Rasanya, baru kali ini aku melihat ibu termenung. Banyak pertanyaaan tersimpan di batok kepalaku tentang tingkahnya. Ada apa dengan ibu? Sepeninggal ayah, ibu tidak pernah bersikap seperti itu. Dulu, ia sangat tenang mengikhlaskan kepergian ayah. Meski, pada awal ayah menutup mata, ada air mata yang jatuh membelah pipinya. Setelah itu, tak kudapat lagi air mata itu jatuh.
Ibu terus memandang hampa. Kosong. Hanya, tangan kiri selalu membelai rambutnya yang panjang terurai. Mata sipit tanpa lalah menatap lukisannya sendiri, ayah dan seorang bocah –yang tak lain bocah itu aku—di Figura besar yang berada di atas meja kerjanya. Melihat ibu seperti itu, aku bingung. Apakah ibu mengenang wajah ayah yang selma ini tak sempat dikenang lagi sejak beberapa bulan lalu? Mungkin saja. Tapi, itu belum cukup meyakinkanku. Sejuta tanya terus berkecamuk seperti pertempuran sengit.
Ayah begitu lembut. Pada aku dan juga ibu. Ia begitu bijak. Tak ada celah bagiku untuk mencari sifat yang ganjil dalam dirinya. Begitu juga ibu. Ia sangat mencintai ayah. Ibu pernah menggubris cerita pertama kali benih-benih cinta itu muncul saat bertemu dengan ayah. Waktu itu, secara tak sengaja ayah berkunjung kerumah pamannya di desa—pada saat itu—di mana ibu tinggal.
Pagi itu masih buta untuk memuli aktifitas, ayah diajak jalan-jalan mengelilingi beberapa pemandangan desa. Tanpa sengaja, ayah melihat ibu dengan mukena yang masih dipakainya turun dari surau. Ayah terpesona dengan kecantikan seorang muslimah itu.
Singkat cerita, setelah pertemuan itu, tiga hari berikutnya ayah melamar ibu dan membawa ke pelaminan. Lahirlah aku, si buah hati pertama.
Setelah aku umur lima tahun, ayah meninggal. Awalnya, aku tak begitu memahami kalau ayah sudah pergi selamanya. Aku hanya menagisi ibu—karena pada saat itu ibu menagis. Aku tidak tahu kalau ibu menangisi kepergian ayah. terlalu dini buat aku memahami arti kehidupan dan kematian.
Belaian angin menjelma bara. Amat menyiksa. bumi seakan berhenti berputar. Tak ada lagi orang yang akan membelai rambut ibu. Mengecup keningnya setiap mata mulai mengatup. menumpahkan seluruh kasih sayangnya padaku. Ia harus menanggung status janda di usia yang terbilang muda.
Setelah kejadian itu, dalam beberapa bulan terakhir, aku tak lagi mendapati ibu menagis. Melamun pun juga tidak. Ibu selalu ceria dengan hiburan-hiburan yang aku buat. Kata ibu, aku lucu dan imut. Persis seperti wajah ayah. ibu selalu menemaniku bermain. Kadang, ia mencubit pinggangku lantaran aku suka usil padanya. Tapi, tak kudapatkan sama sekali kemarahan padaku. Ia hanya tersenyum.
Tapi kali ini, ibu kelihatan begitu sedih. Di ruangan yang hanya seluas 4x3 meter itu, wajah ibu begitu sembab. Aku hanya bisa memandang ibu heran. Belenggu menampar-nampar hatiku. Tak bisa berbuat apapun. Aku hanya bisa membiarkan ibu sendiri dengan sunyi. Mungkin, ia butuh ketenangan setelah lama bekerja sendirian.
“Kang, maafkan aku,” seutas bibir ibu mulai bergetar. Suaranya lirih, ada sesuatu yang di tahan. Sesekali ia mengatupkan mata agak lama. Merasakan getaran yang sulit dicapkan. Mengumpulkan kata yang tercerai berai. Tangannya menggumpal. Gemetar.
“Aku tidak sanggup hidup sendiri. Aku butuh seseorang, bersama merawat anak kita,” suara itu begitu lirih. Air mata ibu menetes. Mengalir tanpa hambatan membelah kedua pipinya.
“Aku tidak kuat menahan sindiran orang sekitar, selalu ada kata tidak sedap yang aku dengar ketika bertemu dengn mereka,” aku tidak tahu perasaan ibu saat itu. Dikala seperti itu, aku selalu ingin memahami setiap kata yang ibu ucapkan. Karena ibu, hanya punya aku. Hanya aku.
Wajah tirus ibu menatap lukisan ayah. Ia menggigit bibirnya sendiri. Malam semakin larut. Kesunyian kian mencekam. Jam dinding menunjukkan angka dua belas. Di luar, bunyi suara tokek bersahutan mengantarkan mega hitam berarak menyayat alam.
Dingin membangkitkan bulu roma. Kegelisahan kian kalut. Aku tetap berusaha menahan diri. Tiba-tiba, di luar jendela, ada kilau cahaya putih. Terang sekali. Mataku silau. Cahaya itu semakin dekat menembus jendela.
Tampak keterkejutan mengerutkan keningku. Ada yang datang. Bersayap. Berkelebat. Sinar cahaya itu sungguh menusuk mata. Meski demikian, mataku mencoba menahannya. Tak lama, keterkejutanku berganti senyuman.
Aku kenal dengan wajah itu. Ayah. Ia bisa terbang? Perlahan, ayah terbang menghampiriku. Membelai kepalaku lembut. Sejuk sekali. Aku tersenyum, Ayah juga tersenyum. Setelah puas membelaiku, ayah menghampiri ibu yang tetap bersama sunyi. Ayah juga membelai rambut ibu yang terurai. Panjang.
Ibu menagis. Menutup muka dengan kedua tangannya. Air mata itu kian tak terbendung. Oh, tidak! Sayap ayah terbakar. Rontok sehelai demi sehelai. Tetesan air mata ibu telah membakarnya. Ayah merasa kepanasan. Tubuhnya menggelinjang karena tetesan itu. Lantas, ibu tertawa renyah.
Bumi Al-Sael, (C/11) 2009
*) terinspirasi dari sayap patahnya Kahlil Gibran
Dimuat di Radar Madura tanggal 18 April 2010
Sunday, May 16, 2010
Terbang Tanpa Sayap
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comments:
keren visualnya...^^
Post a Comment