Barack Husein Obama, saat beramah tamah ke Indonesia (09/11) sempat mengungkapkan, demokrasi harus dibangun dengan menghargai nilai-nilai hak asasi manusia, keadilan, kemanusiaan, aspirasi politik, dan terwujudnya kesejahteraan bagi rakyat. Indonesia yang terkenal dengan negara plural mampu menyatukan negaranya dalam bingkai Bhinnika Tunggal Ika. Dengan salah satu penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia telah dipandang mampu menyatukan masyarakatnya dengan dasar negara Pancasila. Begitulah katanya.
Sah-sah saja Obama menyatakan demikian, sebab statusnya adalah tamu. Tamu, siapa saja, harus pintar mencuri perhatian, memperlakukan tuan rumah seramah mungkin. Sanjungan itu tak lebih dan tak kurang hanyalah sebagai penyambung lidah untuk menikmati jamuan makan bakso, keripik, dan empeng bersama pak presiden.
Jika sejenak kita mencoba menceburkan diri ke dalam kenangan peristiwa 11 September, mungkin kita harus berpikir ulang. Sejak peristiwa itu, Amerika menyebut Islam sebagai kelompok garis keras. Bapak dari terorisnya teroris. Jika berkaca pada perkataannya, bahwa Indonesia merupakan salah satu penduduk muslim terbesar di dunia, secara tidak langsung “masyarakat” Obama juga mengategorikan Indonesia sebagai sarang teroris. Penulis bukan bemaksud mendiskreditkan Obama cs, tetapi hanya sebagai renungan untuk berpikir ulang makna sarang teroris itu.
Pertanyaannya sekaran, benarkah Islam merupakan ajaran kelompok garis keras, yang secara tidak langsung merendahkan Hak Asasi Manusia (HAM) serta seakan juga telah memperlakukan hukum rimba? Inilah pertanyaan mendasar dalam menyikapi ham dalam perspektif keislaman dan keindonesiaan.
Hak dapat dimaknai sebagai suatu nilai yang diinginkan seseorang untuk melidungi dirinya agar dapat memelihara kehidupan serta mengembangkan kepribadiannya. Dalam kata asas, terkandung makna bahwa subjek yang memiliki hak semacam itu adalah umat manusia secara keseluruhan tanpa membedakan status, suku, agama, ras, dan budaya. Dengan demikian Hak Asasi Manusia sedemikian penting, mendasar dan mutlak pemenuhannya (Cf. Sidney Hook,1987).
Islam yang diggembar-gemborkan sebagai agama rahmatan lil alamin memandang manusia bukan sebagai hak otoritas kebebasan. Berbeda dengan orang barat yang memaknai manusia sebagai “makhluk prometean” (the prometean), yaitu manusia yang memberontak terhadap segala jenis otoritas dan mengedepankan otonomi pribadi yang mutlak. Sedangkan Islam memandang manusia tidak lepas dari status dan fungsinya penciptaanya di muka bumi yakni sebagai khalifah (duta Tuhan). Dalam pengertian mandataris, yang diberi kuasa, bukan sebagai penguasa. Adanya unsur ketuhanan dalam diri manusia membuat otonominya tidak bersifat mutlak.
Islam memandang hak asasi manusia sebagai manusia bebas (Q.S. 33:72), bebas dalam kemauan dan perbuatan (Q.S. 76:2-3), bebas dari tekanan dan paksaan manusia lain, bebas dari eksploitasi manusia lain, bebas dari pemilikan manusia lain (Q.S. 90:13), dan bahkan bebas dalam beragama (Q.S. 2: 256; dan 10:99). Karena itu, Islam memandang hak asasi manusia dengan cara pandang yang berbeda dari Barat, tidak bersifat anthroposentris, tetapi bersifat theosentris (sadar kepada Allah sebagai pusat kehidupan). Penghargaan kepada hak asasi manusia, dengan demikian, merupakan bentuk kualitas kesadaran keagamaan, yaitu kesadaran kepada Allah sebagai pusat kehidupan (A.K. Brohi, 1978).
Kaitannya dengan demokrasi, pancasila sebagai ideoligi negara sudah final, tidak bisa ditawar lagi. Kemajemukan suku, agama, ras, dan budaya telah terakomudir di dalamnya. Rumusan kelima sila itu sesuai dengan misi islam; iman, islam dan ihsan. Karenanya, Islam tidak mempermasalahkan kedudukan pancasila sebagai ideologi negara serta ideologi pemerintahan.
Namun pada tatanan realitanya, kemajemukan tidak sepenuhnya toleran. Konflik antar suku, ras, dan agama tetap berkepanjangan di negeri ini. Peristiwa bom Bali, konflik di Poso, serta tindakan kekerasan atas nama agama mensinyalir bahwa HAM di negara kita masih sekarat. Dalil-dalil “pembebasan” selalu dijadikan legitimasi untuk menonjolkan antar suku, ras, dan agama, sehingga ruang lingkup pancasila dalam tatanan formalitasnya tidak menyentuh kepada hak kemanusiaan itu sendiri.
Agama tetap menjadi faktor penting bagi sinergisitas penguatan demokrasi dan civil society di Indonesia, sebab kekerasan yang terjadi 90% atas dasar agama. Meski Indonesia bukan negara agama, kehidupan masyarakat Indonesia tidak dapat dilepaskan dari agama. Kedudukan manusia sebagai khalifah harus menjadi upaya sadar bahwa hak otoritas kemanusiaan tidak bersifat mutlak sebagaimana persepsi orang barat, sehingga upaya pembebasan sebagai penegak dari HAM memiliki batasan-batasan tertentu.
Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), guru-guru kita telah mengjaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Menjunjung tinggi kebebasan; dalam menyampaikan hak hingga memeluk agama. Kondisi itu harus dikelola dengan baik dan bijak oleh pemerintah dan kalangan agamawan agar keragaman agama dan budaya di Indonesia tidak menjadi sumber konflik, tetapi menjadi berkah dan kekayaan bangsa yang saling menguatkan saling mengukuhkan, dan saling memperkaya pengalaman masing-masing.
0 comments:
Post a Comment