Oleh: Allisa Wahid
Senin malam, 25 Pebruari 2012, saya membaca mention di
twitter tentang berita Cak Imin yang akan mendirikan monumen GusDur di
Singkawang, Kalimantan. Kota yang banyak dihuni saudara sebangsa berdarah
Tionghoa, yang tentu saja sangat menghormati Gus Dur. Walau saya mempertanyakan
apakah kiranya sebagai orang yang substantif dan tidak suka seremoni, Bapak
suka dibuatkan monumen; bukan soal itu yang mengganggu batin saya. Sudah
beberapa waktu terakhir ini, saya ingin menulis tentang Bapak dan konflik PKB
cak Imin dari kacamata saya sebagai anak. Tulisan ini adalah kegelisahan saya
atas narasi yang semakin sering saya dengar dari mulut dan tulisan orang-orang
PKB Cak Imin.
Pertama kali, saya mendengarnya langsung dari seorang politisi
PKB Cak Imin, saat ia meminta saya untuk menjembatani PKB Cak Imin dengan
keluarga Ciganjur. Sebelumnya, saya sudah beberapa kali didekati untuk menjadi
jembatan ishlah, tetapi narasi ini belum pernah saya dengar. Sejak itu, saya
mulai banyak mendengarnya dari orang-orang lain dari berbagai penjuru, baik
langsung dari mulut mereka maupun via social-media, baik dari kawan-kawan
Nahdliyin maupun dari aktivis PKB Cak Imin.
Narasinya sederhana: Konflik antara GusDur dan cak Imin
adalah konflik yang sengaja didesain oleh Gus Dur, sebagai strategi politik;
bukan sebuah konflik sungguhan dan karenanya sejatinya tidak ada persoalan
antara Gus Dur dan Cak Imin. Bahkan ada beberapa orang yang menyebutkan dengan
gagah berani langsung kepada saya, bahwa Cak Imin sampai saat ini hanya
menjalankan perintah Gus Dur.
Karena saya bukan politisi, tentu saja saya tidak bisa
menjawabnya secara politis juga. Saya hanya menjadi amat gelisah sebagai
seorang anak, yang mendampingi Bapak secara intensif selama tiga tahun terakhir
kehidupan Beliau. Hari-hari bersama yang membuat saya memahami beban nurani
Bapak soal konflik PKB.
Saya melihat sendiri, bagaimana sikap Bapak ketika Cak Imin
datang ke rumah bersama mbak Rustini, istrinya. Bapak hanya menjawab pertanyaan
mbak Rustini dan mendiamkan Cak Imin. Ini terulang di banyak ketika lain.
Bapak, misalnya, enggan menemui Lukman Eddy yang sudah sampai di Ciganjur.
Tidak mau menemui. Sebagai orang yang blak-blakan dan mengingat bagaimana Gus
Dur bersikap bahkan kepada “musuh-musuh” politiknya, respons Bapak saat itu,
amat sangat jelas: tidak suka bertemu dengan mereka.
Tahun 2008, saat proses hukum PKB Gus Dur versus PKB Cak
Imin, Bapak pernah mengalami stroke ringan, entah ke berapa sejak stroke hebat
tahun ‘98. Bapak terjatuh saat dituntun ke kamar mandi oleh Sulaiman di kantor
Gus Dur di pojok PBNU. Saat saya tanya apa yang terjadi persis sebelumnya,
Sulaiman bercerita bahwa Bapak sedang mendengarkan berita di TV tentang sidang
di PTUN. Ada beberapa orang PKB Cak Imin yang diinterview oleh media, dan
mereka blak-blakan bicara lebih senang Gus Dur tidak di PKB. Mendengar
jawabannya, Bapak berkomentar “orang-orang ini saya yang bawa masuk politik.
Kok tega ya mereka ngomongnya begitu tentang saya, Man?” Lalu Bapak minta
diantar ke kamar mandi, dan jatuh pingsan di depan pintu kamar mandi. Kata
dokter, stroke ringan akibat stres.
