Cerpen: Fan D Ahmad
Sepotong senja jatuh menggantung di pucuk pohon Siwalan. Angin tenggara menerpa rerantingan pohon Randu. Kapuk beterbangan melukis langit, pengganti awan yang tak secuil pun kelihatan mengawang. Di atas ranting, bertengger seekor burung Dadali penuh pilu. Mendekap gelisah. Matanya menghujam ke aliran sungai dan selokan tak berair. Semuanya kering kerontang. Sesekali melirik ke padang ilalang yang menjadi tempat pencahariannya, memangsa serangga.
Punggung hitam para kuli sawah menghantam matahari. Keringat bercucuran, mengairi sawah kering itu. Segala jenis rumput, mati. Sawah-sawah berpetak-petah, seperti sisik ular yang akan mengelupas. Tandus. Petani hanya menahan nafas panjang ketika bertandang ke sawah. Putus harap.
Burung Gagak kaok-kaek melayang dan berputar di atas tegal dan sawah tanpa mengepakkan sayap. Mengapung berjam-jam. Burung gagak itu kebingungan mencari air walau hanya sepetak kaki. Mereka memanggil hujan. Kaok
Lenguhan sapi terdegar serak. Meraung-raung tanpa henti. Tubuhnya belepotan celatong. Beberapa kali kakinya dihentakkan sambil menyerunduk tabing, mencoba untuk keluar kandang. Ekornya dikibas. Menuntut pemiliknya mencari rumput segar. Sudah lama sapi-sapi itu tak menikmati segarnya rumput hijau. Mereka tak lagi bisa ditipu oleh plastik hijau yang dipasang di matanya, agar rumput-rumput kering berubah hijau dan terlihat segar. Liur selalu meleleh. Ember tempat air minum sapi itu kosong.
Burung gagak kembali berkaok, menyaksikan penduduk yang sedang berkumpul. Sayapnya seakan menjadi naungan atas orang-orang yang merindukan hujan itu. Di tengah terik senja, sorak-sorai bergemuruh. Beberapa diantaranya mengepalkan tangan tinggi-tinggi. Lengkin suara mereka memecah langit.
Burung Gagak itu menjadi saksi atas dua orang yang saling cambuk di tengah kerumunan orang.
“Pukul, lebih keras lagi!” teriak mereka.
“Ya, lebih keras lagi, agar hujan segera turun,” teriak yang satunya.
Cplas. Pyar…! Rotan terus diayunkan menyanyat kulit dua orang bertelanjang dada yang saling pukul. Punggung kedua orang itu memar. Merah padam. Bercak luka menjadi garis tepi antara tulang punggunnya. Sakit tak terelakkan. Namun, sakit itu dikalahkan oleh lengkingan orang-orang di sekitarnya yang menginginkan ritual ojung lebih seru lagi.
“Lebih keras lagi” teriakan mereka semakin lantang.
“Ya! benar. Jangan lembek,” teriak yang satunya.
Debu terus mengepul seiring hentakan kaki mencari posisi yang tepat guna menghindar dari rotan dan melecutkannya ke tubuh lawan. Tepat sasaran. Dengus rintihan dua orang bertelanjang dada yang saling pukul itu semakin panjang. Menahan sakitnya rotan mengorok kulit mereka. Kontras dengan gemuruh penonton yang semakin antusias menyaksikan ritual ojung.
Pertunjukan mulai membosankan. Tenaga telah terkuras habis. Lecutan rotan tak ubahnya sepasang tangan bayi memegang puting susu ibu. Tak lama kemudian salah satu diantara keduanya roboh, terkapar tak berdaya. Mulutnya runyam minta seteguk air. Haus. Sedangkan lawannya mengacungkan rotan tinggi-tinggi, berdiri diatas keangkuhannya, pertanda kemenangan telah diraih. Namun, penonton tak puas menyaksikan ojung yang hanya sesaat itu. Mereka tak tangguh.
“Hentikan!”
Tiba-tiba seluruh penonton yang melingkar dikagetkan suara Matgeni. Sorot pandang beralih pada lelaki berkumis tebal yang memakan celana hitam komprang dan kopyah kumal yang tingginya sejengkal tangan itu.
“Kalian semua payah!” ucap Matgeni murka.
Mereka hanya diam menyaksikan bola mata Matgeni menelanjangi perasaan mereka. Mereka ketakutan. Tak berani berucap sepatah katapun. Takut lidah terpeleset dan hanya akan mendatangkan bencana bagi diri sendiri.
“Hanya ini kemampuan kalian? Mana akan ada hujan turun di Desa ini!” ucapnya berang.
