(80 Naskah Terbaik FAM Indonesia)
Hujan ruah. Menara kebanggaan negara Indonesia basah. Jakarta menggigil. Air hujan meruak menutupi gorong-gorong, meluber ke jalan.
Matahari tak memiliki waktu
luang sejenak bercengkrama
dengan alam. Tak sempat mengucapkan "selamat pagi", atau sekedar mengecup kening bumi.
Mungkinkah sibuk? hingga ia melupakan tugasnya menerangi alam. Atau awan telah
membekukan cahayanya? Semua bungkam. Diam. Kota yang mati.
Jerit gedung-gedung pencakar langit meyesakkan dada.
Pilu. Tamparan hujan mungkin tak selembut tampatan tangan bayi. Suara rintik yang jatuh di atas atap perumahan, pertokoan dan
perkantoran mengundang gelisah. Seperti akan menyembuyikan kehidupan ibukota
untuk digantikan dengan satu kata, sejarah. Sejarah kota mati. Genangan
air tal lagi bisa dikatakan memalung
dari lembah-lembah jalan beraspal yang rusak karena sebagian ruas jalan sudah tergenang air.
Air terus muntah dari gorong-gorong.
Sampah-sampah semakin menutup tenggorokan kota. Sesak, terbawa arus deras.
Kebiasaan yang tak semestinya dilakukan, hingga
harus menjadi korban
kebiadaban tangan sendiri. Slogan “jangan membuang sampah sembarangan” hanyalah sebuah hiasan kecil di
sepanjang jalan selain baliho-baliho partai yang berdiri menjulang.
Aku duduk mnyendiri di depan toko bercat kuning. Toko Barokah,
namanya. Sebuah toko yang menjual
aneka bahan bangunan. Toko itu tutup. Sepi. Sangat Sepi. Aku seperti berada di penjara
pengasingan. Sebagian besar pusat
jual-beli di kota itu semuanya tutup. Barangkali pemiliknya merasa jenuh, enggan membuka toko mengingat
derasnya hujan. Mustahil ada
pengunjung datang, begitulah sementara
anggapan mereka. Paling tidak, pasti hanya bocah-bocah jalanan, bocah-bocah comberan yang selalu
ramai dan senang bermain bermandikan air kotor itu. Itulah lingkungan mereka; saling mengejar, bermain petak umpet di
emperan pertokoan. Hanya bocah itu yang tawanya pecah, melawan deras hujan dan
gelegar petir. Sungguh hujan yang membosankan..
Sandal jepit kumal kujadikan sebagai tempat yang nyaman
memandang bilir-bulir hujan yang jatuh dengan drajat kemiringan tertentu. Sebuah sandal jepit,
satu-satunya alat yang kumiliki untuk melindungi kaki bajaku dari
perjalanan yang terjal ketika menjelajah sudut-sudut kota. Mencari sisa rejeki
Tuhan di antara tempat bertuliskan ‘TEMPAT SAMPAH’.
”Jika bermalasan, tidak
cakatan, maka bersiaplah mati diujung tangan sendiri. Siapa yang cepat, dia
yang dapat.” Kalimat yang pernah dilontarkan ibu menggaung tanpa henti. Kalimat yang yang dihambur-hamburkan oleh segolongan kami. Segolongan
cacing tanah yang meliuk-liuk seperti penari ronggeng.
"Sudah untung lelaki
sepertimu tidak jadi preman, pencopet atau pekerjaan lain yang menjijikkan
menurut ajaran agama kita." Kata paman ketika meleraiku datang ke tempat ini.
Hari ini, hujan menjadi saksi. Benar, apabila
Jakarta disebut dengan kota surga oleh bapak saat mendukung kepergianku karena
di sana segala kebutuhan akan terpenuhi. Namun, ada yang melenceng dari yang
dikatakannya. Kota surga bukan untuk semuanya. Kota surga hanya untuk orang
‘beruang’—aku tak tahu arti kata beruang, aku tahu hanya nama binatang—yang
bisa memiliki segalanya. bahkan membeli harga diri.
Tidak salah jika kota jakarta sebenarnya kota neraka,
seperti dikatakan ibuku yang dulu berusaha
meleraiku untuk pergi. Jakarta akan menjadi kuburan yang menyakitkan bagi yang kalah
dalam persaingan, seperti orang-orang yang tak jelas, hanya niat mengadu nasib,
tanpa ijazah menjanjikan.