Puncaknya tentu saja ketika MA memutuskan gugatan PKB GusDur
ditolak, dan MA menyatakan PKB yang sah adalah PKB hasil Muktamar Semarang di
mana Ketum adalah Cak Imin dan Ketua Dewan Syuro adalah Bapak. Setelah
keputusan itu, nyatanya PKB Cak Imin tetap berkantor di Menteng, tidak di
kantor asli PKB yaitu di Kalibata tempat Gus Dur selalu datang. Setiap
keputusan juga diambil sendiri, tidak melibatkan Gus Dur sebagai Ketua Dewan
Syuro. Puncaknya di pendaftaran DCS Pemilu 2009 yang dibuat sendiri oleh cak
Imin dan pengurusnya. Drastis menurunnya kesehatan Bapak setelah itu, sangat
kami rasakan di Ciganjur. Sehebat apapun fisik Beliau sepanjang hidupnya, seperti
kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan tekanan psikologis yang hebat ini.
Dokter dari berbagai penjuru dunia memberikan respons yang sama atas catatan
medis Bapak, “Ini pasien ajaib: dengan kondisi fungsi tubuh seperti ini, masih
bisa bertahan begini.” Kami tahu, hanyalah keajaiban itu yang sanggup menopang
tekanan psikis, dan entah berapa lama. Itu sebabnya, Ibu sangat sulit untuk
menerima perlakuan PKB Cak Imin kepada Bapak, sampai saat ini.
Mei 2009, Bapak berkunjung ke Jogja. Bapak bilang, “Lis, kamu
punya uang yang bisa Bapak pinjam?” Berapa dan untuk apa, tanya saya. “Ya untuk
pegangan saja, 5 juta cukup.Bapak nggak punya uang sama sekali.” Bapak saya
adalah orang yang mandiri, kalau sampai minta uang kepada saya, berarti sudah
berat sekali bagi Bapak. Saya telpon Yenny sambil menangis. Kok bisa, Bapak
sampai tak punya uang, bahkan sesedikit itu. Kok bisa, mereka-mereka yang
khianat kepada Bapak hidup bergelimang kemewahan sedangkan Bapak tak punya uang
di kantungnya.
Bahkan menulis paragraf di atas ini pun, saya tak mampu
menahan air mata. Menyakitkan sungguh, walau juga semakin membuat saya sadar
betapa Bapak jauh dari godaan harta dan kekuasaan.
Pertengahan 2009 itu kondisi Bapak memburuk. Banyak orang
menjenguk Beliau di RS, dan lazimnya orang Indonesia, menitipkan belarasa
urunan biaya perawatan. Bapak mengumpulkan amplop-amplop ini di dalam laci
kantor di PBNU. Lebaran 2009, saya tanya ke Bapak apakah Beliau akan memberikan
THR khusus ke staf Ciganjur. Jawabannya tidak dan agar saya yang memastikan
mereka mendapatkan THRnya. “Bapak sedang mengumpulkan uang untuk Muktamar PKB,
nak. Imin sudah nggak bisa dibiarkan terus-terusan begini.” Demikian kata
Beliau saat itu. Beberapa kali Bapak bercerita soal bagaimana PKB harus
diperbaiki dan tidak boleh dipegang oleh cak Imin. Saat itulah definitif saya
memahami bahwa Bapak masih berupaya keras untuk memperjuangkan PKB dari
cengkeraman orang-orang yang tak amanah, walau secara de facto Beliau sudah
tidak berdaya. Ada beberapa orang PKB Cak Imin yang masih diterima saat
menjenguk, tetapi tidak dengan kelompok terdekat Imin.
Setelah Bapak wafat pun, ada seorang teman Bapak (sekarang
seorang tokoh nasional) yang mengatakan ke saya bahwa ia sedang diminta Gus Dur
mencari donasi untuk persiapan Muktamar PKB Gus Dur di tahun 2010. Ia
menyerahkan uang yang sudah berhasil dikumpulkannya kepada Ibu. Memang, niat
Gus Dur untuk Muktamar sangat kuat, sebagai respons terhadap keputusan MA
tentang legalitas PKB yang jatuh ke tangan Cak Imin.