Matgeni mengambil rotan dari tangan orang yang terkapar, melecutkan pada lelaki yang masih berdiri di atas keangkuhannya. Cplas. Sekali lecutan, orang itu tumbang, terkapar di tanah meringkuk kesakitan. Belum puas Matgeni meluapkan amarahnya dengan rotan, ia menendang kedua orang yang sudah terkapar tak berdaya itu. Yang menyaksikan tetap diam. Gigi-gigi bergemeretak ngeri. Tak ada yang berani beranjak dari tempat itu sebelum Matgeni memerintah bubar.
“Ingat!” Matgeni kembali bersuara lantang. Rotan ditangannya diacungkan pada muka-muka pucat. “Hujan tak akan turun jika kemampuan kalian hanya seperti ini. Persembahan kalian percuma. Harus lebih serius, jangan lembek seperti tajin,” rotan itu dibanting.
Sudah berapa kalinya ritual ojung dilaksanakan, tapi tetap tak menuai hasil. Hujan yang selalu menjadi mimpi malam mereka tak kunjung datang. Petani yang seharusnya mengerok kulit dengan uang logam, sehabis mencangkul di tegal, untuk menghilangkan otot-otot yang kaku, harus digorok dengan lecutan rotan yang sampai saat ini tak ada hasilnya. Bahkan ritual itu sudah memakan satu korban.
Adalah Pak Lessep yang kala itu menjadi lawan tanding Sarkoya. Pak lessep mati ditempat kejadian setelah rotan yang dilecutkan oleh Sarkoya tepat mengorok lehernya.
“Cepat, kalian bubar. Bubar!”
Matgeni semakin murka. Ia mengeluarkan sebilah celurit yang terselip di balik punggungnya dan mengangkat tinggi-tinggi. Orang-orang segera berhamburan. Takut Matgeni membabi buta dan terkena sabetan celuritnya.
Di desa itu, Matgenilah yang paling disegani sekaligus ditakuti. Dari kalangan warga biasa, kiyai, sampai sesama blaternya. Ia seorang blater bengis dan kejam, tak pandang bulu. Siapa saja yang menyakiti atau membangkang perintahnya, maka akan berurusan dengan celuritnya yang setiap malam jum’at dilumuri darah ayam dan bau kemenyan. Tak jarang pula Matgeni sering berbuat onar ketika ada mirammi, dan mempelopori perjudian. Hanya satu yang tak pernah dilakukannya, memerkosa perempuan.
Umurnya sudah enam puluhan. Siapa yang mau berurusan dengannya? Pemuda mana yang berani dengan lelaki tua itu? Walau usianya senja, bukan berarti otot dan tulangnya semakin lapuk. Tidak. Justru diusianya yang sudah terbilang udzur itu, Matgeni merasakan puncak keemasan menjadi seorang blater.
Semakin tua, banyak yang semakin mengakui ke blaterannya. Sehingga tak ada orang yang berani mencuri di desa tempat tinggalnya. Itulah nilai baiknya di mata masyarakat.
Malam itu, cahaya purnama rebah di halaman. Bayangan pohon Randu memanjang seperti bayangan raksasa yang siap menerkam. Daun-daun yang tersisa berguguran diterpa angin malam berpetualang. Sudah kebiasaan jika purnama telah jatuh, tiap keluarga akan keluar rumah, mengusung lencak ke halaman, seceret kopi atau teh hangat disiapkan. Malam itu, mereka siap bermandikan cahaya purnama.
Canda dan tawa pecah mengiringi gerak purnama yang semakin menggantung. Romantisme keluarga tercipta.
Halaman yang kering serta temaram lampu teplok remang-remang sangat menyenangkan untuk arena bermain. Bocah-bocah kecil membuat komunitas baru bersama teman sebayanya, bermain sepuasnya tanpa harus mengganggu romantisme orang tua. Masa kanak-kanak adalah surga yang hanya datang sekali. Ada yang bermain slodoran, petak umpet, ular naga dan cangklok.
“Kita bermain cangklok yuk! Capek main slodoran terus,” ajak Sumarti, cucu Matgeni satu-satunya, pada Minten.
“Boleh” jawab gadis berambut ikal itu.
“Tapi kita harus buat lagi. Yang kita buat tadi sudah dipakai mereka,” Sumarti memberi isyarat mata.
“Ayo, kita buat!”
“Di mana?”
“Di sana, lebih terang.”
Sumarti mengambil ranting kering dan membuat gambar persegi panjang di atas sepetak tanah, Panjangnya tiga jengkal tangan dan lebar hanya sejengkal saja. Lalu, Minten meneruskan membuat lingkaran sebesar siku tangan di tengah bentangan garis itu. Semua ada enam belas lingkaran; satu lingkaran di garis lebarnya, tujuh lingkaran digaris panjangnya. Dua gadis lucu itu, semangat mengorok enam belas lingkaran itu dengan bhetok. Dan senyum mengembang saat ke enam belas lingkaran itu siap pakai.
