harus melakukannya?”
. “Aku yakin Allah akan memberikan balasan yang setimpal kepada hambanya. Ingat Allah maha adil.”
Walaupun keputusa itu agak memberatkan. Ia tetap memilih. Ia akan bermaksud untuk membagian dengan Cuma-Cuma—bisa saja dengan begitu cerpennya banyak yang membaca dan yang jelas pasti akan banyak yang menilai. Lalu bagaimana caranya? Sorot matanya menerawang pada anak jalanan yang sedang menjual koran. Muncullah ide di benaknya. Ia mulai beraksi.
”Cerpen…cerpen. Cerpen gratis … Cerpen gratis,” ia beraksi dipinggir jalan. Berlagak seperti penjual koran. Semua mata di sekitar tertuju padanya. Tak terkecual dengan anak jalanan itu. Mereka heran dengan kata-kata gratis.
“Cerpen pak…gratis lo! Sebagai pengganti koran,” seperti orang yang mempromosikan barang—bisa juga cerpennya disebut promosi. Dari satu kendaraan ke kendaraan lain tanpa lelah dan terus menebar senyum.
Namun, nasib baik tidak menyertai. Tiba-tiba, sebuah mobil Jip berwarna merah menyerempet hingga terpelanting jauh beberapa meter. Cerpen yang masih berada di genggaman berhamburan bagai daun yang berguguran di musim gugur. Lembaran-lembaran terbang tersapu angin dan menjadi saksi pertama atas kejadian yang mengenaskan itu. Sorot mata yang sedari tadi tertuju padanya. Beberapa saat kemudian mengerumuninya.
“Bang…. Abang tidak apa-apa. Bertahanlah bang,” Kata seorang pemuda di sampingnya.
“Cepat panggil ambulan,” kata salah seorang di kerumuan itu. Sementara darah turus mengalir dari pelipis dan kedua hidungnya. Hingar-bingar orang semakin banyak mengerumuni. Ditangannya, masih ada tiga lembar cerpen yang tetap dipegang erat.
“to…long ce…pat se…barkan, “ suaranya terbata-bata. Ia berusaha menyerahkan lembaran cerpen di tangannya.
“Bertahanlah bang,” kata pemuda di sampingnya.
Setelah menyerahkan cerpen, tiba-tiba genggaman itu semakin melemah dan tangannya ambruk. Saat itulah terakhir kalinya ia menghirup udara di dunia. Sementara cahaya matahari mulai menua. Cahaya yang hampir menguning menghiasi sudut cakrawala.
Setelah beberapa hari dari peristiwa itu, sejumlah koran maupun majalah memuat salah satu dari karya cerpennya. Sang istri yang mengetahui akan hal itu hatinya remuk. Ia yang belum mampu menghilangkan rasa duka itu. Kini tertoreh kepedihan baru. Matanya nanar berlinang air mata melihat mesin tik tua yang tetap di meja kerja suaminya. Tubuhnya berguncang hebat. Lalu perlahan semakin lemah dan ……
Luk-ghuluk 2008

0 comments: