Malam dan sunyi melebur jadi satu. Dingin begitu menggigil. Rembulan mempesona dengan kesempurnaan cahayanya. Jam raksasa yang menjulang di atas menara masjid berdetak sekali. Pukul satu malam.
Saat jiwa-jiwa menyerah pada kesunyian, Si Boy, dengan langkah gemetar menuju Masjid: menyandang sajadah, memegang tasbih, dan Al-Qur’an di pelukannya. Lalu, khusyuk bersholat. Berdo’a. Tangannya gemetar. Menengadahkan kepala. Bercucuran air mata. Malam itu, menjadi malam yang begitu kelam baginya.
Ya Allah…Ampunilah hamba dan kekasih hamba. Limpahkanlah kemarahan-Mu pada hamba. Tahanlah tangan-tangan kematian dari kekasihku. Jangan Kau renggut nyawanya. Karena dia, asap ganja tak lagi kuhisap. Karena dia tenggorokanku tak pernah lagi teraliri alkohol. Karena dia jarum suntik tak pernah lagi menyentuh kulitku. Dan, karena dia pula aku bisa sampai ke pesantren ini. mendalami lautan karunia-Mu…
Dia adalah malaikat penyelamat yang Kau utus. Tapi, kini setelah aku sembuh dan berusaha untuk kembali ke jalan-Mu, kau ingin mengambilnya. Mengapa kau ……
Boy tidak kuat meneruskan do'anya. kepedihan telah membuatnya begitu lemah di atas penderitaan. Ia bersujud dan terus menumpahkan kepedihan di atas hamparan sajadahnya.
# # #
Di hatinya, hanya ada sosok Senja, seorang muslimah penyelamat bagi si Boy. Yang telah menyadarkannya akan arti kehidupan. Memberi ruang pada sebuah pertaubatan.
Ia tahu, Sejak dulu Senja adalah wanita pujaannya. Tapi, ia selalu menafikan perasaan itu karena keangkuhan. Ya! keangkuhan dengan pergaulan bebasnya. Hingga pada suatu hari, entah dengan jalan apa, ia berani mengungkapkan perasaannya pada Senja. Perasaan yang tulus dari seorang lelaki bengal dan tempramental kepada sosok muslimah yang taat beribadah.
“Senja, maukah ello menerima gue?”
“Apa? Kau mau menjadi kekasihku? Boy, bukannya aku gak mau menerimamu. Tapi, tanyakan dulu pada hatimu, apakah siap menjadi imam dalam hidupku ?”
“Gue siap!”
“Dengan apa?”
“gue akan lindungin ello. Tak akan ada seorang pun yang akan menyakiti ello. Jika ada yang berani, gue akan habisib orang itu,” Boy berdiri di atas keangkuhannya.
“Kau salah Boy! Aku tak butuh perlindungan dari keangkuhanmu. Aku butuh tuntunan. Tuntunan kepada jalan yang benar. Yang selalu mengingatkanku pada Allah. Apa kau siap?”
Boy tak menjawab. Ia sadar. Ia memang buta agama. Hidupnya hanya dituruti dengan kesenangan sesaat. Ia malu pada dirinya sendiri. Lebih-lebih pada orang yang dicintainya.
“Dengan apa gue harus menjawabnya? Tolong beri gue kesempatan. Gue tahu, gue buta agama. Maka dari itu, gue memilih ello, ingin dekat dengan ello, dan belajar agama kepada ello.”
“Jika kau bersungguh-sungguh, aku akan memberimu kesempatan selama dua bulan untuk belajar agama. Datanglah ke Pesantren Annuqayah. Belajarlah di sana. Manfaatkanlah kesempatan yang sedikit itu. Jika kau benar-benar ingin memilikiku.” Ada genangan air mata saat senja berucap demikian.
Boy menerima tawaran senja. Ia juga sudah bosan dengan hidupnya yang terkatung-katung karena buayan setan. Ia ingin mengakhiri hidupnya yang kelam. Mengarungi dunia penuh kedamaian. Dengan cahaya Ilahi.