“Sekarang kita tinggal cari kerikilnya,” teriak Minten girang.
“Pakai tae embik saja. Biar mudah,” usul Sumarti.
Kedua gadis cilik itu melangkah ke kandang. Ada tiga ekor kambing di dalamnya. Bentuknya memprihatinkan, kurus. Di bawah teplok damar yang diletakkan di depan pintu masuk kandang, Minten dan Sumarti sibuk memilih-milah tahi kambing sesuai keinginan, bulat seperti kacang atom. Tawa kecil pwcah tatkala kambing itu mengembik. Embek!.
Angin berdesir melintas di atas pekuburan sebelum sampai di rumah Matgeni. Dengan bantuan cahaya teplok damar disamping kandangnya, Matgeni bersunggut-sunggut meracik jamu untuk sepasang sapi karapannya. Sepuluh telur ayam kampung, jahe, temu ireng, dan madu diolah ke dalam ember kecil. Lenguhan sepasang sapi panjang berulang-ulang. Sesekali terdengar keras hentakan kaki sapi, ekornya tak pernah berhenti dikibaskan. Matgeni belum sempat membuat api unggun untuk mengusir nyamuk dari dalam kandang.
Saat membuka pintu, aroma celatong merebak. Cahaya purnama rebah di punggung sepasang sapi yang diberi nama Brino dan Bruno, yang memar penuh goresan paku. Terdengar gemerincing uang logam yang dikalungkan pada lehernya. Lendir terus mengalir dari mulut sapi itu.
Setelah sepasang sapinya tenang, Matgeni kembali mendekat. Dielusnya punggung-punggung sapi penuh goresan paku itu dengan lembut. Kemudian, dengan cekatan ia memegang tongar dan membuka paksa mulut sapi itu dan memasukkan seruas bambu yang di dalamnya sudah ada racukan jamu tadi. Brino memberontak, namun cengkraman tangan Matgeni lebih kuat. Ramuan itu habis diminum.
Lampu teplok berayun ditiup angin. Malam semakin dingin saat purnama menggapai kesempurnaan. Matgeni menyalakan api unggun dari tumpukan sabut kelapa. Asapnya mengepul menembus bubungan atap kandang. Lesatan anak-anak api dari sela-sela sabut kelapa itu berhamburan. Bruno dan brino nampak tenang. Nyamuk tak lagi mengganggu tubuhnya. Sementera itu, seekor katak Seldung melompat menjauhi nyala api.
Tiba-tiba terdengar suara bocah kecil menangis. Suara itu semakin dekat dan rebah dipangkuan Matgeni.
“Ada apa, nak?” Tanya Matgeni berang.
“Minten, ke. Minten main curang,” ucap cucunya sesenggukan.
“Kurang ajar. Di mana dia sekarang?”
Sumarti mengarahkan telunjuknya yang mungil tepat dimana ia bermain dengan Minten. Langkah Matgeni angkuh, tangan Sumatri seakan-akan diseret ke tempat itu. Di bawah pohon Randu, sepasang bias mata bocah kecil ketakutan.
“Anak nakal, tak diajari tata krama, ya?” Matgeni memintal kuping Minten dan mendorongnya.
“Ampun, ke,“ gadis berambut ikal kumal itu sesenggukan.
Matgeni belum puas memintal kuping Minten. Rambutnya ditarik. Tiba-tiba seorang berdiri angkuh di depan Matgeni mengacungkan celurit.
“Matgeni, mau kau apakan anakku! Kurang ajar!” kata kang Lessep, ayah Minten.
“Oh, Anaknya bajingan, tak tahu tata krama,” Matgeni memandang sinis.
“Aku tak pernah ngopeng Minten. Kau jangan seenaknya saja.”
Cah. Tanpa banyak bicara, kang Lessep melesat. Matanya merah. Matgeni menghentakkan kaki tiga kali ke tanah lalu mengeluarkan sebilan celurit dari balik punggungnya.
Di senjakala yang indah, celurit-celurit berayun tak tentu arah. Memamerkan kilatan singkat yang sempat tergores. Teriakan lantang keangkuhan menggema. Debu-debu mengepul di udara bengis. Hingga yang nampak hanya sekelebatan bayangan nafsu manusia yang hampir tuntas. Dan menyemburlah darah.
Sumenep, 29 Juli 2010
Keterangan:
Celatong : Kotoran sapi
Tabing : Dinding terbuat dari anyaman bambu
Ojung : Tradisi memanggil hujan
Tajin : Nasi bubur
Mirammi : Pesta
Lencak : Balai-balai bambu
Tae embik : Kotoran kambing
Ke : Singkatan “kakek”
Ngopeng : Menjewer