Semua pengalaman inilah yang membuat saya ngenes dengan
‘tawaran narasi’ dari entah siapa di kubu PKB Cak Imin. Menyatakan bahwa
konflik antara PKB Cak Imin dengan Gus Dur adalah rekayasa, bagi saya sama saja
dengan menghina Bapak dengan amat sangat.
Seorang Gus Dur, sekuat apapun seajaib apapun, tak akan
mampu merekayasa kondisi fisiknya. Menyatakan bahwa konflik ini adalah rekayasa
Gus Dur, adalah sama dengan menyatakan bahwa Gus Dur gila. Itu berarti
menyatakan bahwa Bapak merekayasa konflik untuk strategi politik, lalu terkena
sendiri dampak fisik dari permainannya, sehingga bahkan harus tinggal di Rumah
Sakit.
Seorang Gus Dur tak mungkin mempermainkan mekanisme hukum
sampai di Mahkamah Agung untuk mendapatkan kejelasan hukum mengenai partainya,
hanya demi rekayasa. Gus Dur adalah pejuang demokrasi, yang setia dengan
prinsip keadilan dan pembebasan. Mereka yang percaya bahwa Bapak merekayasa
konflik sampai memanfaatkan proses demokrasi hukum, sama saja percaya bahwa Gus
Dur bukan pejuang demokrasi sejati. Ia dianggap sama dengan mereka-mereka yang
memanfaatkan hukum untuk kepentingan kekuasaan. Bagi saya, ini adalah
penghinaan besar bagi perjuangan dan karakter Gus Dur.
Rekayasa macam mana yang membuat rombongan Cak Imien
melakukan sujud syukur di Mahkamah Agung setelah pengumuman keputusan MA itu?
Menyelenggarakan tumpengan di kantornya? Sedemikian pentingnya bagi Gus Dur
bersama Cak Imin membohongi rakyat dengan melakukan hal-hal itu, agar rakyat
percaya ini konflik betulan padahal rekayasa? Sekali lagi, itu sama saja dengan
menyatakan Gus Dur bukan pemimpin rakyat.
Bagi saya, Bapak bukan itu semua. Dalam hal konflik dengan
PKB Cak Imin, acuan saya hanya apa yang saya lihat dan saya dengar dari Bapak
langsung. Bukan apa kata dan analisis orang. Apalagi orang-orang yang punya track-record
dan karakter yang tak bisa saya percayai.
Hanya karena ingin mendapatkan dukungan dari pecinta Gus
Dur, tega sekali orang-orang ini menyebarkan narasi yang justru menghina
karakter Gus Dur, tega sekali menjual nama Gus Dur sedemikian rupa hanya untuk
kepentingan kekuasaan sesaat yang tentu saja tak bisa dibawa mati.
Padahal, sejatinya mudah mendapatkan dukungan pecinta Gus
Dur. Kalau memang mengaku sebagai penerus Gus Dur, jalani saja apa yang selama
ini diteladankan Gus Dur: integritas terhadap nilai-nilai dasar Gus Dur, demi
umat. Tunjukkan bahwa mereka berjuang berlandaskan prinsip Ketauhidan,
Kemanusiaan, Keadilan, Kesetaraan, Pembebasan, Persaudaraan. Tunjukkan bahwa
mereka punya karakter Sederhana, Sikap Ksatrya, dan bertumpu pada Kearifan Tradisi.
Tunjukkan saja bahwa mereka memang tidak terlibat korupsi, bertindak demi
rakyat. Tunjukkan saja pembelaan kepada semua kaum minoritas yang akhir-akhir
ini makin muram nasibnya di Indonesia. Itu cukup untuk mengambil hati rakyat.
Tak perlu klaim ini-itu, apalagi klaim yang justru menghina
Bapak saya. Sebagai seorang anak, saya sungguh-sungguh kecewa pada mereka, yang
tega melakukannya dan tega untuk percaya bahwa masih banyak rakyat yang masih
bodoh dan bisa dibohongi. Sesuatu yang jauh dari apa yang diajarkan Bapak saya
sepanjang hidupnya.
*ditulis pada 26 Pebruari 2013*
Sumber:http://alissawahid.wordpress.com/2014/04/06/bapakku-bukan-perekayasa-konflik/
0 comments:
Post a Comment