# # #
Sebulan Dua Puluh Hari …
Sore itu, adalah kepulangan pertama bagi si Boy dari Pesantren Annuqayah. Ia terpaksa pulang karena mendengar kabar bahwa Senja, sang bidadarinya sedang sakit keras. Ia tidak tahu, kalau selama ini Senja mempunyai penyakit kanker otak. Senja tak pernah bercerita tentang hal itu. Hanya ia berucap, kalau ia sangat bahagia bila saatnya nanti, sampai tiada.
Perjalanannnya penuh getir. Gelisah. Segala kanangan muncul seperti angin membawa kabar duka. Terlintas di matanya bagaimana dulu berlakuan kasar pada Senja. Saat ia menampar senja ketika membanting birnya ke lantai. Kini, kenangan itu telah menamparnya sendiri.
# # #
“Boy, Aku ingin tidur di pangkuanmu,” kata Senja pada Boy.
“Ya! Gue selalu di samping ello. Tenang aja, ntar ello juga akan sembuh.”
“Maafkan aku, telah membohongimu. Sebenarnya, dua bulan yang lalu dokter telah memvonis umurku. Maka dari itu, aku hanya memberimu kesempatan dua bulan untuk belajar Agama. Agar kau bisa menyolati jenazahku.” Mendengar pengakuan senja, Boy terhenyak. Terpukul. Hatinya begitu sakit. Sakit sekali.
“Ello jangan seperti itu. Gue akan berusaha menyembuhkan ello. Gue janji,” Boy memegang erat tangan Senja yang terbaring tak berdaya.
“Tidak Boy. Kau jangan membuat angan semu, yang hanya membuatmu resah, juga membuatku semakin tak tenang hadapi kenyataan. Tak seorang pun yang bisa menyembuhkan penyakit ini, kecuali kehendak-Nya. Kangker di kepalaku sudah mencapai stadium tinggi. Kata dokter, aku tinggal menunggu waktu tangan malaikat maut membelai rambutku,“ Ada cahaya bening di matanya.
“Jangan berucap demikian. Hidup dan mati seseorang hanya Allah yang menentukan. Nanti, jika ello udah sembuh, gue akan mengajakmu jalan-jalan kemana saja yang ello suka.“ Dalam catatan hidup si Boy, hanya pada Senja air matanya mengalir.
“Tidak, Boy. Biar Allah yang menentukan segalanya. Aku pasrah. Cuma satu harapanku, jika kita benar-benar ditakdirkan berpisah, aku ingin tetap melihatmu seperti sekarang. Aku sangat sedih bila kau kembali pada buaian SS, Ciaming, Ganja dan segala tetek bengek yang akan membuatku tidak tenang di alam sana...“
“Boy, pandanglah aku sepuas hatimu. Sebentar lagi kau tak akan pernah melihatku. Maafkan aku, jika selama ini selalu membatasi dan sok ngatur tingkah lakumu. Tapi percayalah, semua itu aku lakukan demi masa depanmu.“
“Gue ngerti. Malah gue bersyukur. Karena sikap dan kelembutan ello bisa mengubah jalan hidup gue. Gue gak tahu seandainya Allah tak pernah mengutus ello pada. Mungkin, ganja dan semacamnya akan selamanya menjadi garis hidup gue.“
“Boy, aku sudah lelah. Aku ingin istirahat. Aku berharap jangan sekali-kali kau sentuh barang-barang yang menjijikkan itu. Aku tak sudi melihatmu menyentuh barang-barang haram itu lagi. Demi aku… Demi aku… Sudah Boy, aku sudah sangat lelah. Ingin istirahat. Selamat tinggal…“ Senja mengatupkan kedua matanya, disertai senyum manis yang mengembang. Mengantar tidur panjangnya.
Malam itu, sungguh sunyi bagi si Boy. Di ruang yang serba putih itu, Boy menangis. Sendiri. Ya ! hanya bersama sunyi. Menyisir luka sendiri. Mengenang kepergian sang bidadari.