Berbaju dekil dan celana
sebatas di atas mata kaki, bagian
tumit itu bolong, serta topi jerami Cowboy, sebagian sudah rusak, itulah ciri khasku setiap hari. Jelas, saat hujan seperti ini semua
yang kumiliki tak mampu
menghadirkan kehangatan dan melindungi tubuh hitam kurus ini dari rasa
dingin. Aku mendekap, menahan dingin yang menusuk tulang-belulang. Sekilas aku
pandang keranjang besar yang selalu kupanggul menelusuri pasar Senen. Keranjang
yang terbuat dari anyaman bambu, tempat barang bekas yang bisa didaur ulang.
Disamping keranjang bersandar
sebatang kawat besi panjang. Ujungnya runcing, seperti Celurit, pusaka orang
Madura.
Aku mendesah, melihat
keranjang itu hanya berisi lima gelas botol Aqua, dua kaleng Susu dan satu botol Coca-Cola. Tidak
mungkin meneruskan pekerjaan ini. Dingin telah menggerogoti tenagaku. Keranjangku basah. Hujan semakin marah,
seperti ingin melemparkan langit.
Sekilas, petir melesat cepat, menggambarkan wajah
tirus ibu.
“Kamu yakin?” Wajah
perempuan lanjut usia terbayang jelas. Aku berkaca dari cermin wajahnya yang
mulai melepuh. Seorang ibu yang tidak rela
melepas buah hatinya pergi merantau.
“Bu, yakinlah. Doa ibu
akan menuntunku di sana,“ ucapku lirih. Aku
harus mendapatkan restu ibu agar keberangkatanku tidahk akan menjadi dan
tanpa beban. Bikankah surga itu
berada di telapak kaki ibu?
“Kata, Kang Rahman, di sana itu tempatnya preman,”
Ibu tetap berat melepasku.
“Dengan lembaran ijasah SMA-ku, aku ingin berjuang di sana. Kota yang
disebut kejam itu akan aku taklukkan.”
“Jangan paksakan dirimu!”
“Aku tidak ingin ibu
menjadi kepala sekaligus ibu
rumah tangga sejak bapak terus
sakit-sakitan. Aku tak tega melihat Ibu naik dan turun gunung hanya demi mengepulkan
dapur.”
“Tak usah pikirkan itu,”
air mata ibu hampir tumpah.
“Benar, hanya Aku tak
ingin adik-adikku diolok-olok oleh mereka.”
“Nak! Allah Maha tahu terhadap hambanya. Dia Maha adil. Kita
berkumpul seperti ini sudah kenikmatan yang sangat luar biasa, hanya kita tak menyadarinya. Jangan terlalu rakus terhadap
dunia. Dunia ini luas, tidak seperti kandang ayam di belakang rumah kita.”
“Tapi, apakah kita harus berdiam diri meratapi nasib, mematung
dengan keadaan seperti ini? Ibu
aku ingin jadi anak yang baik. Aku ingin membuat Ibu bahagia.”
“Ibu sudah bahagia dengan
keadaan seperti ini. Cukup. Hanya ini.”
“Tidak denganku, bu. Aku belum cukup mampu
menerima ini semua. Menerima ejekan Ki Bandol yang menyebut kita tidak mampu
melunasi hutang.”
"Kenyataannya!"
Kuraih erat kedua tangannya. Tangan itu
masih lembut dari tangan Srikandi. Aku berusaha meyakinkan ibu agar tak ada
setitik pun kecemasan yang
tertinggal di hatinya.
”Juga demi impian ibu.
Bukankah Ibu ingin pergi ke
tanah suci?”
“Lupakan! Lupakan bila
harus kehilanganmu.”
“Bu, yakinlah! Aku akan kembali ke pangkuan Ibu.”
”Berat sekali melepasmu!
Nak.”
Air mataku tak dapat
dibendung lagi. Bendugan itu ambruk oleh perasaan sedih seorang Ibu. Ingin aku
meneriakkan kepada semesta tentang kesakitan hati ini. Namun, bisaku hanya memeluk ibu seerat mungkin dan mengusap mutiara kasih ibu
yang mengalir.
Pelukan terakhir Ibu
berkelebat di kepala. Pelukan yang aku rasakan selama dua tahun terakhir.
Langit masih kelabu. Sedikit kurasa, ada yang menetes dari mataku saat rumput ilalang melambaikan
kerinduan. Butiran padi kuning menghampar, anak gembala sapi yang ceria,
bersama pagi dan seruling kecilnya. Aku tak ingin jauh dari pangkuan Ibu. Tapi, karena tuntutan ekonomi dan
impian ibu, terpaksa aku melakukannya kendati ibu tak pernah menuntut. Aku
hanya ingin memberi yang terbaik untuk ibu.
