Kamis malam (01-17), sebanyak dua belas orang, termasuk juga saya, bertakziyah ke rumah Fathorrahman Hasbul, alumni PPA Lubangsa dan mantan kru Majalah Muara, di desa Duko, Kecamatan Ganding.
Dua belas orang itu adalah sahabat dekatnya sewaktu masih sama-sama menjadi santri. 6 orang kru Majalah Muara--termasuk juga saya--, 2 orang kru Buletin Kompak, dan 4 orang adalah sahabat dekatnya sewaktu
masih di Madrasah Aliyah (MA) I Annuqayah.
Lima menit sebelum adzan maghrib, kami berangkat. Perjalanan sepanjang tiga kilo itu ditempuh dengan berjalan kaki. Dari lapangan kemisan, terus mengarah ke utara. Melewati pematang sawah. Pulang dan pergi. Perjalanan itu kami tempuh dengan tergesa-gesa. Takut dimakan kegelapan. Sebab, diantara kami tidah ada yang membawa penerang, semacam senter dan lain sebagainya.
Tiba di desa itu, kami disambut langsung oleh Oong—sapaan akrab Fathorrahman Hasbul. Dengan senyum tipis dan wajah berseri-seri, alumni yang sekarang menetap di Kutub, Jogjakarta itu langsung mempersilakan kami untuk solat maghrib terlebih dahulu. Sebab, tahlilan masih akan dimulai setelah solat isyak.
Ini adalah kali kedua bertakziyah ke rumahnya. Takziyah pertama terjadi setahun yang lalu, ketika ayah pemuda berperawakan kalem itu berpulang ke haribaan-Nya. Dan kini, tepat setahun, ibunya menyusul.
Kini ia sebatangkara. Ia termasuk orang yang miskin. Peninggalan harta orangtuanya tak begitu banyak.Untuk mencukupi kehidupannya di jogjakarta, hanya bertumpu pada kreatifitas menulisnya.
Sambil menunggu tahlilan dimulai, kami berbagi pengalaman. Maklum, setahun berpisah, baru sekarang bertemu. Tak pelak canda dan tawa menghiasi suasana yang sebenarnya masih dirudung duka itu. Memang
itulah tujuan kami, menghapus duka seorang sahabat, meski hanya sesaat.
Usai tahlilan, kami langsung pamit. Terlihat diwajahnya sebuah keharuan. Ia banyak mengucapkan terima kasih karena masih ingat dengan arti sebuah persahaban. Matanya berseri-seri ketika kami semakin jauh
dari pandangannya. Kami tahu, betapa beratnya ditinggal kedua orang tua.
Kini, tinggallah kami yang harus berjuang. Melewati pematang sawah dengan tangan hampa. Tanpa ada cahaya yang menerangi langkah kami. Perjalanan itu dicekam ketakutan. Takut hantu, takut terpeleset, dan
takut jika tiba-tiba ada seekor ular mematuk kaki kami. Namun, kami tetap sadar bahwa perjuangan ini masih kalah berat dengan perjuangan teman kami, Fathorrahman Hasbul. Berjuanglah sahabat!
0 comments:
Post a Comment