Mereka pindah mereka bukan tanpa dasar, melainkan karena memiliki anak yang sudah mulai bersekolah di tingkat dasar. Daripada anaknya naik turun lereng, bersekolah setiap hari, berjalan kaki delapan kilometer, pulang pergi enam belas kilometer, lebih baik orangtua yang naik turun menyelesaikan pekerjaan di atas sana: memanen kopi dan menyadap getah karet.
Saya tahu Slerok sekitar tahun 2014 melalui salah satu guru yang mengajar di sana. Jiwa petualang saya pun terpanggil dan akhirnya sampai juga di sana. Banyak kesan-kesan kemanusiaan yang coba tulis menjadi sebuah cerita. Dua tulisan berbeda dengan judul yang sama “Slerok” sudah pernah dimuat di media, yaitu Republika (29/06/2014) dan Kompas (15/06/2018).
Pertama ke Slerok, penduduk yang menetap di sana masih banyak. Sekitar tujuh puluh kepala keluarga (KK). Tiga tahun lalu (2018), terakhir saya ke sana, tinggal belasan KK. Sekarang penduduk yang menetap tak lebih dari sepuluh KK. Musala kecil masih berdiri kokoh. Entah, masih difungsikan atau tidak. Sementara, gedung sekolah satu atap semi permanen sudah tak terawat dan kini beralih fungsi menjadi gudang. Miris sekali!
Pertama berkunjung, perkampungan yang masih bagian dari Desa Slateng, Kecamatan Ledokombo tersebut masih ramai oleh aktivitas penduduk—yang sebagian besar adalah pendatang. Terdapat pengeras suara di musala. Gedung sekolah semi permanen tersebut juga dihiasi dengan aktivitas belajar.
Sekolah yang hanya dua ruangan tersebut dipakai untuk
anak-anak kelas rendah (kelas 1, 2, dan 3) mati suri setahun kemudian.
Satu-satunya guru yang mengajar di sana berhenti dan tak ada lagi yang
menggantikan. Jadilah sekolah itu hanya dihuni oleh papan tulis, bangku dan
meja kosong. Satu lagi, gambar presiden dan wakil presiden yang sudah usang.
Hari ini saya memiliki kesempatan kembali ke sana. Membagikan
alat tulis dan buku bacaan kepada anak-anak Slerok. Alat tulis dan buku bacaan itu
seharusnya saya bagikan tiga tahun lalu. Namun, karena terkendala beberapa hal,
alat tulis dan buku bacaan tersebut dapat di salurkan hari ini.
Kali ini saya mengajak istri saya. Ia penasaran dengan
cerita-cerita saya tentang Slerok. Cuy—panggilan sayang saya—mau saya ajak ke
sana. Merasakan sensasi jalan terjal bebatuan yang membentang sejauh delapan
kilometer (ukuran versi spidometer).
Mulanya, tak ada kendala berarti bagi Vario 125cc melibas
jalan terjal bebatuan di belantara hutan pinus. Sampai separuh perjalanan, pada
sebuah tanjakan curam, Cuy terpaksa harus saya turunkan. Terlalu beresiko
memboncenginya melibas jalan bebatuan. Apalagi saya bukan penduduk yang sudah
biasa melewati jalan bebatuan dan bergelombang. Saya catat, tiga kali istri
saya turunkan. Napasnya ngos-ngosan. Naik turun tak beraturan. Sesekali merutuk
diri tak ingin kembali. Saya tersenyum saja, menikmati sensasi sebuah
perjalanan yang tidak biasa.
Sampai di ujung terakhir perkampungan, saya singgah di salah
satu rumah yang biasa saya kunjungi ketika ke sana. Saya serahkan semua paket
bantuan tersebut kepadanya untuk disalurkan kepada anak-anak yang lain.
Hamparan kopi kering menghiasi seluruh halaman kampung Slerok.
Saya tersentuh ketika buku iqra’ sampai di tangan anak-anak.
Perasaan bahagia menghiasi wajah mereka. Salah satu orangtua berujar, “nah, ini
buku (iqra’) yang kami butuhkan”. Kalimat singkat itu menghentak dada saya.
Selama ini, setelah tak ada lagi yang mengajar di sana, mereka mengajari
sendiri anak-anak mereka. Belajar membaca dan mengaji.
Ketika sampai waktunya mereka bersekolah, orangtua yang
memiliki anak siap bersekolah pindah ke perkampungan bawah yang memiliki akses dekat
dengan sekolah. Mereka, sekali lagi, tidak tega setiap hari melihat anaknya berjalan
naik turun lereng gunung dengan kondisi jalan yang keras dan terjal. Saat
itulah saya tahu, mengapa penduduk Slerok yang menetap di lereng Gunung Raung
semakin berkurang.
Bukan tidak mungkin suatu saat Slerok hanya menjadi cerita ‘kampung
yang hilang’. Penduduk yang tersisa, tinggal menunggu giliran pindah bila sudah
waktunya anak-anak mereka siap bersekolah. []