Lintas Pulau, 2009
sudah dipublikasikan di
MAJALAH KUNTUM, Yogyakarta
edisi 303 April 2010
Saat jiwa-jiwa menyerah pada kesunyian, Si Boy, dengan langkah gemetar menuju Masjid: menyandang sajadah, memegang tasbih, dan Al-Qur’an di pelukannya. Lalu, khusyuk bersholat. Berdo’a. Tangannya gemetar. Menengadahkan kepala. Bercucuran air mata. Malam itu, menjadi malam yang begitu kelam baginya.
Ya Allah…Ampunilah hamba dan kekasih hamba. Limpahkanlah kemarahan-Mu pada hamba. Tahanlah tangan-tangan kematian dari kekasihku. Jangan Kau renggut nyawanya. Karena dia, asap ganja tak lagi kuhisap. Karena dia tenggorokanku tak pernah lagi teraliri alkohol. Karena dia jarum suntik tak pernah lagi menyentuh kulitku. Dan, karena dia pula aku bisa sampai ke pesantren ini. mendalami lautan karunia-Mu…
Dia adalah malaikat penyelamat yang Kau utus. Tapi, kini setelah aku sembuh dan berusaha untuk kembali ke jalan-Mu, kau ingin mengambilnya. Mengapa kau ……
Boy tidak kuat meneruskan do'anya. kepedihan telah membuatnya begitu lemah di atas penderitaan. Ia bersujud dan terus menumpahkan kepedihan di atas hamparan sajadahnya.
# # #
Di hatinya, hanya ada sosok Senja, seorang muslimah penyelamat bagi si Boy. Yang telah menyadarkannya akan arti kehidupan. Memberi ruang pada sebuah pertaubatan.
Ia tahu, Sejak dulu Senja adalah wanita pujaannya. Tapi, ia selalu menafikan perasaan itu karena keangkuhan. Ya! keangkuhan dengan pergaulan bebasnya. Hingga pada suatu hari, entah dengan jalan apa, ia berani mengungkapkan perasaannya pada Senja. Perasaan yang tulus dari seorang lelaki bengal dan tempramental kepada sosok muslimah yang taat beribadah.
“Senja, maukah ello menerima gue?”
“Apa? Kau mau menjadi kekasihku? Boy, bukannya aku gak mau menerimamu. Tapi, tanyakan dulu pada hatimu, apakah siap menjadi imam dalam hidupku ?”
“Gue siap!”
“Dengan apa?”
“gue akan lindungin ello. Tak akan ada seorang pun yang akan menyakiti ello. Jika ada yang berani, gue akan habisib orang itu,” Boy berdiri di atas keangkuhannya.
“Kau salah Boy! Aku tak butuh perlindungan dari keangkuhanmu. Aku butuh tuntunan. Tuntunan kepada jalan yang benar. Yang selalu mengingatkanku pada Allah. Apa kau siap?”
Boy tak menjawab. Ia sadar. Ia memang buta agama. Hidupnya hanya dituruti dengan kesenangan sesaat. Ia malu pada dirinya sendiri. Lebih-lebih pada orang yang dicintainya.
“Dengan apa gue harus menjawabnya? Tolong beri gue kesempatan. Gue tahu, gue buta agama. Maka dari itu, gue memilih ello, ingin dekat dengan ello, dan belajar agama kepada ello.”
“Jika kau bersungguh-sungguh, aku akan memberimu kesempatan selama dua bulan untuk belajar agama. Datanglah ke Pesantren Annuqayah. Belajarlah di sana. Manfaatkanlah kesempatan yang sedikit itu. Jika kau benar-benar ingin memilikiku.” Ada genangan air mata saat senja berucap demikian.
Boy menerima tawaran senja. Ia juga sudah bosan dengan hidupnya yang terkatung-katung karena buayan setan. Ia ingin mengakhiri hidupnya yang kelam. Mengarungi dunia penuh kedamaian. Dengan cahaya Ilahi.
