Subuh kian jauh. Rapuh tak tersentuh. Pelan dan pasti, fajar tersenyum padaku saat cahayanya mencoba mengusir kelelahanku. Sambil mencorat-coret langit, fajar mencumbuiku. Sementara, kumbang-kumbang begitu liar melihat kelopak melati yang bermekaran. Dengan leluasa mereka memerkosa tanpa mempedulikan jeritannya, hingga muncratlah aroma keperawanannya. Wangi sekali.
Saat itulah aku masih menungu matahari menjadi sempurna untuk menggerakkan persendianku setelah semalaman bercumbu dengan mimpi. Ya! Begitulah, selalu tak tersaji secangkir kopi, teh, atau jahe hangat di atas meja sebagai penghangat dari sisa-sisa malam. Tak ada lagi yang memanjakan aku saat matahari mengecup kening bumi semenjak kau memutuskan pergi mencari langitmu.
Sebenarnya aku tak begitu suka dengan kebiasaanku ini. Karena saat bermandikan cahaya itulah, langit akan leluasa menyayat ulu hatiku yang sedang duduk termenung di emperan rumah. Berselimut sarung tipis bermerk Abu Yaman.
Ok! Aku akan sedikit bercerita mengapa aku tak begitu suka pada langit. Tapi, tak penting untuk aku menyebut namanya di sini. Cukuplah aku menceritakannya saja.
Aku selalu dibuat cemburu oleh perempuanku yang selalu memuja langit. Dia terlalu mengagungkan langit. Katanya, langit adalah tempat dari segala keindahan dan tempat untuk meneggelamkan dukanya. Langit adalah simbol dari keromantisan, simbol dari tumbuhnya kasih sayang. Apabila awan menutupi langit, maka hujan akan tumpah dari kelopak matanya seiring dengan hujan menderai bumi.
“Mengapa kau menangis?” kataku waktu itu.
“Aku sedih, karena sampai saat ini aku tak menemukan langit yang aku cari. Langit yang dialamatkan perempuanku,” katanya sedih.
“Perempuan? Siapa dia? Ibumu?” kataku heran.
“Entahlah! Perempuan itu tak mau aku panggi ibu. Padahal, aku merasa dilahirkan dari rahimnya,” ada klise kesedihan yang menggumpal di kelopak matanya.
“Begitukah? Ceritakan padaku perihal langitmu?” kataku memburu.
“Langit adalah tempat kebahagiaanku. Kata perempuanku, Jika aku bisa menemuinya, maka aku akan damai bersamanya.”
“Tahukah kau dimana dia berada?”
“Itulah teka-teki yang diberikan pada perempuanku. Dia tak memberitahu siapa sebenarnya langitku. Tapi dia mengatakan bahwa wajahnya menyerupai seorang pangeran. Entah siapa, aku tidak tahu. Maka dari itulah aku suka menyebutnya dengan Pangeran Lagit. Muara dari kebahagiaanku,” tuturnya panjang.
Aku bisa menafsiri bahwa kekagumanmu pada langit bukanlah sebuah keagungan, tetapi lebih pada manifestasi dari sebuah kerinduan yang mengarat sekian tahun lamanya. Kau tahu, pemujaanmu pada langit telah menampakkan bahwa dirimu haus akan kasih sayang. Tanpa kau sadari, kau telah menjadi budaknya. Jika aku boleh mengatakan, hidupmu selama ini adalah beku. Membatu.
Jujur, aku tidak pernah mampu mengatakan bahwa pemujaanmu pada langit selalu menyakiti perasaanku. Aku dibuat cemburu oleh langitmu. Tak bisa mengungkapkan perasaanku selama ini padamu. Yang aku bisa hanyalah menganggukkan kepala dan meyakinkan dirimu bahwa suatu saat nanti kau akan menemukan langit yang kau cari. Aku hanyalah orang yang menolongmu saat gerimis melumuri tubuhmu dan dingin menusuk tulangmu. Kau menggigil kedinginan di peron tua itu.
Dan pada suatu malam, sambil menatap rembulan, kau berkisah tentang sebuah kerajaan di atas langit. Tempat Dewa Amor, Dewa Eros, Dewi Fortuna serta dewa yang lain. Sempat terlontar dari mulut mungilmu bahwa pangeran langitmu akan turun membelaimu. Membawamu satu bintang yang indah dari sekian bintang yang bertaburan di langit. “Pangeran Langit akan turun dari atas sana, lalu mengecup keningku,” katamu sambil menatap rembulan.
“Jika suatu saat nanti aku harus pergi, maka lukislah namaku di kaki senja,” ucapmu lagi sambil menelanjang bintang-gemintang dengan sejuta harapan.
Sekali dari kesekian kalinya, aku hanya bisa mengangguk. Menggantungkan asa di atas kecemasan. Aku tak bisa berjanji akan melukis namamu di kaki senja. Karena jika kulakukan, maka tak ada bedanya aku melukis namamu di dinding langit. Karena senja adalah bagian keindahan dari langit. Bagian dari kerinduanmu. Itu sama saja aku menyerahkanmu pada langit.
Jika saja kau tak pernah mengatakan bahwa mimpi itu selalu menuntun perjalananmu, aku akan memintamu disini, menemani diriku. Tapi, harapan yang selalu berpijar dari sorot matamu yang teduh membuatku tak berkutik melepas kepergianmu. Tak bisa mengungkapkan jika aku menginginkanmu.
Aku sempat berpikir, jika langit yang dialamatkan oleh perempuan yang ingin kau sebut ibu itu hanyalah sebuah sketsa dari hati yang akan menyayangimu, maka akulah langit itu. Akulah orang yang selama ini kau cari. Langit telah mengutus gerimis untuk mempertemukanku denganmu di peron tua itu. Kau ingat kan?
Tapi kau tetap pergi dengan kerinduanmu. Tak pernah sekali saja berpikir bahwa langitmu adalah diriku. Harapan telah benar-benar membudakmu, sehingga kau tak pernah merasakan kasih sayang langit yang telah kau peroleh dariku. Sampai kapan kau akan mencari langit? Ah, ternyata langit tak seindah dirimu.
Muara Office, 2010
Dimuat di Harian Radar Madura tanggal 02 Januari 2010
0 comments:
Post a Comment