(Dimuat di Majalah
MPA Kemenag Jatim, Edisi 335 Agustus
2014)
Pendidikan merupakan
tonggak majunya suatu peradaban. Imannuel Khan, seorang filsuf berkebangsaan
Jerman, mengatakan bahwa manusia menjadi manusia karena pendidikan. Bagi Islam
sendiri, banyak dalil-dalil yang menyerukan spirit pendidikan. Salah satunya
adalah hadits “Uthlubu al-ilma mina
al-mahdi ila al-lahdi” (tuntutlah ilmu dari sejak baru lahir sampai mati)
yang kemudian menjadi fondasi “long life
education”.
Spirit tersebut dapat
dibuktikan dari pemakaian kata “Uthlub”
yang berasal dari kata thalaba-yathlubu
yang dalam etimologi bahasa arab adalah kalimat perintah (fi’il amr). Sejatinya, kata “thalaba”
juga bisa berarti mencari. Memang, “mencari” tidak jauh berbeda dengan
“menuntut”. Namun, beberapa ahli bahasa mengatakan bahwa nilai jihad “menuntut”
lebih tinggi daripada “mencari”. Mencari memiliki makna berusaha mendapatkan,
menemukan atau memperoleh, sementara menuntut memiliki makna meminta dengan
keras, mengharuskan supaya dipenuhi, berusaha keras mendapat hak atas sesuatu.
Dengan demikian, Islam sangat
keras mendorong kaum muslim untuk menuntut ilmu. Apalagi ditambah dengan
statement dari sejak lahir sampai pada liang lahat membuat pendidikan mutlah
harus dilaksanakan.
Hakikat manusia sebagai
wakil Allah (khalifah) di muka bumi, mengharuskan ilmu tidak hanya bisa
dituntut saja, melainkan juga harus diamalkan. Sebagai khalifah manusia
memiliki tugas menata dan memakmurkan kehidupan sesuai dengan kemampuan nalar
pikir dan senantiasa menjalankan kewajiban yang diamanahkan kepadanya. Pada
posisi ini, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) sangat menentukan sejauh mana amanah
tersebut dapat dilaksanakan dengan baik.
Terkait dengan dua
tugas di atas, maka timbullah sebuah transformasi ilmu pengetahuan dalam dunia
pendidikan.
Pendidikan Membangun Tradisi
Ada hal yang sangat
menarik ketika saya berbincang santai dengan salah satu pengurus Pondok
Pesantren Sidogiri, Keraton, Pasuruan, pada 21 April 213. Saya mengajukan
pertanyaan bagaiman bisa Sidogiri sampai saat ini bertahan dengan kesalafannya
(kajian-kajian keagamaan), sementara globalisasi dan modernisasi terus
bergulir. Jawaban pengurus itu sederhana: Sidogiri menggunakan kurikulum salaf,
sementara manajemennya menggunakan manajemen modern.
Mendapat jawaban
seperti itu, saya kemudian ingat sebuah kalimat yang selalu
didengung-dengungkan oleh kaum nadhiyyin tentang memperahankan tradisi lama
yang baik dan mengambi tradisi baru yang lebih baik (al-Muhafadzatu ala al-Qadimi al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadidi al-Ashlah).
Lebih jauh lagi, jawaban
tersebut menuntun pikiran saya pada sebuah kajian implementasi pendidikan Islam
kepada anak didik dengan mengkomparasikan pendidikan berbasis karakter dan
pendidikan berbasis kearifan lokal. Sejatinya muatan pendidikan berbasis
karakter dan pendidikan berbasis kearifan lokal di dalam pendidikan Islam sudah
ada. Tinggal bagaimana berusaha merekonsruksi agar muatan dalam pendidikan
tersebut dapat dilaksanakan dengan baik.
Seiring dengan cepatnya
gejolak arus globalisasi dan modernisasi, pendidikan tidak hanya sebagai sarana
transfer ilmu pengetahun saja. Secara luas pendidikan harus menjadi sebuah
pembudayaan dengan membentuk karakter dan watak bangsa guna menyelamatkan anak
didik dari dampak buruk globalisasi.
Dewasa ini
mulai muncul apa yang disebut dengan kebudayaan global. Kebudayaan global bisa
diartikan sebagai modernitas yang merupakan hasil dari proses modernisasi,
yaitu pergeseran sikap dan mentalitas manusia untuk dapat hidup dengan tuntutan
masa kini. Modernitas mempunyai pengertian masyarakat modern, gaya hidup
modern, ekonomi modern, budaya modern, dan pendidikan modern.
