Pagi terasa bising. Tak seperti biasanya aku bangun pagi seburuk ini. jendela kamar memang sengaja tak ditutup agar pendar cahaya matahari pagi lebih leluasa masuk tanpa harus permisi lebih dulu kepada mimpi. Tak ada bunyi ceracau burung pagi yang setiap hari selalu menyambut hari-hariku dengan ceria. Entah, apa yang terjadi kali ini. Seakan burung-burung itu kini lari menjauhiku. Menjauhi kehidupanku. Ceracaunya itu tiada, akupun juga gelisah.
Aku harus memulai hari ini tanpa sambutan burung-burung itu. Sunyi memang. Tapi aku tak harus mengatupkan mataku kembali di pagi yang cerah ini. masih ada matahari dan hembusan angin pagi yang akan membelaiku layaknya sang kekasih pujaan. seperti Melati di ujung cinta Sang Erros.
Ada yang tidak biasa kali ini aku dengar. Sepertinya di luar ada hujan yang sangat lebat sekali. Tapi rintikan itu membutku hanya mendengus kesal. Suara itu tak lebih dari bisingan yang terus membelah batok kepalaku hingga aku benci mendengarnya.
Apakah hujan mampir saat musim kemarau? atau ada hal lain sehingga hujan tidak bisa menunda waktunya untuk menyiram bumi? Rasanya tidak mungkin. Aku hanya berputar-putar di dalam opiniku saja. Kedua telingaku seperti mau pecah. Suaranya bagiku lebih parah dari bunyi senso.
Setelah aku keluar dari kamar, ternyata suara itu bukan suara rintik hujan, melainkan suara rintik air mata yang menghujani seluruh isi rumah. Membanjiri seisi rumahku. Sulit aku tebak apa yang telah terjadi di pagi hari ini. Mereka seharusnya menyambut pagi dengan senyuman. Bukan seperti yang aku lihat ini. Tangis dan ratapan bukan bukan sambutan yang menyenangkan.
Aku semakin tak mengerti dengan apa yang terjadi disekitarku. Bibi, mami, tante, paman, semua memuncratkan air mata. Hanya aku yang tak memuntahkan air mata suci itu. Semua hitam dengan mata yang begitu sembab. Ada kepiluan di hati mereka, meski aku belum bisa menjamah dan menafsiri apa yang sebenarnya mereka tangisi.
Aku tak berkutik manakala semuanya menghampiri dan memelukku sangat erat sekali. Sebelumnya aku kira mereka sengaja menyambut kedatanganku yang baru datang dari negeri mimpi. Ternyata aku salah. Mereka memelukku seperti segerombolan semut yang menemukan gula. Menumpahkan air mata kepadaku. Aku kesal aku benci sekali dengan orang yang menangis. Bagiku, tindakan menangis itu hanya berlaku pada orang yang cengeng. Sungguh aku benci!.
Suara sirine mengaung-ngaung di depan rumah. Semua orang yang mengerumuniku satu persatu lepas dan berlarian menuju suara itu. Ada suara sirine?. Aku suka suara sirine. Bagiku itu adalah musik instrumen yang lebih bagus dari instrumennya Kitaro. Aku juga berjalan menuju datangnya suara itu.
Tak lama kemudian suara sirine tak lagi meraung. Aku kecewa. Padahal aku ingin mendengar lebih lama lagi. Akan aku liukkan kepala dan pinggulku untuk mengiringi alunan suara sirine itu dengan berbagai gaya yang aku miliki.
Dari luar, orang-orang sibuk menggotong sesuatu yang aku tidak tahu entah apa isi di dalammya. Panjang. Seperti panjangnya orang dewasa. Kedatangan benda itu selalu diiringi dengan riak tangis. Yang aku benci mendengarnya.
Aku baru ingat, biasanya setelah aku disambut suara kicauan burung. Berganti suara klakson ayah yang memanggilku bertalu-talu. Yang akan mengantarkanku pergi ke sekolah dan ayah pergi ke tempat kerjanya. Kenapa hari itu suara klakson ayah tidak menyambut kedatangannku? Aku mencari ayah di tengah kerumunan orang-orang yang berbaju serba hitam itu. Aku cari di setiap ruangan. Tidak ada. Yang aku temui hanya tangis dan tangis.
Aku berhambur keluar rumah. Tentu saja tetap mencari ayah. Di samping rumah. Di belakang rumah juga tak aku temukan. Aku mencoba bertanya pada kakek tua yang menatapku heran.
“Apa kakek melihat ayah.”
“Bocah, kau mencari ayahmu?”
“Ya!”
“Barusan ia pamit ke dunia lain”
Kakek itu diam. Ia menoleh ke samping, tepatnya pada sepeda motor ayah. Lho… kenapa sepeda motor ayah penyok.
“Kakek. Ayah tak membawa sepeda motor?”
Kakek tak menggubris pertanyaanku. Ia hanya menatapku.
Ayah bertamasya? Mengapa tak mengajakku?
Aku semakin benci melihat orang menangis. Benci!
Annuqayah, 2009
Dimuat di Annuqayah Post tanggal 01 Mei 2010