Jika anda pernah atau akan berkunjung ke Kecamatan Ledokombo, maka sempatkanlah barang sejenak untuk mampir ke sebuah danau kecil di Desa Sukogidri. Salah satu desa di kecamatan paling timur Kabupaten Jember.
Rowo Indah nama danau kecil itu. Terletak di atas bebukitan, berjarak 1,5 kilometer dari Balai Desa Sukogidri ke arah timur. Jika sudah sampai di perkampungan yang dikenal dengan Dusun Duklengkong, hanya sekitar 12 rumah, maka kendaraan apa pun harus diparkir di sana. Tak ada rekomendasi untuk dibawa ke lokasi karena jalannya terlalu sempit.
Perjalanan yang masih menyisakan 400 meter ke arah utara itu harus ditempuh dengan berjalan kaki. Mengesankan dan sedikit menguras tenaga. Saya dan teman saya terkadang mengenduskan nafas berat menapaki jalan yang menanjak, berliku, dan bebatuan. Sesekali menahan perut yang keroncongan karena berpuasa.
Tiba di lokasi sekitar pukul 15.50, sebuah pengeras suara sepertinya menyambut kami. Rasa lelah berikut capek seketika terasa lenyap ketika melihat panorama Rowo Indah. Meskipun waktu menginjak sore hari, suasana naturalnya tetap segar. Teriakan bocah-bocah kecil di tepian danau itu menggelitik hati. Bermain. Berkejaran di sisi danau seluas 4 hektar.
Dua buah perahu mengapung mengelilingi danau. Sarat akan penumpang. Perahunya berwarna-warni, namun yang paling mencolok adalah warna kuning kombinasi merah. Burung-burung bangau terbang dan hinggap di Pohon Kelapa saat perahu berukuran sedang itu melintas di dekat mereka. Hanya dengan uang 2000 rupiah perkepala, sudah cukup mengelilingi danau satu putaran.
Ya, di sekitar sisi Rowo Indah berjejel Pohon Kelapa. Bahkan, di tengah danau yang memiliki kedalaman 3,5 meter itu menjulang empat Pohon Kelapa. Maklum, Rowo Indah asalnya memang adalah sebuah ondhut (persawahan yang memiliki sumber air).
Tanggal 28 Juli lalu, sempat menjadi ketegangan warga. Sekitar pukul 02.00 dini hari, ondhut itu meledak, menyemburkan air yang sangat deras. Sehingga menenggelamkan beberapa sawah di sekitarnya. Mereka, yang memiliki sawah gagal panen.
Sebenarnya, setiap tahun ondut itu sering mengalami ledakan air. Pernah Februari lalu terjadi ledakan, warga masih bisa mengantisipasinya. Namun, semburan saat ini lebih besar dari sebelumnya. Sekilas peristiwa itu mengingatkan saya pada semburan Lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo. Bahkan terdengar juga celetukan para warga kalau itu juga “Lumpur Lapindo”. Namun, sama sekali tak terbukti, sebab airnya tak membahayakan. Bahkan bisa menjadi obat. Banyak orang-orang yang berdatangan untuk menyembuhkan penyakit. Seperti sakit mata, jerawatan, gatal-gatal, dan penyakit kulit lainnya.
Beberapa warga merasa iba atas orang yang sawahnya ikut terendam. Muncullah aksi gotong-royong untuk membuat selokan selebar setengah meter ke arah selatan menuju Sungai Laok.
Usaha mereka nihil, tak membuahkan hasil. Maka, muncul ide baru dari kepala RT Dusun Duklengkong; menutup selokan dan membiarkan airnya tetap menggenang. Usulan itu disambut baik. Untuk menambah daya tarik pengunjung, kepala RT dan kepala desa memfasilitasi dua perahu yang disewa dari Muncar. Nantinya, 35% dari hasil perahu masuk pada anggaran pendapatan desa dan sisanya menjadi hak para pemilik sawah setelah dipotong biaya sewa perahu.
Tidak hanya itu, setelah meledak, danau itu menjadi banyak ikannya. Banyak pendatang yang juga mencoba “mengadu nasib” dengan memancing. Kailnya bukanlah cacing atau daging, tapi hanya lumut kerak. Bagi yang ingin memancing sudah ada posisinya, yaitu di ujung timur, di bawah dua Pohon Randu besar berdiameter kira-kira 30 centimeter. Mereka seperti nampak mengikuti kontes memancing, padahal tidak. Siapa berminat, silahkan mencoba. Gratis!
Beberapa pengusaha lokal sempat melirik Rowo Indah untuk dikembangkan menjadi tempat wisata. Namun, para pemilik sawah tak setuju menjual lahannya karena sawah atau ladang merupakan prioritas utama mata pencaharian mereka. 90% masyarakat Desa Sukogidri adalah petani. Mereka berharap dan meyakini suatu hari lahan itu bisa kembali seperti sedia kala.
Kondisi Rowo Indah itu dibiarkan begitu saja dengan keeksotisan alamiahnya. Membiarkan apa adanya tanpa ada langkah-langkah untuk mempercantik diri. Hanya pembersihan tepian danau dari tumbuhan enceng gondok seminggu sekali.
Setelah menyaksikan dan sedikit berbincang santai dengan para pemancing, yang katanya bisa memperoleh 30 ekor seukuran tangan bayi dalam waktu satu jam, kami melanjutkan perjalanan ke arah utara. Di utara danau itu berjejel rapi para penjual makanan. Dari makanan ringan sampai makanan khas pedesaan seperti lontong, ketupat, soto, rujak, dan lain sebagainya.
Ada sembilan penjual di sana yang saling berhadap-hadapan. Tempatnya sangat sederhana, terbuat dari bambu dan atapnya dari plastik yang di atasnya ditumpangi jerami. Beberapa makanan yang ditata rapi membuat saya harus beberapa kali menelan ludah.
Karena lidah saya selalu ngidam makanan itu. Maka kami memutuskan untuk berbuka puasa di sana. Apalagi matahari sudah hampir mendekati garis cakrawala.
0 comments:
Post a Comment