Dari sabang sampai merauke
Berjajar pulau-pulau
Kutipan lagu Nasional Perjuangan Indonesia yang diciptakan oleh R. Suharjo ini menggambarkan betapa besar peradaban Indonesia pada kala itu. Negeri seribu pulau yang memiliki kekayaan alam elastis, estetik, dan eksotis. Banyaknya pulau di Indonesia melahirkan berbagai suku, agama, ras, dan budaya yang saling berinteraksi dan semakin mengukuhkan bahwa Indonesia adalah negeri yang “berperadaban”.
Namun, kekayaan alam yang begitu besar dan terbentang luas tersebut seakan tidak pernah dirasakan oleh masyarakatnya sendiri. Terlupakan dalam benak mereka. Baru bisa merasakan ketika banyak investor asing yang mencaplok kekayaan kita atau ingin “berkuasa” di negeri pertiwi ini. Bahan tambang seperti emas, batubara, dan migas terus diekploitasi. Baik yang ada di darat maupun di laut.
Sebenarnya jika dirunut dalam konteks sejarah, gerakan kesadaran bangsa Indonesia sudah dimulai sejak terjadi peristiwa sumpah pemuda pada tanggal 28 Desember 1928. Mereka berkelekar menyatu, membangun persatuan dalam napas kebebasan, persaudaraan dan kesetaraan; bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu: Indonesia, yang kemudian dilanjutkan dengan perjuangan mengusir penjajah yang akhirnya terabadikan dalam proklamasi 17 Agustus 1945.
Sebagai generasi dan regenerasi, seharusnya kita menjaga kekayaan yang secara susah payah telah dipersembahkan oleh pejuang-pejuang bangsa ini. Beliau—saya menyebut beliau karena bagi saya perbuatan mereka amatlah mulia daripada seorang jendral ataupun kiai—berkorban demi anak cucu. Dan—pasti—berharap untuk merawat dan melestarikannya.
Cipratan Surga itu Bernama Indonesia
Budayawan Emha Ainun Najib dalam puisinya yang berjudul “Renungan Ilir-Ilir” menyebutkan negeri ini adalah cipratan surga. Surga seakan-akan pernah bocor dan mencipratkan kekayaan dan keindahannya. Dan cipratan itu bernama “Indonesia Raya”. Hal itu tidaklah berlebihan kiranya mengingat kekayaan alam yang dimiliki oleh negeri kita ini. Hutan tropis dan tanah yang subur membentang luas. Hasil lautnya pun kaya. Pasti semua setuju dengan kalimat tersebut.
Menurut data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Indonesia merupakan salah satu dari tujuh negara mega biodiversitas yang dikenal sebagai pusat konsentrasi keanekaragaman hayati dunia. Kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia sebanyak ± 6.000 spesies flora dan fauna yang dimanfaatkan sehari-hari untuk pangan, obat-obatan, kosmetik, pewarna dan lain-lain. Selain itu, Indonesia juga memiliki 60 ladang minyak (basins). 38 di antaranya telah dieksplorasi, dengan cadangan sekitar 77 miliar barel minyak dan 332 triliun kaki kubik (TCF) gas. (Walhi, 2004)
Salah satu sumber kekayaan bangsa ini adalah potensi sumberdaya kelautan dan perikanannya. Indonesia memiliki panjang garis pantai 95.181 Km dan dengan luas laut 5.800.000 Km2. Kenyataan ini menunjukkan, kekayaan alam yang begitu besar, seharusnya Indonesia bisa menjadi negara yang makmur. Sangat mampu mencukupi kebutuhan rakyat. Sebagai negara maritim, mau tidak mau Indonesia harus mengelola bidang kelautan dan perikanan, yang merupakan unggulan kempetitifnya. Sektor inilah ke depan, yang akan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia, setelah kekayaan bumi lainnya, seperti minyak, tambang, dan hutan.
Ironisnya, dalam hal budidaya kelautan, misalkan garam, yang sangat mudah diproduksi di dalam negeri karena sumber dayanya tersedia secara cuma-cuma, ternyata sampai sekarang negara kita masih mengimpor garam. Jumlahnya juga cukup besar, yaitu kurang lebih 1,58 juta ton per tahun senilai Rp. 900 miliar (kompas.com). Selain itu negara kita masih mengimpor udang dari Amerika Serikat. Padahal, jika kita benar-benar memanfaatkan secara optimal, maka APBN akan menerima pemasukan sebanyak 41 persen dari sektor ini.