Kilatan petir terus
memotret kota. Garang.
Menakutkan. Aku beringsut sedikit. Air mulai merembesi
tempat yang tengah kududuki.
Samar-samar telingku mendengar derek
pintu dari belakang. Pemilik Toko keluar, membawa tempat sampah. Tanpa
beban ia melemparkan sampah pada
genangan air. Ada seberkas
harapan tumbuh. Berharap ada pertolongan darinya, untukku. setidaknya memberiku sedikit pengganjal perut. Sejak
pagi itu, aku cuma makan satu
buah pisang dan segelas air putih. Sekarang, perutku mulai berdemonstrasi
kembali, meminta subsidi kembali.
Senyum kurekahkan untuk menarik
simpati si empu toko. Ia tersenyum sinis, kecut, dan kembali menutup pintu. Menghiraukan
aku dan sampah yang bertebaran di hadapanku.
“Ingat! Di sana hidup sendiri-sendiri. Kamu harus
bisa seperti ikan di laut. Kendati
hidup di air asin, ikan tidak ikut asin. Satu lagi paling utama, peliharalah shalatmu, jagalah
imanmu,” Aku ingat petuah ustadz Abdul Karim saat aku minta restu darinya.
Sosok guru Alif yang begitu aku hormati. Aku dilahirkan dari golongan sampah namun
bukan berarti orang yang
berhati sampah.
***
Panggilan suci mengakhiri
bergulirnya mega merah yang membias langit sebelum dihempas gelap. Aku telah bersuci memenuhi
panggilan itu, menunaikan
solat maghrib dan isyak berjama’ah
di Masjid Ar-Rahman. Selanjutnya
aku memilih berdiam diri di rumahku
yang hanya berukuran 2 X 4 meter. Di luar, angin berhembus pelan.
Ada gerimis yang membuat dingin semakin berpetualang. Aku menghidupkan radio,
satu-satunya penghibur di istana kecilku.
Di pos ronda, tetanggaku asik menikmati segelas kopi. Mereka
sedang membicarakan sesuatu. Entahlah,
apa yang dibicarakan. Biasanya aku juga ikut nimbrung di sana. Tetapi kali ini aku merasa sangat lelah.
Baisanya, mereka hanya sering membicarakan topik-topik yang tak jauh berbeda
dari yang biasa diobroli
setiap malam. Apalagi kalau bukan soal bermain kucing-kucingan dengan Satpol PP
atau berbagi cerita mengenai rejeki yang diperoleh. Tapi, hari itu kelihatannya
mereka sangat serius!
***
Pagi cerah sekali. Langit seakan menjanjikan rejeki
sebanyak-banyaknya. Langit seakan
berjanji tidak akan menurunkan
hujan. Ranjang dan kawat
bengkok itu telah kupersiapkan. Teman-teman yang lain telah melambaikan
tangannya. Matahari mulai mengecup kening bumi. Dengan lembut ia
menaburkan cahaya pada hingar-bingar aktifitas ribuan manusia.
Matahari sudah membentuk
sudut 60 Derajat. Keranjangku sudah hampir penuh. Aku berencana mengakhiri
pekerjaanku sejenak. Sudah
lelah kakiku berpijak. Di tengah
perjalanan pulang, segerombolan orang
yang kukenal lari pontang-panting, seperti prajurit-prajurit dalam
perang badar.
“Bang…ada apa? Apa yang
terjadi?” Tanyaku pada Bang Pardi.
Tangannya kupengang erat tetapi
dirinya berusaha melepaskan diri.
“Hancur…Hancur.” Nafasnya
tersegal-segal, ingin segera pergi. Bang Pardi seperti orang kesurupan.
“Tenang… tenang. Sekarang
ceritakan apa yang terjadi,” aku bersikap lebih tenang.
“Ada penggusuran, tempat
kita akan digusur!” Kang
Pardi berlalu seketika.
Petir seperti turun secara tiba-tiba, lebih keras
dari biasanya. Benarkah demikian? Aku tak percaya, pasti ini salah duga.
Kaki kecilku segera berlari ke arah suara yang menimbulkan keributan. Dua
buah Hotmix besar dengan tenang melahap kompleks perumahan tanpa mempedulikan teriakan dan perlawanan korban
penggusuran itu. Istana kecilku tak tampak lagi. Mungkinkah sudah menyatu dengan
tanah?
Tatapanku kosong. Yang terlihat hanyalah harapan wajah
tirus ibu.
Jember, Pembuari 2013