Secara langsung ataupun tidak langsung, ide atau
gagasan yang berkembang sebagai interaksi gagasan global mengakibatkan
terjadinya perubahan sikap, nilai, dan norma seperti halnya perubahan gaya
hidup (life style). Yang paling sulit dihindari adalah kenyataan bahwa
manusia telah mengamali krisis global yang begitu kompleks dan
multidimensional.
Terjadinya krisis global akibat pengaruh gerak
globalisasi membuat pendidikan Islam memiliki tanggungjawab besar untuk
membangun kesadaran diri pada pembentukan karakter anak didik secara utuh.
Pembentukan karakter dimaksudkan agar anak didik dapat beradaptasi dengan baik
tanpa harus terjebak dalam pusaran globalisasi.
Karakter merupakan
nilai-nilai perilaku manusia yang universal yang terwujud dalam pikiran, sikap,
perasaan, perkataan, dan perbuatan. Pendidikan karakter membawa misi yang sama
dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral yang dibentuk sejak dini agar
menjadi karakteristik anak didik. Poin ini sesuai dengan tugas pokok Rasulullah
SAW, “Innama buitstu liutammima makarima
al-akhlaq” sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.
Aspek utama dari
karakter manusia merujuk pada kualitas instrinsik semacam kejujuran, kebaikan
hati, dan toleransi. Dengan demikian pendidikan karakter adalah sebuah proses
yang dilakukan untuk untuk mencetak prilaku-prilaku tertentu sesuai dengan
harapan tujuan pendidikan agar setiap peserta didik memiliki sebuah kebiasaan
dan kesesuaian dalam prilaku yang tertanam dalam kehidupannya.
Selain daripada itu, pola
pendidikan dalam sejarah penyebaran agama Islam, baik di wilayah Timur Tengah maupun
di Indonesia, melalui pendekatan kultural yang bersifat soft power, yaitu menjunjung tinggi keteladanan dan moralitas. Pola
pendekatan kutural mengindikasikan betapa Islam sangat menjunjung tinggi
nilai-nilai luhur suatu bangsa. Komparasi antara spirit moralitas dan nilai
kearifan lokal mengantarkan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin yang sanga mudah diterima di seluruh penjuru
dunia. Perbedaan karakteristik pada suatu bangsa tertentu tak menyulitkan Islam
membingkainya dalam satu rumusan “la
ilaha illa Allah”.
Kearifan lokal dapat
didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur dalam kekayaan
budaya lokal. Kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan, nilai, pandangan
‘lokal’ yang bersifat bijak dan arif. Pendidikan kearifan lokal adalah
pendidikan yang mengajarkan peserta didik untuk selalu dekat dengan situasi
konkrit yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari, baik itu berhubungan
dengan Allah (Hablu mina Allah),
dengan manusia (hablu minan an-naas)
maupun dengan alam (Hablu mina al-Alam).
Persoalannya adalah
bagaimana mengimplementasikan pendidikan berbasis karakter dan local wisdom dalam kerangka Pendidikan
Islam di sekolah/madrasah?
Bertolak dari
pertanyaan di atas ada dua gagasan pokok yang perlu digarisbawahi: reorientasi
nilai dan akulturasi kebudayaan. Keduanya memiliki interaksi “intertekstual”
sebagai jalan membangun kesadaran etis dalam konteks kebangsaan dan
keberbudayaan. Pertukaran budaya global seperti yang diulas oleh Hasting Donna
dalam bukunya Islam, Posmodernisme and
Globalization (2007) apabila tidak diimbangin dengan prinsip nilai kearifan
lokal akan merongrong budaya itu sendiri. Titik inilah yang menyebabkan
terjadinya krisis global.
Kekuatan dari
pengembangan Pendidikan Islam Berbasis Karakter dan Local Wisdom, sejatinya tercermin kuat dalam prinsip al-Muhafadzatu ala al-Qadimi al-Shalih wa
al-Akhdzu bi al-Jadidi al-Ashlah. Tinggal bagaimana seorang guru selaku stakehoder dapat mengimplementasikan
dengan baik nilai tersebut kepada anak didik. Inovasi, kreativitas, dan
progresivitas adalah tiga kata kunci yang perlu diintegrasikan pada proses
pendidikan Islam agar bisa menyentuh nilai universal, yakni membentuk ummat
yang kaffah.
Disinilah diperlukan
adanya dorongan revitalisasi kearifan lokal yang relevan untuk membangun
pendidikan berkarakter. Kearifan lokal pada gilirannya akan mampu mengantarkan anak
didik untuk membangun sikap jiwa yang tangguh, semangat yang tinggi, serta
mampu beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan.[*]
0 comments:
Post a Comment