Sumber Daya Manusia, dari segi kuantitas dan kualitas juga masih belum optimal. Para investor asing dengan mudah memerdaya kita secara halus. Kita, pemilik yang sebenarnya ditipu dengan kata manis, sehingga kita (terpaksa) mau mengeruk habis-habisan kekayaan Indonesia untuk mereka. Yang serakah adalah mereka, tapi yang membuat onar adalah bangsa kita sendiri. Mau diperbudak.
Peristiwa Hilangnya Atlantis
Fenomena di atas mengingatkan kita pada peristiwa serupa di suatu wilayah yang dikenal sebagai pusat peradaban; yaitu Atlantis. Apakah ada hubungan dengan Indonesia?
Atalantis merupakan sebuah tempat yang mempunyai bentangan daratan dengan peradaban tinggi dan kekayaan alam yang melimpah, yang tenggelam ribuan tahun silam. Pulau legendaris yang pertama kali disebut oleh Plato dalam bukunya “Timaeus dan Criteas” itu sampai saat ini masih menjadi misteri. Namun sayang, buku yang ditulis 360 SM itu tak menyebutkan di mana sebenarnya posisi peradaban itu. Hanya saja menjelaskan bahwa bentangan negeri itu berada di antara Samudera Atlantik dan luasnya sama dengan gabungan Libya dan Asia Minor. Hal ini yang kemudian mendorong para ilmuan melalukan penelitian untuk menelusuri dan menemukan sisa-sisa peradaban tinggi yang telah dicapai oleh bangsa Atlantis itu.
Dalam buku Prof. Arysio Nunes dos Santos, Ph.D, seorang fisikawan nuklir dan ahli geologi, yang berjudul “Atlantis The Lost Continents Finally Found”, Secara tegas menyatakan bahwa lokasi Atlantis yang hilang itu adalah Indonesia. Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Umar Anggara Jenny, juga pernah menyatakan bahwa Atlantis itu sekarang bernama Indonesia (Republika, 18 Juni 2005). Hipotesa ini merunut kepada persamaan letak geografis Atlantis dengan Indonesia. Seperti wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani—berikut dengan bencana alamnya.
Sah-sah saja para ilmuwan mengatakan bahwa wilayah yang berperadaban itu adalah Indonesia, meski sampai sekarang masih menjadi bahan perdebatan. Dan ini merupakan suatu berkah yang patut kita banggakan. Tapi, apakah kita hanya bisa berbangga diri? Tidak.
Masih ada satu hal yang terlupakan, yaitu penyebab hancurnya Atlantis. Bahwa negeri itu memiliki penduduk yang semula merupakan orang-orang terhormat dan kaya, kemudian berubah menjadi ambisius. Yang kuat menindas yang lemah. Mengeruk kekayaan alam, di darat maupun di laut, tanpa batas. Serta berbagai kelakuan buruk lainnya (mungkin ‘korupsi’ salah satunya). Sehingga kondisi wilayah itu tidak berimbang dengan “etika” alam. Sehingga banjir, letusan gunung berapi, dan gempa bumi, dan tsunami yang sedemikian dahsyat menenggelamkan seluruh benua itu.
Nah, Indonesia yang disebut sebagai salah satu “mantan Atlantis” ini bakal kena hukuman serupa kalau tidak mau berubah seperti yang ditampakkan bangsa ini secara keseluruhan. Investor asing dan pengerukan kekayaan alam yang berlebihan merupakan dua stereotipe penyebab hilangnya kekayaan kita. Jika kita tidak sadar sejak hari ini, maka bersiaplah untuk kehilangan pekayaan kita.
Dalam hal ini hanya ada dia pilihan: Membuktikan bahwa Atlantis yang hilang itu memang kini sudah “berwajah” Indonesia, atau Indonesia yang digadang-gadangkan sebagai Atlantis baru akan sama nasibnya dengan benua Atlantis itu. Terserah?
0 comments:
Post a Comment