# # #
Sebulan Dua Puluh Hari …
Sore itu, adalah kepulangan pertama bagi si Boy dari Pesantren Annuqayah. Ia terpaksa pulang karena mendengar kabar bahwa Senja, sang bidadarinya sedang sakit keras. Ia tidak tahu, kalau selama ini Senja mempunyai penyakit kanker otak. Senja tak pernah bercerita tentang hal itu. Hanya ia berucap, kalau ia sangat bahagia bila saatnya nanti, sampai tiada.
Perjalanannnya penuh getir. Gelisah. Segala kanangan muncul seperti angin membawa kabar duka. Terlintas di matanya bagaimana dulu berlakuan kasar pada Senja. Saat ia menampar senja ketika membanting birnya ke lantai. Kini, kenangan itu telah menamparnya sendiri.
# # #
“Boy, Aku ingin tidur di pangkuanmu,” kata Senja pada Boy.
“Ya! Gue selalu di samping ello. Tenang aja, ntar ello juga akan sembuh.”
“Maafkan aku, telah membohongimu. Sebenarnya, dua bulan yang lalu dokter telah memvonis umurku. Maka dari itu, aku hanya memberimu kesempatan dua bulan untuk belajar Agama. Agar kau bisa menyolati jenazahku.” Mendengar pengakuan senja, Boy terhenyak. Terpukul. Hatinya begitu sakit. Sakit sekali.
“Ello jangan seperti itu. Gue akan berusaha menyembuhkan ello. Gue janji,” Boy memegang erat tangan Senja yang terbaring tak berdaya.
“Tidak Boy. Kau jangan membuat angan semu, yang hanya membuatmu resah, juga membuatku semakin tak tenang hadapi kenyataan. Tak seorang pun yang bisa menyembuhkan penyakit ini, kecuali kehendak-Nya. Kangker di kepalaku sudah mencapai stadium tinggi. Kata dokter, aku tinggal menunggu waktu tangan malaikat maut membelai rambutku,“ Ada cahaya bening di matanya.
“Jangan berucap demikian. Hidup dan mati seseorang hanya Allah yang menentukan. Nanti, jika ello udah sembuh, gue akan mengajakmu jalan-jalan kemana saja yang ello suka.“ Dalam catatan hidup si Boy, hanya pada Senja air matanya mengalir.
“Tidak, Boy. Biar Allah yang menentukan segalanya. Aku pasrah. Cuma satu harapanku, jika kita benar-benar ditakdirkan berpisah, aku ingin tetap melihatmu seperti sekarang. Aku sangat sedih bila kau kembali pada buaian SS, Ciaming, Ganja dan segala tetek bengek yang akan membuatku tidak tenang di alam sana...“
“Boy, pandanglah aku sepuas hatimu. Sebentar lagi kau tak akan pernah melihatku. Maafkan aku, jika selama ini selalu membatasi dan sok ngatur tingkah lakumu. Tapi percayalah, semua itu aku lakukan demi masa depanmu.“
“Gue ngerti. Malah gue bersyukur. Karena sikap dan kelembutan ello bisa mengubah jalan hidup gue. Gue gak tahu seandainya Allah tak pernah mengutus ello pada. Mungkin, ganja dan semacamnya akan selamanya menjadi garis hidup gue.“
“Boy, aku sudah lelah. Aku ingin istirahat. Aku berharap jangan sekali-kali kau sentuh barang-barang yang menjijikkan itu. Aku tak sudi melihatmu menyentuh barang-barang haram itu lagi. Demi aku… Demi aku… Sudah Boy, aku sudah sangat lelah. Ingin istirahat. Selamat tinggal…“ Senja mengatupkan kedua matanya, disertai senyum manis yang mengembang. Mengantar tidur panjangnya.
Malam itu, sungguh sunyi bagi si Boy. Di ruang yang serba putih itu, Boy menangis. Sendiri. Ya ! hanya bersama sunyi. Menyisir luka sendiri. Mengenang kepergian sang bidadari.
Lintas Pulau, 2009
sudah dipublikasikan di
MAJALAH KUNTUM, Yogyakarta
edisi 303 April 2010